Monday, December 31, 2012

Secangkir Teh Penutup Tahun

"Duaar..!! Taar.., Taar, Taar...!!" suara - suara petasan terdengar keras. Kilatan - kilatan cahaya merah, kuning dan biru membuyar ke langit - langit gelap di penghujung dua ribu dua belas. 

"Duaar..!! Taar.., Taar, Taar...!!" sorak kegembiraan warga kampung masih saja melengkapi suasana malam, padahal baru saja kota diguyur hujan deras. Hujan seakan memberi peluang untuk menyemaraki akhir tahun.

"Srrrrfff..!" aku menyeruput teh hangat mengusir rasa dingin yang sempat menusuk ke ulu. Duduk di kursi depan warung Ibu. Sesekali mengadah ke langit - langit, sesekali memperhatikan gerombolan anak yang masih berkeliaran di jalan.

Aku menikmati sajian pertunjukan petasan yang sudah terlihat ramai di hari akhir tahun 2012. Kurenungi setiap jejak kehidupan yang telah kulalui bersama 2012. Setidaknya ada beberapa impian yang telah kuraih di tahun ini. Salah satunya menjajaki luar negeri. Terlintas lagi dibenakku saat pertengahan Februari lalu petualangan itu bermula. Singapura menjadi situs pertama kakiku berkelana di luar negeri. Bersama kedua sahabat, kami menjelajahi negeri kecil yang kaya itu. Seketika senyum mengembang mengingat hari itu. Aku dan kedua sahabatku pernah mengukir impian lagi menjelajahi negeri itu sekali lagi. Mungkin di penghujung tahun 2013 nanti, harapanku begitu kuat. 

"Mail..!" Ayo panggang sate Nak! Ada orang makan." panggilan dari Ibu membuyarkan lamunanku. Aku bergegas menuruti perintahnya. Secangkir teh kuletakkan begitu saja di kursi panjang depan warung. Aku mulai beraksi kembali. Menemani Ibu berjualan di malam ini. Memanggang sate untuk para pelanggan kami yang telah menanti. Sebenarnya ada rasa bosan menghabiskan akhir tahun yang selalu seperti ini. Sampai - sampai terlintas dibenakku, "Kapan impianku menjadi the Real Boss tercapai?"
"Mungkin tahun 2013 nanti!" seruan dalam hati tiba - tiba bersua. 
"Ayo semangat!" kataku dalam hati.
Aku mulai bangkit lagi. Mengambil posisi siap tuk memanggang. Diiringi deru - deru petasan di langit luas, ditemani secangkir teh penutup tahun dua ribu dua belas. 

** Happy New Year 2013 !!!!!!! :)

Salam Perpisahan 2012

Dua ribu dua belas..
Ada cerita teringat jelas..
Ada kisah tinggalkan bekas..
Terekam dalam catatan kertas..

Dua ribu tiga belas..
Aromanya siap menjadi penghias..
Penghujung tahun dalam bias - bias..
Penggerak semangat baru kejar mimpi diatas..

Selamat tinggal dua ribu dua belas..
Selamat datang dua ribu tiga belas..
Evaluasi resolusi yang sempat terlintas..
Mari bertindak sambut cita tanpa batas..

-- 31 Dec 2012 pukul 10.19 PM --

Efek 5 cm

Tahun 2012 sebentar lagi usai. Banyak perubahan terjadi di Indonesia. Khusus di bidang perfilman Indonesia tahun ini, menurut saya film - film Indonesia semakin berkembang. Contohnya pada pertengahan tahun 2012 tepatnya tanggal 12.12.12 film berjudul "5 cm" diputar. Film yang diangkat dari novel best seller yang mencapai cetakan kedua puluh lima ini akhirnya dapat dinikmati oleh pecinta film tanah air. Tidak seperti jenis film - film horor gak jelas yang sempat memenuhi bioskop perfilman Indonesia, kali ini "5 cm" membawa aroma baru.



Pasti sudah banyak yang mengetahui bagaimana jalan ceritanya, sehingga saya tak perlu lagi bercerita panjang lebar mengenai tokoh, latar dan plotnya. Untuk itu saya hanya mau berbagi bagaimana efek - efek yang saya alami, baik setelah membaca novel ini maupun setelah menonton filmnya. Simak ya :D

Efek Membaca Novel "5 cm"
  • Cerita 5 sahabat membuat saya teringat pada sahabat - sahabat. Bagaimana aneka perbedaan karakter manusia mengumpul menjadi satu, saling berdiskusi, berbicara banyak hal, saling mengerti, memahami, dan menyayangi.
  • Penggambaran indah panorama melihat awan dari atas puncak Mahameru menggerak hati tuk bertandang kesana.
  • Dialog - dialog kocak, penuh syarat filosofi dan ilmu pengetahuan mengisi ruang kosong otak yang haus akan pengetahuan.

Efek Menonton Film "5 cm"
  • Membuat saya ngakak melihat tingkah kocak para pemerannya.
  • Panorama alam yang disuguhkan dalam rekaman kamera, sungguh membuat saya terpesona dan kagum akan ciptaan-Nya.
  • Air danau Ranukumbolo membuat tak sabar raga ini menceburkan diri disana.
  • Niat Mendaki puncak Mahameru berselimutkan abu vulkanik semakin menantang saya pergi kesana.
  • Membuat saya lebih mencintai negeri, berbangga pada negeri ini yang ternyata lebih memiliki pesona indah didalamnya.
  • Dan tentu saja, kisah persahabatan didalam cerita membuat saya semakin cinta sahabat - sahabat saya.
  • Membulatkan tekad perjuangan mendaki impian hidup yang belum tercapai, walau langkah impian itu berjalan setiap 5 cm sekalipun.
:D coretansangboss

Renungan Akhir Tahun

Sebentar lagi akhir tahun berganti..
Sebentar lagi masa lalu kan pergi..
Tahun baru t'lah menanti..
Aromanya t'lah terasa lagi..

Terompet siap berbunyi..
Sorak kegembiraan hinggap disana sini..
Penanda waktu akhir tahun menghampiri..
Penanda pintu gerbang tahun depan mendekati..

Setumpuk impian terukir dihati..
Terbungkus bersama semangat diri..
Siap mengisi esok hari..
Menyongsongnya hingga tercapai..

Ada sebagian impian baru melengkapi..
Ada sebagian impian lama telah terganti..
Ada cita - cita baru t'lah berdiri..
Ada cita - cita lama t'lah terpenuhi..

Jika tahun ini impian belum terpenuhi..
Strategi lama harus diperbaiki..
Jika tahun depan impian baru datang tanpa permisi..
Ciptakan strategi baru menggenggam mimpi..


*** Selamat Tahun Baru 2013 
Semoga resolusi impian kita di tahun mendatang tercapai dengan semangat tahun baru yang telah kita tanamkan dipikiran dan hati. :)

Membuat Resolusi 2013

Resolusi kerap diperbincangkan disetiap akhir tahun. Resolusi bisa berarti komitmen - komitmen pencapaian suatu keinginan, impian yang belum terwujud pada tahun yang baru saja kita lalui. Sebuah resolusi tahun depan dijadikan momentum penggerak semangat menjalani hidup di tahun mendatang. Agar resolusi yang telah kita rancang untuk tahun berikutnya tidak terlupakan dengan percuma, berikut beberapa tips cara membuat resolusi tahun 2013 - mu :) >>

Resolusi Alphabet
Buat resolusi tahun depanmu dengan kalimat berawalan A-Z. Wow, banyak ya? Nah, buatlah resolusi dari hal yang terpenting sampai hal kecil. Misalnya, A = Akan lebih baik dari hari ini, B = Biasakan bangun pagi, C = Cari ide - ide seru membuat artikel, dan seterusnya.

Tulis dan Simpan
Tuliskan impian dan harapan dalam sebuah kertas, kemudian simpan rapi ditempat aman dan tersembunyi. Buka kembali catatan resolusi pada akhir tahun 2013 , dan lihat bagaimana resolusi yang kita buat berjalan sepanjang tahun itu. Masih adakah resolusi yang belum tercapai? Ini akan menjadi evaluasi diri bagi kita tuk menjalani tahun berikutnya.

Tempel Dinding
Supaya terus mengingat apa impian yang ingin dicapai, tempelkan catatan resolusi pada board dinding kamar. Tempel gambar ataupun foto - foto pendukung mengenai hal - hal yang ingin kita capai. Misalkan tahun 2013 nanti ingin punya mobil, pasanglah mobil impianmu disana. Dari melihat apa resolusi yang tertempel setiap waktu, niscaya menggerakkan niat dan usahamu tuk menggapainya.

Bikin Resolusi Bareng
Sharing resolution atau bikin bareng resolusi mu pada sebuah jurnal atau buku curhatan bersama sahabat - sahabat terdekatmu. Ini efektif untuk kita yang malas membuat resolusi sendiri. Melakukan bersama - sama akan menambah ketertarikan dan rssa saling memberi support mencapai impian kita.

Itulah beberapa cara membuat resolusi tahun mendatang agar lebih menarik. Meski sudah membuat resolusi, jangan lupa harus segera mulai berjuang mengejar hal - hal yang telah kita tuliskan dan tanam didalam hati. Jangan sampai resolusi yang telah dibuat menjadi sia - sia tanpa perjuangan yang bermakna.

Sunday, December 30, 2012

Ragam Cerita Hujan

Jika kau perhatikan hujan, disitu ada tawa..
Guyuran airnya mengundang kawanan anak bercanda..
Dibawah derasnya mereka bermain gembira..
Berlari - lari menikmati usia belia..

Jika kau perhatikan hujan, disitu ada luka..
Tetes demi tetesannya menambah derita..
Membawa kembali kenangan pahit bermuara..
Bulir - bulirnya membekas sesakkan dada..

Jika kau perhatikan hujan, disitu ada anugerah..
Para petani sumrigah..
Awali semangat yang pernah punah..
Pertanda kemarau berakhir sudah..

Jika kau perhatikan hujan, disitu ada resah..
Ketakutan akan langsung tumpah ruah..
Menyapu sawah - sawah..
Tenggelamkan semua rumah..

Jika kau perhatikan hujan, disitu ada ragam suasana..
Kadang tawa, kadang duka..
Kadang anugerah, kadang bencana..
Itulah hujan, datang membawa ragam cerita..

Wednesday, December 26, 2012

Ribuan Kerlip

Kerlipan pesonamu benderang dalam kelam..
Tampak kilap diantara senyum sang malam..
Bagai pelukis angkasa di kegelapan..
Membentuk gugusan bermakna keindahan..

Terpaku membeku memandangimu..
Berkencan denganmu menunggu waktu..
Ditemani buaian angin menusuk ulu..
Menunggu kedipan khas sapaanmu..

Bintang malam,
Peregang hati yang kelu..
Penyejuk pikiran yang beku..
Obati keraguan semangatku..
Beri ribuan kerlip penggebrak malasku..



__at 8.19 PM when I saw a millions stars on the sky___

Mengejar Pagi - Puisi



Langit masih berselimutkan gelap..
Azan subuh membangunkan  tidurku yang lelap..
Walau rasa kantuk masih tetap hinggap..
Selepas sholat aku pun bersiap – siap..

Atribut sudah lengkap..
Seribu semangat makin mantap..
Bersama si merah aku pun berangkat..
Meluncur menerobos pagi yang memikat..

Ku gayung pedal dengan santai..
Lembayung nyanyian penyemangat menyeringai..
Menemani pagiku dalam kedamaian..
Menghilangkan sejenak aroma kepenatan..

Aku dan si merah meliuk – liuk..
Melewati jalan yang belum terlalu sibuk..
Menyapa kokokan ayam..
Bangkitkan gairah yang sempat tenggelam..

Tiba di belokan Gajah Mada, jalan kami terhenti sejenak..
Kesibukan warga mulai tercium menyeruak..
Ratusan pedagang dan pembeli asyik bercengkrama..
Keramaian Pasar Badung begitu terasa..

Terbebas dari kericuhan, kami menyapa patung catur muka..
Wajahnya terdiri dari empat muka yang sama..
Letaknya tepat di bundaran antara Veteran dan Gajah Mada..
Ia seolah merayu kami tuk singgah di taman kota..

Hiruk pikuk Puputan Badung juga mulai bersua..
Namun, kami tak lantas tergoda..
Kami pun sekedar melintas melewatinya..
Pergi mengejar tujuan sebelum semua sirna..

Kugenjot pedal lebih cepat..
Berusaha menggapainya agar tak telat..
Tak peduli walau bercucuran keringat..
Demi sebuah tujuan yang memikat..

Jalanan lurus tak berliku mengantarkan kami..
Sepanjang Hayam Wuruk seolah menyemangati..
Hingga tanpa kusadari, rombongan pecinta sepeda mengikuti..
Mereka melenggang mulus dan akhirnya kami terlewati..

Belokan Hyang Tuah hampir dekat..
Sementara atap bumi hampir saja terlihat..
Semangat genjotan pedal lagi – lagi kupercepat..
Kala tiba di lintasan Hyang Tuah, senyuman pun mencuat..

Alunan pedal kugayung perlahan..
Santai sejenak menikmati pemandangan..
Kanan – kiri aroma kebun kembang menyapu indra penciuman..
Pesona aneka tanaman sangat sayang tuk ditinggalkan..

Tak terasa traffic light bersiap menyambut kami..
Ujung lintasan Hyang Tuah berganti melepaskan kami..
Membawa kami menerobos By Pass Ngurah Rai..
Lurus melintas arena parkiran dekat pantai..

Pesona pantai Sanur Bali mulai tampak nyata..
Keindahannya sungguh menyegarkan mata..
Ku bawa si merah naik melintasi gerombolan pasir..
Tuk berhenti  didekat pesisir..

Langit kini menyapa para pengelana..
Ia merangkul mentari tuk tersenyum bersama..
Menampakkan diri dalam lukisan indah dunia..
Menyongsong awal hari dalam balutan pesona..

Suara deburan ombak tiba – tiba datang..
Ia merayuku tuk bertandang..
Menyelam berpelukan bersama bebatuan dan karang..
Mengalahkan dinginnya air yang menantang..

Aku geletakkan si merah diatas pasir..
Berlari meninggalkan pesisir..
Menyeburkan diri menerima rayuan ombak..
Bergabung bersama gerombolan anak..

Mentari seolah menyambutku penuh tawa..
Kehangatannya lenyapkan hawa dingin yang kini tak terasa..
Akhirnya usahaku tak sia – sia..
Mengejar pesona sunrise tersenyum menyambut dunia..

Mengenal Pasar dan Kehidupannya



Denpasar adalah pusat ibukota provinsi Bali. Bila para turis datang ke Bali, mungkin tak banyak yang tahu tentang kota ini. Mereka lebih mengetahui kawasan Kuta, Ubud dan Nusa Dua yang memang memiliki pesona alam lebih memikat. Sedangkan Denpasar berada dalam lingkungan sibuk khas perkotaan, serta sedikit sekali dijumpai panorama alam yang memikat. Namun, cobalah sesekali telusuri setiap liku jalan kawasan Jalan Gajah Mada dan sekitarnya. Memang, yang akan kita temui bukanlah panorama alam memikat, melainkan panorama kehidupan masyarakat yang hidup didalamnya.
Pada kawasan Jalan Gajah Mada, sampailah kita pada sebuah pasar. Pasar Badung namanya. Seperti lazimnya pasar adalah tempat bertemunya para pedagang dan pembeli, selalu ramai dikunjungi, juga ramai dipenuhi aneka bau – bauan mengengat indra penciuman. Di pasar Badung, orang dapat membeli aneka kebutuhan, baik kebutuhan bahan baku sehari – hari maupun kebutuhan sekunder lainnya seperti pakaian dan alat – alat rumah tangga.
Memasuki gedung pasar, kita akan disambut oleh tebaran para pedagang sembako yang tengah asyik menjajakan dagangannya. Di lantai dasar dan lantai 1 ini, jarang sekali ditemui para pedagang duduk terdiam menunggui pembeli yang datang. Mereka sangat asyik bercengkrama bersama para pembeli, beradu mulut dalam sebuah aksi tawar menawar. Kericuhan serta hiruk pikuk ini akan kita temui lebih sering di pagi hari, bahkan lebih pagi dibandingkan suara kokokan ayam yang baru terdengar kala mentari bersinar. Pasar sembako memang selalu tak sepi pembeli. Maka tak heran bila ruangan lantai dasar dan lantai 1 ini tak akan muat dijejali para pencari rezeki. Untuk mengatasi hal tersebut, maka arena halaman luar pasar dijadikan alternative sebagai tempat mereka berjualan juga. Dengan membangun tenda – tenda kecil, maka jadilah lapak – lapak para pedagang yang selalu bersemangat ini.
Jika kita menaiki lantai 2 hingga lantai 4, aktifitas pasar tidak akan terlihat di pagi buta, melainkan terlihat dimulai antara pukul 9 atau 10 pagi waktu setempat. Di lantai – lantai tersebut, kita akan temui aneka pedagang grosir pakaian, sandal, sepatu, tas, aksesoris, perabotan rumah tangga, serta peralatan sembahyang umat Hindu, seperti udeng, kamen, baju kebaya, dan aneka perkakas upacara lainnya.
Diantara siang yang mengengat kericuhan pasar makin menyurut. Tak banyak pembeli lalu lalang datang. Maka, sebagian pedagang sembako akan mulai menutup gerai lapak mereka. Sementara selain pedagang sembako, pedagan lain tetap beraktifitas menunggui lapak mereka. Jika kita naik ke lantai 2 hingga 4, maka bersiap – siaplah ditawari oleh para pedagang disana. “Ayo mampir kesini , Gek! Bli Bagus.,!” begitulah sapaan khas mereka. Atau bila pembelinya ibu – ibu mereka menyapa, “Bu, cari apa?”
Menuruni anak tangga terakhir tepatnya di pintu keluar gedung, kita akan disambut para pedagang aneka buah – buahan dibawah tenda yang mereka bangun. Kesegaran aneka buah setidaknya dapat menyejukkan mata dan menggugah tenggorokan yang kering. Apel, mangga, jeruk, salak, rambutan, anggur hitam meramaikan keranjang – keranjang besar. Bulir – bulir tubuh kulit aneka buah – buahan tersebut niscaya menggoyang lidah kita untuk sedikit mencicipinya. “Apel..! Salak..! Mangga..!” seruan para penjaja buah akan langsung menyambut kita kala melewati gerai – gerai mereka.
Semakin sore, biasanya pada pukul 3 sore keatas, bersiaplah untuk jalan berdesak – desakan. Karena semakin sore hari, keadaan pasar kembali ricuh. Puluhan orang datang, baik bertambahnya para pembeli maupun para pedagang, terutama di area luar pasar. Teriakan para pedagang menambah keramaian langkah – langkah kaki para pembeli yang ikut berbaur disana. Tidak hanya pedagang buah yang tampak, melainkan pedagang ayam potong, ikan bakar, daging sapi potong mulai berjualan kembali. Aktifitas keramaian pasar sore akan berlanjut hingga petang.
Pemandangan demikian memang sudah biasa. Tapi ada suatu pemandangan berbeda yang akan kita jumpai. Dikerumunan para pedagang tersebut, ada seorang laki – laki mengenakan kalung besar nan panjang. Setelah didekati kita akan lihat jika kalung yang ia kenakan bukanlah kalung biasa. Lingkaran kalung yang menghiasi talinya bukanlah berupa manik – manik nyentrik, melainkan kumpulan uang kertas robek, berwarna pudar tampak disana. Si laki – laki akan berseru kepada para calon pembelinya kira – kira seperti ini, “Yang mau tukar uang! Silahkan.!” Pekerjaan seorang laki – laki tersebut adalah membeli uang yang sudah tak berwujud lagi dengan harga murah tentunya dibawah harga nominal yang tertera pada uang tersebut. Ia kumpulkan uang – uang itu hingga akhirnya bisa ia tukarkan pada bank dengan nominal yang sesuai pada lembaran uang yang ditukarkan. Ada – ada saja cara orang mencari rejeki.

Rindu dibawah Tebing Ayana


Raka sengaja datang terlambat. Begitu tiba, ia melihat sebuah mobil hitam mini mengkilat terparkir dibawah teduhnya sebatang pohon. Ia jelas tentu mengetahui siapa pemiliknya. Dayu Lastri telah tiba lebih dulu disana.

Raka memarkir sepeda motor nyentrik miliknya disebelah mobil Dayu Lastri. Ia kemudian melepas helm dan sesaat duduk terdiam diatas motor sembari menatap pesona alam dihadapannya. Tebing – tebing terjal nan tinggi masih tampak memiliki pesona yang memikat bila bersanding bersama hamparan luas lautan biru dan gumpalan awan putih langit bumi. Pesona daya tarik nan eksotik karya ciptaan Tuhan tersebut memang tak pernah hilang dari benak Raka. Tak ada sedikitpun pesona yang berubah, hanya saja kali itu Raka menemukan pemandangan lain tidak seperti biasanya. Ia melihat pada gundukan tempat kini ia berdiri tak lagi dipenuhi rerumputan hijau. Tanah yang ia pijaki kini tampak kecoklatan, beberapa kursi dan bangku terbuat dari batang – batang pohon hampir mengisi sebagian hamparan tanah coklat tersebut. Dua buah bangku panjang diletakkan saling berhadapan. Ditengahnya disisipi sebuah meja berukuran sama panjang. Sementara beberapa lainnya diletakkan disamping kanan kiri dekat bibir tebing dan sengaja dihadapkan mengarah ke eksotika pemandangan laut lepas.

Tak banyak pepohonan tumbuh menjulang disana. Dari bawah pohon tempat ia berdiri kini, ia bisa melihat pohon berbatang kurus di bibir tebing berteduh sebuah kursi kayu dibawahnya. Dibalik kursi itu, ia dapat mengenali siapa yang bersandar disana. Dayu Lastri telah duduk menanti kedangannya.

Raka memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Ia berjalan gontai meninggalkan motornya. Pandangannya lurus kedepan. Begitu tiba disamping Dayu Lastri terduduk, ia hanya berdiri mematung. Lastri yang menyadari kedatangannya lantas menoleh dan menyapanya, “Raka.” Suara lembut Lastri terdengar menyejukkan telinganya. Namun Raka tak lantas menyambutnya. Ia enggan berbicara. Matanya tetap menerawang memandangi hamparan lautan berangkulan bersama awan. Tatapannya kosong.

Janjiku Padamu

Janjiku padamu..
Mengajakmu ke cahaya rembulan..
Menemanimu menggenggam impian..
Menggapai cita bukan sekedar angan..
Bersamamu menjadi pegangan..

Janjiku padamu..
Tersenyum melihat dunia..
Merekam indah panaroma..
Mengukir guratan cerita..
Melewati nestapa dan tawa..

Janjiku padamu..
Pecahkan kepingan keterpurukan..
Menguburnya bersama puing - puing keputusasaan..
Membakarnya dalam kobaran api keceriaan..
Membiarkannya terbang menjadi abu - abu kegalauan..

"25 Dec 2012" - malam petang

Saturday, December 22, 2012

Emak

Guratan keriput terlukis diwajahmu..
Cipratan warna putih keabuan memenuhi rambutmu..
Raga tak sehebat muda dulu..
Rentan kini hinggapi tubuhmu..

Emak, begitu kupanggil dia..
Emak, mengubah dunia..
Di dalam rahimnya hidupku bermula..
Dari darah menjadi manusia sempurna..

Emak begitu gigih dan semangat..
Membesarkanku hingga tumbuh sehat..
Berjuang dengan keringat..
Mencari uang agar hidupku nikmat..

Emak selalu terjaga..
Kala aku merengek di malam buta..
Memberikan apapun yang kuminta..
Memanjakanku dalam segala suasana..

Kini Emak telah menjadi tua..
Tapi, semangatnya tak pernah sirna..
Sikapnya selalu sama..
Menghujaniku dalam manja..

Emak, apakah aku bisa membalas cinta kasihmu?
Sementara hingga kini aku belum mewujudkan mimpimu..
Melihatku menjadi orang berguna dimatamu..
Membawamu melihat dunia yang ingin kutelusuri bersamamu..


Sunday, December 9, 2012

Mengejar Pagi



Langit masih berselimutkan awan gelap. Azan subuh membangunkan  tidurku yang lelap. Walau rasa kantuk masih tetap hinggap, selepas sholat aku pun bersiap – siap. Pakaian dan atribut sudah lengkap. Balutan T-shirt dan celana panjang telah melekat. Si merah juga sudah siap. Ia bertenger di teras depan berkilauan penuh semangat. Aku pun tak mau ketinggalan. Seribu semangat bergelora kian mantap. Bersama si merah aku pun berangkat. Meluncur menyongsong pagi yang memikat.
Aku menggayung pedal dengan santai. Lembayung nyanyian penyemangat menyeringai. Berbait – bait lirik lagu mengalun dari koleksi mp3 yang kusimpan. Menemani pagiku dalam kedamaian. Menghilangkan sejenak aroma kepenatan.
“Widih.., pagi – pagi tumben udah keluar?” kata ibu terheran – heran. “Assalamualaikum!” Aku jawab pertanyaannya dengan salam, sambil lalu melenggang pergi bersama si merah. Para tetangga yang mulai beraktifitas juga sempat heran menatapku pergi di pagi buta. Tapi, kemudian mereka tersenyum setelah kusapa.
Aku dan si merah meliuk – liuk. Melewati jalan yang belum terlalu sibuk. Menyapa kokokan ayam. Membangkitkan gairahku yang sempat tenggelam.
Tiba di persimpangan Gajah Mada, jalan kami terhenti sejenak. Kesibukan warga mulai tercium menyeruak. Ratusan pedagang dan pembeli asyik bercengkrama. Keramaian Pasar Badung begitu terasa. Suara peluit tukang parkir nyaring terdengar. Para tukang parkir sibuk mengatur kendaraan yang datang dan pergi. Silih berganti kendaraan masuk dan keluar dari pintu pasar. Asap kendaraan pun tak terelakan mengganggu kesunyian suasana pagi yang menghilang. Seperti biasa, suasana pasar makin ricuh bila banyak orang tak sabar keluar dari kemacetan. Alhasil, suara klakson semakin menghilangkan suasana pagi yang tenang.
Aroma pasar begitu menyengat. Aneka bau bercampur aduk menjadi satu. Sayur mayur dan aneka buah – buahan tampak menyegarkan. Namun, aroma sedapnya nyaris tenggelam ditutupi aneka bau amis daging hewani dan keringat manusiawi. Untung saja kemacetan tak menjebak kami begitu lama. Terbebas dari kericuhan pasar dan problema aneka aromanya, kami melaju lagi hingga menyapa patung Catur Muka. Sesuai dengan arti namanya, wajah patung ini terdiri dari empat muka yang sama. Letaknya tepat di bundaran antara jalan Veteran dan jalan Gajah Mada. Dekat dari tempat si Catur Muka singgah, lukisan hamparan rerumputan dan pepohonan menyambut sumrigah. Taman Puputan Badung, demikian ia diberi nama. Ia seolah merayu kami tuk singgah disana. Kami lihat hiruk pikuk taman Puputan Badung juga mulai bersua. Namun, kami tak lantas tergoda. Kami pun sekedar melintas melewatinya. Kami pergi mengejar sebuah tujuan sebelum semua sirna.
Kugenjot pedal lebih cepat. Berusaha menggapai suatu misi agar tak telat. Tak peduli walau bercucuran keringat. Demi sebuah tujuan yang memikat. Sesekali kuteguk air dari botol minuman yang kubawa. Lumayanlah, seteguk dua teguk air mampu mengembalikan semangat yang tiba – tiba mereda.
Lintas jalan lurus tak berliku mengantarkan kami. Sepanjang jalan Hayam Wuruk seolah menyemangati. Liku jalanan tampak bersahabat. Sesekali kami bebas meluncur pada jalanan menurun. Namun tak jarang kami temukan area jalanan naik dengan kemiringin tajam. Aku menikmati jalan ini sembari bersiul ikuti alunan lagu yang masih berdendang. Hingga tanpa kusadari, rombongan pecinta sepeda mengikuti. Mereka melenggang mulus dan akhirnya kami terlewati. Kaki – kaki jenjang nan kuat mereka mengalahkan kekuatan kaki kurusku. Namun aku tak perlu kecewa. Langit masih belum terlihat sempurna. Ku kayuh lagi pedal dengan semangat empat lima. Kami melewati kanan kiri toko – toko dan restaurant yang masih tutup. Kebisuan ragam bangunan itu seolah menatapku datar. Aku acuhkan tatapan kebisuannya, kala nyanyian kriuk – kriuk perutku secara tiba – tiba bersorak “lapar”.
Belokan jalan Hyang Tuah hampir dekat. Begitu juga atap bumi hampir saja terlihat. Semangat genjotan pedal lagi – lagi kupercepat. Kala tiba di lintasan Hyang Tuah, senyuman pun mencuat. Aku kayuh alunan pedal perlahan. Bersantai sejenak menikmati pemandangan. Tampak di kanan – kiri aroma kebun bunga – bunga menyapu indra penciuman. Pesona aneka tanaman sangat sayang untuk ditinggalkan.
Tak sampai lima menit berlalu, traffic light bersiap menyambut kami. Ujung lintasan Hyang Tuah berganti melepaskan kami. Membawa kami menerobos By Pass Ngurah Rai. Lurus melintas arena parkiran dekat pantai.

Cemas

"Tidaaaak! jangan sekaraaang..!!!" Aku berteriak didalam hati. Ramon telah duduk disampingku kini. Ia tersenyum - senyum. Pipinya merah merona. Terlihat dari wajahnya ia sedang dicandu asmara. Aku tersenyum geli melihatnya sembari menahan gejolak yang tiba- tiba datang tanpa permisi. Walau saat ini hati berbunga - bunga, jiwa seolah melambung ke angkasa, namun kecemasan kian menerpa. Aku mencoba menahan resah yang bergelora. Kupegang perutku sejenak sembari menghimpit kedua kakiku kuat - kuat hingga posisi dudukku menjadi salah tingkah.
"Kenapa?" tanya Ramon padaku. Kujawab pertanyaannya dengan gelelengan pelan nan lesu.
"Tenang saja. Ibu baik kok, tak perlu cemas." katanya lagi.
"Iya." aku menyahut datar. Kakiku gemetar, sekujur tubuhku berkeringat. Kecemasan makin terasa.
"Sayang, kamu tidak apa - apa kan?" Ramon memastikan lagi seraya menatapku heran.
"Aku baik - baik saja." kataku terpaksa.
Tapi, wajahmu seketika pucat begini?"
"Benarkah? gak apa - apa kok, sayang. Hmm, tapi, berapa lama lagi Ibumu tiba?"
"Nah, itu dia datang!"

Ibu Ramon tiba. Ia terlihat sedang berjalan menghampiri kami berdua. Wajahnya memancarkan sosok ibu yang ramah. Aku tersenyum padanya dan dia pun membalas senyumku dengan tulus. Aku dan Ramon kemudian berdiri menyambutnya. "Ups!' kakiku semakin gemetar. Keringat dingin makin kurasakan. Perutku tiba - tiba terasa terkoyak - koyak tak karuan. Aku tak bisa menahan gejolak yang datang. Kecemasan makin menghantuiku lagi.

Ramon menyalami ibunya terlebih dulu. Begitu tiba giliranku menyalaminya, ibu Ramon tampak heran menatapku. 
"Loh, kenapa wajahmu pucat sekali, Nduk?" tanya ibunya.
"Ibu, boleh saya permisi sebentar?" kataku kemudian.
"Ia silahkan." Ibu Ramon tersenyum mengangguk padaku.

Sejurus kemudian aku berlari terbirit - birit.
"Sayang, ada apa?!" Ramon bertanya sedikit berteriak.
Tak kupedulikan Ramon dan tak kulihat wajahnya yang mungkin terheran - heran melihat tingkahku. Aku tetap berlari meninggalkan meja makan dan mencari toilet.

"Hfff..!" Akhirnya kecemasanku berakhir sudah. Aku duduk diatas closet seraya bernafas lega. Keteganganku melawan gejolak perut berakhir di toilet ini. Perutku terasa lega. Muka pucatku sirna seketika. Namun, aku tak tau cara menahan malu menghadapi calon mertua setelah ini.

Monday, December 3, 2012

Pasukan Merah

Dia menampakkan wajahnya penuh amarah. Senyum tak pernah terlihat dari raut mukanya. Alisnya selalu mengerut kebawah. Bibirnya selalu tampak manyun runcing kedepan. Matanya selalu tampak serius. Tak pernah kulihat wajah cerianya.

Kini aku bersama dirinya. Dia mengajakku ikut terjun kedalam pertempuran. Aku menjadi pendukung pasukannya. Teman - teman seperjuangannya telah siap dengan aneka kostum yang beragam. Beberapa ada yang berseragam merah persis sama seperti apa yang ia kenakan. Beberapa juga ada yang berseragam biru, kuning, putih, hitam, juga abu - abu. Kostum warna warni mereka menyemarakkan suasana pertarungan yang semakin tegang. Semangat perjuangan terdengar dari suara nyanyian perang mereka. "Hiya.. Hiya..!" suara - suara mereka bergemuruh membangkitkan semangat tempur didalam dada.

Di arena pertarungan babak pertama, aku dibantu tiga pasukan dari kawanan mereka yang berseragam merah. Mata mereka menyala. Sebagai pemegang ketapel raksasa, aku menjadi penentu kemenangan mereka. Maka, aku berusaha keras tak ingin mengecewakan mereka. Kuperhitungkan sudut arah ketapel harus kuarahkan kemana nantinya agar tepat mengenai rombongan musuh di depan sana. Mataku waspada mengintai target musuh. Salah satu pasukan merah sudah siap menjadi peluru. Sementara pasukan merah lainnya telah menanti dibelakang menunggu giliran. Kupincingkan mata sembari siap menarik tali ketapel berisi salah satu pasukan merah. "Cetaaaar..!" Pasukan merah pertama melambung tinggi ke angkasa setelah kutarik kencang tali ketapel. Ia kemudian jatuh mengenai beberapa kawanan musuh, terguling - guling merobohkan sebagian bangunan tempat markas musuh tinggal. Beberapa musuh berwajah bulat berlubang hidung besar, dengan kostum berwarna pink disana berhasil dilumpuhkan. "Hiya..! Hiyaaa...!" spontan suara - suara kemenangan pasukan merah berdendang.

Kulihat tinggal tiga pasukan musuh lagi yang masih tersisa. Kulakukan strategi yang sama lagi. "Cetaaar.. !" kali ini salah pasukan merah kedua melambung jatuh tersungkur merobohkan sebagian lagi bangunan. Namun, tidak berhasil melumpuhkan habis lawan. Kini pasukan merah terdiam. Hanya kesunyian yang kudengar. Aku merasa bersalah. Kususun stategi lebih matang. Kali ini aku harus berhasil. Pasukan merah ketiga ini adalah terakhir yang kupunya. Kutarik dengan kuat - kuat tali ketapel begitu strategi sudah siap. Akan tetapi ketika tanganku hendak melepaskannya, tiba - tiba semua menjadi gelap.
"Jiaaaaah...!" spontan aku berteriak menatap layar hitam diatas meja.
"Lha, kenapa?" tanya temanku yang sedari tadi sibuk bercengkrama bersama blackberry miliknya.
"Baterai drop, Man..!" kataku seraya menunjuk talenan canggih dihadapanku.
"Hihihi.. Angry Bird nya tadi sampai level mana? " ia kemudian bertanya sembari terkekeh mengejekku.

Sunday, December 2, 2012

Takut


Aku takut
Wajahku makin kusut
Ragaku kian lama menciut
Pikiranku pun makin kalut

Ragam ketakutan kian menyelimuti
Menjadi beban dalam diri
Mengingat penyakit ini sulit terobati
Mengingat waktuku tinggal sedikit lagi

Tapi, kemarin mereka datang kesini
Para relawan itu datang dengan semangat berarti
Memberi senyum yang berarti
Hilangkan ketakutanku yang  sempat menghantui

Walau waktuku terbatas
Walau kisah hidupku tinggal selembar kertas
Gerakan semangat kan tetap kusebar luas
Hari – hari kan selalu kuisi dengan ragam aktifitas

Selamat hari AIDS !

Larut Malam

Tiba - tiba aku terbangun pada malam yang masih larut. Tubuhku terasa lemas. Mataku terbuka menatap atap kamar yang masih gelap. Sekujur tubuh terasa berpeluh keringat. Bukan hawa dingin yang terasa, melainkan rasa gerah menyelimuti suasana malam kali ini. Tenggorokanku terasa kering. Rasanya aku terserang dehidrasi tingkat tinggi. Dan aku butuh segelas air. Maka, aku pun berusaha duduk sejenak diatas tempat tidur, baru kemudian mencoba berdiri menghidupkan saklar lampu di dekat pintu kamar. Dengan badan lunglai aku menggerakkan kenop pintu kemudian pergi melangkah keluar dari kamar.

Walau mata ini terkantuk - kantuk, aku berusaha berjalan perlahan dalam ruang gelap seraya meraba tembok. Aku berhasil lolos melewati ruang tamu menuju ruang dapur. Kubuka kulkas dan kurasakan betapa dahsyatnya hawa dingin yang menyambar tubuhku. Seketika tubuhku menjadi kering. Hawa sejuk menyegarkan menelusup ke pori - pori kulit.
"Glek.. !" Perasaan lega langsung mengalir membasahi kerongkonganku yang kering. Air dingin dari botol di kulkas meluncur mulus melalui mulutku.

Setelahnya pandanganku beralih pada penghuni kulkas yang lain. Mataku kini tak berkekuatan lima watt lagi, namun sudah terbuka lebar ketika kulihat makanan kesukaanku bertenger manis disana. Panggilan rayuannya tak terelakan telah menggoda hasrat ingin ngemilku yang tak terkendali. Kusobek balutan baju yang membungkus tubuhnya. Kudapati tubuhnya yang padat berwarna coklat makin menggoda dan menggiurkan lidah. Segera saja kugigit dan kutelan tubuh mungilnya. 
"Nyam.. Nyam.." segigit dua gigit coklat perlahan kunikmati sensasi kelezatan rasanya.

"Maling..! Maling..!" kudengar suara Ibu berteriak mengagetkanku. Aku buru - buru menutup kulkas kemudian berlari sembari menggenggam sisa coklat. Aku berlari kearah bayang - bayang ibu yang pada saat itu kulihat sedang berdiri di depan pintu kamar mandi dekat dapur. Namun Ibu malah berlari ke ruang tengah menjauh dariku sambil berteriak kembali, "Maling..! Maling..!" Aku menyusulnya berlari dengan perasaan takut ditamabah lagi jantung kini berdegup.
"Ada apa Bu?" Ayah yang baru keluar dari kamar bertanya pada ibu setelah menghidupkan lampu di ruang tengah. Mata ayah langsung waspada.
"Itu, maling tadi kulihat di dapur." jawab Ibu dengan nafas tersenggal - senggal.
Jantungku yang tadinya berdegup kencang akhirnya menyurut seketika mendengar pernyataan Ibu.
"Itu aku, Bu." pernyataanku lantas disambut gelak tawa Ayah yang membahana.

Saturday, November 24, 2012

Galau

Di awal bulan ini kau akhirnya datang. Kedatanganmu membuatku merasa bahagia dan selalu ingin tersenyum. Tak ada yang membebani pikiranku. Mata berbinar - binar setiap kali menatapmu. Keindahan selalu terpancar darimu. Pesonamu selalu membawa kemudahan dalam setiap rona kehidupan yang kujalani selama ini. Tanpamu aku lemah. Tanpamu hidupku sia - sia. Bisa dibilang kau penonggak hidupku. Kau penyemangat hidupku. Setiap awal bulan datang, kau kuajak habiskan waktu tuk bersenang - senang. Menikmati hidup, makan makanan yang kusuka, membeli berbagai keperluan yang kuperluan, ya tak jarang pula sih membeli sesuatu yang tak kuperlukan namun kuinginkan. Kau memberiku segalanya. 

Kini akhir bulan hampir tiba. Perlahan tanpa kusadari kau menghilang dalam fana. Hatiku pun galau. Risau menghadapi kenyataannya yang ada. Dirimu kini hanya dalam anganan. Aku pun pasrah dan tak tau  harus berbuat apa. Pikiranku kacau. Aku berusaha memutar otak tuk meraihmu kembali. Tapi, kini sudah akhir bulan. Dua hari lagi, si pemilik kost pasti datang. Aku makin galau nan deg - degan. Kuhela nafas panjang, lalu kubuka lembaran buku tabunganku dalam remang - remang lampu meja di ruangan kost. Nominalnya sungguh membuatku kecewa. Dirimu benar - benar sirna dalam genggaman. Oh Tuhan, galau tak punya uang lebih berat daripada galau tak punya pacar. Seketika tetes air mata mengalir dari sudut mataku. Aku benar - benar galau.

Wednesday, November 21, 2012

Hujatan Para Penghuni

Mereka berteriak lagi. Suaranya makin meninggi. Menyiutkan hati, mengakibatkan penyesalan dalam diri. Hujatan protes mereka datang bertubi - tubi. Seolah ingin keluar dari belenggu derita. Seolah ingin terbebas dari penjara ketidakpastian.

"Keluarkan kami! Keluarkan kami!" teriakan itu nyaris setiap hari kudengar setiap aku mengintip ke bilik - bilik tempat peristirahatan mereka. Aku menatap mereka dengan nanar. Ada sedikit penyesalan yang menyelinap. Namun tetap saja, itu tak membantu mereka. Kerelaan hati tak kunjung mengalahkan hasrat keinginan yang membara.

"Bebaskan kami! Jangan biarkan kami disini selamanya. Izinkan kami ikut bebas menghirup aroma dunia yang kau pijaki." mereka berceloteh kembali. Tapi, aku tetap saja menatap mereka dalam diam. Dahiku mengerut hingga tiga lapisan berusaha menemukan ide briliant.

Lima menit..
Tujuh menit..
Aku masih terpaku memandang wajah - wajah mereka. Di setiap blok kamar tempat mereka singgah, tampak pancaran wajah mereka sama. Dari wajah mereka tercium aroma kekecewaan.

"Jangan sia - sia kan kami! Jangan acuhkan kami! Ingatkah engkau saat pertama kali membawa kami kemari? Ingatkah engkau bahwa pada akhirnya kami menjadi sia - sia disini?" Kasak - kusuk hujatan mereka membuat gendang telingaku ingin pecah.

Aku berlari menghempaskan tubuhku ke ranjang, lalu menoleh ke sebuah shopping bag berukuran besar yang sedaritadi aku letakkan disana. Kutatapi isi didalamnya. Kemudian aku berpaling menatapi mereka. Masih tampak kondisi yang sama. Mereka terpaksa berdesakan dalam bilik - bilik itu sembari tetap menampakkan kekecewaan.

"Sudah tau disini kami penuh sesak, sementara kau ingin menambah personil kami lagi?" Mereka kini menatapku sinis. Aku meraih bantal guling sembari berbalik badan. Tanpa peduli akhirnya aku acuhkan mereka, para penghuni lemari yang selalu menghujatku.

Derita Gaza

Suara - suara itu kini lagi terdengar..
Suara - suara itu makin menggelegar..
Mengiris hati yang sedang gusar..
Hingga membuatnya kian gemetar..

Puluhan roket hinggap menerobos kokohnya bangunan..
Rumah - rumah hancur sekejap menjadi kepingan..
Sekolah - sekolah lenyap menjadi timbunan..
Masjid - masjid pun ikut menjadi sasaran..

Darah tak lagi asing menjadi pemandangan..
Puing - puing berserakan mengotori jalanan..
Mayat tertimbun dibawah reruntuhan..
Jerit dan tangis sekejap memecahkan kedamaian..

Gaza kembali dirudung luka..
Meluluh lantahkan semua yang ada..
Tak peduli anak - anak maupun wanita..
Terpaksa mati akibat perang yang melanda..

Gaza kembali menderita..
Peperangan kian membabi buta..
Berlanjut menambah siksa..
Membekas dalam sedih yang kian membahana.. 

Tuesday, November 20, 2012

Hembusanmu

Aku rindu padamu. Akan hembusanmu yang membawa kesegaran bagiku. Membawaku dalam ketenangan. Menghilangkan beban derita tubuhku. Belaian lewat hembusanmu kini langka kutemukan. Kau menghilang sirna dari pandangan. Tak pernah kulihat lagi kau yang biasanya lewat menyapa sekumpulan pepohonan di pekarangan rumah. Kemudian setelahnya kau datang menghampiriku memberi kesejukan yang berharga. Tak pernah kurasakan lagi hembusanmu yang datang perlahan. Membelai mesra hinggap mengelilingi sekujur tubuh ini. Mengeringkan peluh keringat yang membasahi. 

Aku tak tahu kapan terakhir kali kau datang. Yang pasti saat ini keadaanku selalu begini. Membuat keringat terus saja mengalir melalui pori - pori. Derasnya begitu terasa menempel membasahi tubuh. Dahaga tak hentinya datang membawa derita. Menyisakan rasa haus yang membara. Hingga membuat tenggorokan selalu terasa kering. Berkali - kali aku usap peluh keringat dari dahi. Tidur rasanya tak tenang. Malam tanpa dirimu terasa semu. Menanti hadirmu rasanya akan sia - sia saja. Akhirnya malam ini ragaku sudah tak kuat lagi. Aku bergegas memaksamu datang kemari. Memaksamu datang ke kamarku tuk temani tidurku malam ini.

Aku melangkah berjalan menuju ruang tamu. Kutemukan sebuah kipas angin besar yang  kucari. Kugotong kipas itu masuk kedalam kamar. Kuhidupkan kipas angin itu dan akhirnya kurasakan dahsyatnya hembusanmu. Kekuaatan hembusanmu menelusup masuk menghilangkan sejenak hawa panas yang menyiksa di malam ini.

Thursday, November 15, 2012

Sekilas Pandangan


Tiba – tiba dia yang duduk disana memandangku. Matanya seolah merayu mesra, senyumannya manis terbaca dari bibir seksinya. Aku pun tak kuasa menahan gejolak rasa yang berdebar secara tiba – tiba muncul. Kuberanikan diri membalas pandangannya sembari menebarkan senyum termanis yang aku punya. Cukup lama gadis berbaju merah berambut lurus nan panjang tergerai  itu memandangku. Aku menjadi salah tingkah tak karuan. Mukaku seketika merah padam. Disaat itulah ia berdiri dan berjalan menuju kearah dimana aku duduk terdiam. Jantungku berdebar tersentak bagai mengikuti alunan drum. Tak kuduga dan tak kusangka, gadis itu benar – benar menghampiriku. Kini ia berada dihadapanku dan menyapaku “GENDUUUT!!! Cepat banguuuuuun !!!!” 

Bayangan gadis itu menghilang seketika. Kini di hadapanku telah berdiri sesosok gadis berambut pendek dengan muka seramnya. “Auuu!!!” aku berteriak kesakitan ketika kakakku yang cerewet itu memukul kepalaku.

Menemuinya


“Aku butuh dia sekarang!” teriakku dalam hati. Bibirku yang tadinya ingin berseru demikian sirna. Aku tak mampu berjalan. Kaki – kaki ini terasa lemah. Kepala sungguh terasa berat. Mata pun berkunang – kunang tak jelas melihat ruangan sekitar. Di ruangan ini hanya ada aku seorang. Aku yang tinggal dalam sebuah kamar kost berukuran kecil kini sedang tak berdaya. Tubuhku lemas terkapar dalam pelukan selimut tebal. Tubuh tak terasa menggigil. Namun setidaknya selimut mampu menyelamatkanku dari dinginnya malam. Pelan – pelan aku mencoba menutup mata. Namun kepala ini tetap saja tak kunjung hentikan berbagai pikiran yang melanda. Aku hanya pikirkan dia. Dia yang selalu aku butuhkan disaat – saat seperti ini. Tapi, kali ini dia tak ada disini. Menenangkanku tuk kembali tidur menyambut mimpi.

“Aaargh…!! Kepalaku mau pecah! Aku tak kuat lagi!!” teriakan hati memaksaku tuk berdiri. Aku sudah tak tahan lagi. Hanya dia yang kubutuhkan saat ini. Perlahan aku melangkah pergi. Keluar dari kamar, menutup pintu, kemudian mengayuh sepeda gayungku. Aku tak peduli sakit yang menerpaku kini. Malam – malam dini hari aku cuek mengayuh demi menemui dia yang kucari. Tampak kanan kiri suasana sudah sangat gelap. Melewati pos kambling tampak para kawanan lelaki muda tengah berjaga. Mereka menggodaku dengan siulan – siulan khas para penggoda. Aku cuek tak pedulikan mereka. Tetap focus mengayuh sepeda demi menemukannya walau ku tau ini malam buta.

Menemukannya tak membutuhkan waktu lama. Lima menit mengayuh aku sudah sampai di tempat tujuan. “Sreeeeet..!” aku tepikan sepedaku di badan tembok sebuah warung. Tampak disana berkumpul para kaum lelaki, baik yang muda maupun yang tua. Mereka tengah fokus menonton bola beramai – ramai sambil minum – minum kopi. Sekilas kulihat mereka memasang muka – muka tegang menatap layar kaca tanpa menyadari kedatanganku yang  bermuka pucat. Aku melihat kedalam dan menemukan ibu paruh baya menyambutku dengan senyuman.
“Beli apa, Mbak?” tanyanya.
“Bodrex ya Bu.” Jawabku.
Akhirnya aku dapat bernafas lega. Kini aku telah temukan dia. Hanya dia yang mampu menyembuhkanku. Aku bergegas menelannya bersamaan dengan segelas air putih yang kuminta dari ibu pemilik warung itu. 

Kaki - Kaki Penyiksa


Mereka tak pernah tau betapa selama ini aku menderita. Mereka perlakukan aku semena – mena. Menendangku  sekuat tenaga. Menggunakan kaki – kaki mereka yang terbungkus sepatu, bak sepatu yang terbuat dari kulit baja. Tendangan mereka sungguh keras. Membuatku sejenak melambung ke angkasa kemudian terhempas jatuh ke tanah. Mereka berlarian mengejar arah angin yang membawaku terbang. Menunggu hingga ku jatuh terjembam dihimpitan kaki – kaki mereka lagi. Begitu seterusnya. Hingga pantaslah bila kusebut mereka dengan sebutan kaki – kaki penyiksa. Mereka tidak hanya menyiksaku dalam berbagai jurus tendangan, tetapi mereka juga terkadang menyundulku dengan kepala – kepala mereka. Penyiksaan terhenti sejenak kala tubuhku menghantam tubuh salah satu dari mereka yang selalu berdiri menanti kehadiranku. Ia yang selalu berdiri menantiku berusaha menyelamatkanku agar tak masuk menembus kandang mereka. Kadang ia berusaha merangkulku dalam pelukan mereka, kadang pula mencoba menangkisku hingga membuatku melambung kembali bertempur menahan kaki – kaki penyiksa.

Tak peduli hujan yang menerpa, maupun panas yang mengengat. Walau air hujan ikut pula membasahi sekujur tubuh mereka, walau keringat mengucur melalui sela – sela baju mereka, tetap saja mereka beraksi tanpa rasa peduli. Luka memang terasa begitu menyiksa. Tapi, apadaya aku hanya bisa pasrah menerima kelakuan mereka. Ingin ku berteriak, “Jangan siksa aku! Hentikan semua ini.!” Namun teriakan itu tertelan dalam hati. Sakit yang kurasa menenggelamkan keberanianku tuk berkata. Sekumpulan kawanan mereka benar – benar tak dapat kuhentikan seorang diri. Mereka akan bersorak gembira kala aku jatuh terjembab melewati batas pintu kandang tim lawan. “Goool… !!” sorakan khas mereka nyaring terdengar. Disaat seperti itulah aku bisa bernafas sejenak, namun penyiksaan tetap berlangsung tak berselang semenit kemudian. Penderitaan benar – benar terhenti bila peluit panjang berbunyi pertanda pertandingan telah usai. Saat itulah ku kan tenang. Berkumpul kembali bersama kawananku. Kawanan bola – bola yang telah menjadi kotor berhiaskan lumpur maupun kotoran.

Tuesday, November 13, 2012

Penonton Abadi

Aku adalah penonton abadi. Yang tak pernah lewatkan peristiwa - peristiwa seperti ini. Menatap lalu lalang keramain dan keributan yang sering terjadi. Setiap hari bahkan hampir sepanjang waktu, duniaku selalu berulang begini. Suara - suara keributan selalu saja berbunyi. Suara - suara kendaraan mereka yang datang silih berganti. Mereka yang dengan seenaknya berebut saling mendahului. Mereka yang dengan rasa tak sabaran menekan klakson berkali - kali. Tak sabaran menanti jalan yang tak pernah sepi. Tanpa peduli keberadaanku yang selalu berdiri disini. 

Asap mengepul keluar dari knalpot - knalpot kendaraaan yang melintas. Asap - asap itu perlahan melekat menyisakan bekas. Debu - debu jalanan pun tak mau ketinggalan ikut terlibat. Dengan gampangnya debu mengikuti tiupan angin yang berhembus, kemudian terbang kearah tubuhku. Hasil akhirnya, beginilah tubuhku kini. Tampak kumal dan kucel. Dipolesi kumpulan debu yang menggumpal. Dihiasi bekas asap yang menghitam berjuntal - juntal.

Lihatlah sekarang diriku yang tak terawat. Tak ada yang peduli dengan keadaanku. Bahkan Pemerintah pun tak kunjung jua prihatin padaku. Padahal aku ini bisa dibilang kembaran salah satu pahlawan nasional negeri ini. Padahal jasa pahlawan itu kudengar sangat dihargai. Namun pada kenyataannya ya seperti ini. Si kembaran sosok pahlawan negeri terlantar berlumuran debu dan asap. Bahkan kini mulai tumbuh jamur serta lumut yang perlahan tumbuh disana - sini. Ah, andai saja aku bisa berteriak. Aku ingin berhenti menjadi penonton sejati. Menghindar dari peristiwa kemacetan ini. Aku ingin pergi beranjak dari tempat ini. Pensiun menjadi patung di bundaran jalan ini. Sesosok patung yang mungkin tak dapat dikenali lagi. Sesosok patung yang sebenarnya benci keramaian ini. Sesosok patung yang lebih senang bila ditempatkan di museum yang selalu sepi.

Saturday, November 10, 2012

Pahlawanku

Resah membelenggu. Hatiku pilu menembus ulu. Debaran jantung kian memburu. Mengiringi kecemasan didalam hati. Mencoba bertahan sembari menanti. Mondar mandir aku berdiri. Sesekali kulirik sang dokter yang memeriksamu. Kau hanya diam membisu. Dengan rela tanpa paksa, kau serahkan hidupmu padanya. 
"Hm, sepertinya harus diinapkan sehari. Parah kondisinya. " Sang dokter serius memandangiku.
"Baiklah. Tak apa." Aku pasrah. Lidahku kelu tak dapat berkata. Kuusap - usap kepalamu sebagai ungkapan berpamitan denganmu. Kau tetap tak bersuara. Kau tertidur sementara dalam luka. Aku pun melangkah pergi meninggalkanmu dalam muram durja.

Esoknya aku kembali lagi. Aku lihat sang dokter tengah bekerja. Dengan tekun dan saksama ia perhatikan dan pegang tubuhmu dari segala arah. Sampai - sampai ia tak menyadari kedatanganku. Aku tak mau mengganggu konsentrasinya. Aku duduk menunggu diluar ruangannya. Seteguk air kuminum dari botol berisi air yang kubawa. Lalu, kulihat beberapa majalah tertumpuk pada meja dihadapanku. Iseng saja kubuka majalah ditumpukan paling atas. Sebuah majalah pengusaha. Aku buka dan membaca sekilas informasi didalamnya. Lembaran demi lembaran kubuka, hingga akhirnya terhenti pada sebuah halaman. Di halaman tersebut terselip selembar kertas brosur yang tampak membuatku terpesona. Ada  wajah saudara kembarmu terpampang disana. Tak terasa aku meneteskan air mata. Teringat kembali akan jasa - jasamu yang selama ini kau berikan padaku. Tanpamu aku lemah. Tanpamu aku tak bisa berlindung dari sengatan matahari yang membakar kulit, dan berlindung dari hujan badai diluar sana. Tanpamu usahaku tak kan berjalan sempurna. Dan tanpamu aku tak dapat berkelana kemana - mana. Ketangkasanmu selalu membawa semangat. Kilauan indah warna hitammu menambah kesan mewah pada dirimu. Walau sebagian orang menganggap rendah dirimu, namun kau selalu istimewa dihatiku. Sembari memandangi brosur yang kupegang, aku berdoa. "Ya Tuhan, sembuhkanlah mobil Pick up pahlawanku."

Wednesday, November 7, 2012

Keluhan Hati


Perlu kau ketahui hidupmu bergantung padaku. Tanpa kehadiranku, kau tak mampu memiliki apa yang kau punya kini. Pertama kali aku masuk kedalam kehidupanmu, kau tampak terpesona menatapku. Bukannya aku sombong. Akan tetapi semua orang pasti setuju akan pancaran pesonaku yang begitu memikat. Berulang kali kau menatapku, berpikir sejenak sampai akhirnya kau pun memilihku. Kau keluarkan amplop berisi segepok lembaran uang merah dan memberikan pada majikanku yang lama. Akhirnya saat itu juga aku resmi menjadi  milikmu. Dan pada hari itu jugalah aku harus bersiap melayani segala perintahmu.

Kau membawaku dengan senyum sumrigah. Menelusuri jalan raya masuk melalui gang - gang sempit nan padat penduduk. Jalan yang tak mulus membuat kita terjungkal - jungkal dengan mesra. Setibanya di lokasi aku merasa kecewa. Rumahmu tak terawat dan sempit. Hanya seukuran sepetak tanah berisi satu kamar tidur dan kamar mandi. Tak seperti majikanku yang lama. Rumahnya lumayan luas tapi tetap sederhana. Ya sudahlah, ini sudah menjadi nasibku barangkali. Ikut denganmu walau terpaksa.

Pagi hari keesokan harinya, kau mengajakku ke depan ujung gang dekat trotoar jalan. Kita berdiri berdampingan. Aku tak tahu apa yang kau lakukan. Kau berdiri sembari menyapa para turis yang lalu lalang. Kau tersenyum ramah pada mereka, lalu berbicara bahasa mereka, sampai akhirnya kau tersenyum puas pada saat akhirnya ada seorang laki - laki bule yang memberimu selembar uang berwarna biru. Kemudian kau menyodorkan diriku padanya untuk dibawa. Hah, aku sempat merasa heran, sebenarnya transaksi apa ini. Namun kau hanya tetap tersenyum melepaskanku pergi bersama bule lelaki itu. Aku pun pasrah menuruti. Ternyata pekerjaanku kini tak senyaman pekerjaan yang diberikan majikanku terdahulu.

Setiap hari kau selalu mempekerjakanku seperti ini. Menyewakan aku untuk menemani para wisatawan yang kebanyakan bule untuk bersenang - senang. Kau jadikan aku lahan pengumpul hartamu. Pelangganmu tak hanya para lelaki, namun terkadang para wanita ikut menikmati. Aku pasrah saja menghadapi ini. Sepanjang hari aku melayani satu persatu secara bergantian para turis yang ingin menghibur diri. Suaraku yang merdu. Kelincahan mesin tubuhku dalam berlari, serta penampilan luarku yang cantik benar - benar memuaskan hati mereka. Para pemakai diriku yang lembut, akan dengan lembut menyentuhku, mengajakku dalam tawa dan aneka petualangan. Tetapi, kebanyakan dari mereka bermain secara kasar. Dengan membabi buta mereka menelangsakan aku disetiap arena petualangan mereka. Betapa mereka membuatku mati secara perlahan. Betapa aku tersiksa dengan pekerjaan ini.

Sebenarnya aku sudah lelah, aku tersiksa, namun kau telah merawatku dengan penuh teliti. Membawaku ke salon sebulan sekali. Dan mengobati salah satu anggota tubuhku ke dokter spesialis jika aku terluka akibat ulah mereka. Sebenarnya aku muak dengan ulah kekasaran mereka. Sebenarnya aku sudah ingin berkeluh kesah. Sampai pada akhirnya nyaris setahun kemudian kau datang membawa pesaingku. Kau bawa ia yang lebih keren dan cantik bersanding disebelahku. Kilauan pancaran tubuhnya kuakui lebih baik dariku. Sempat ada rasa iri terlintas dalam hati. Saat itulah aku mulai mengambil sikap dihadapan calon pelanggan. Aku tak mau kalah oleh milikmu yang baru. Aku mau tunjukkan padamu bahwa aku lebih banyak bisa mendatangkan uang daripada dia. Namun apa yang terjadi bukanlah yang kuharapkan. Kala itu laki - laki berdarah Indonesia yang harus kulayani. Berselang beberapa menit belum sempat aku layani, ia menelponmu dari tempat kami terhenti.
"Bli Wayan, bagaimana ini? Ban Motor yang saya sewa ini kempes tiba - tiba."  
"Lokasi dimana? Biar saya susul sekarang." jawabmu dari seberang telpon.
Lima menit kau datang. Langsung menuntunku pergi menuju ke tempat dokter spesialisku tinggal, yakni bengkel motor.

Terusik

Jeruji besi ini masih mengurungku hingga kini. Bertahun - tahun lamanya mereka menempatkanku disini. Entah kapan tepatnya aku lupa. Yang aku tahu seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Diriku yang bebas berkeliaran. Menikmati hidup diluar dari balik kurungan besi. Aku disini merasa sungguh kesepian. Sepanjang hari berada diruangan 3 x 4 meter, menikmati kesendirian mematahkan kebebasanku.

Keadaan ini memang sungguh sangat tragis. Akan tetapi, aku masih bisa bersyukur karena mereka selalu memberiku makan secara gratis. Lidahku selalu bisa merasakan makanan - makanan enak kesukaanku. Tubuhku selalu terisi oleh nutrisi. Dan hasilnya tubuhku semakin besar dan berisi. Aku tak tau harus berterima kasih atau menyalahkan mereka sang penguasa. Penguasa yang menyuruh para penjaga untuk menahanku dan mengekang kebebasanku, namun tetap memenuhi segala kebutuhanku. Sempat waktu itu aku pernah memberontak. Aku hantam jeruji besi dengan kepalaku. Tapi, apadaya besi tak kunjung roboh. Datanglah dua orang penjaga yang selalu rutin mengunjungiku. Perlahan tapi pasti, mereka berusaha menenangkanku. Salah satu dari mereka dengan lembut mengelus kepalaku, sedangkan yang lainnya menepuk pelan tubuhku. Tak tau mengapa, aku selalu nyaman dekat mereka berdua. Mereka sabar menghadapiku. Mereka yang selama ini menjadi teman bermainku. Mengobati sedikit kesepianku. Mengobati sedikit kebebasanku yang hilang.

Tahun silih berganti. Janggut rambut ini semakin lebat. Tubuhku semakin kuat. Namun tetap saja, hati ini rapuh. Orang - orang yang datang melewati ruanganku tak pernah mengerti. Mereka tak mengerti bagaimana bosannya berada dibalik jeruji. Mereka tak mengerti rasanya tak memiliki kebebasan yang hakiki. Mereka tak tau yang kualami. Yang mereka lakukan hampir sebagian besar selalu sama. Kadang ada yang hanya sekedar melewatiku dengan tatapan ngeri, kadang ada yang berhenti memandangiku dari kejauhan sembari mengangguk kagum tersenyum kepadaku, dan kadang ada yang lebih berani tanpa seijinku menjadikanku objek pemotretan. Dari berbagai aktifitas mereka yang hanya kulihat dari balik jeruji, belum ada yang berani datang mendekat kepadaku, kecuali dua penjaga yang sudah kuanggap sahabatku sendiri. Paling dekat mereka berdiri berjarak 50cm dari batas jeruji. Namun, pada hari ini ada seorang anak kecil kulihat berdiri merapat ke jeruji. Tinggi tubuhnya mungkin hanya seratus centi. Anak lelaki itu tanpa ragu dan takut sendirian berada disana. Tangannya menjulur kedalam ruangan. Ada sebatang coklat ia genggam. Coklat dengan bungkusan setengah terbuka itu, ia kibas - kibaskan kearah mukaku. Aku diam tak menggubrisnya. Aku malas dan ingin tidur saja. Namun ia masih saja berusaha mengusik ketenanganku. "Pluk..!" sebatang coklat itu terjatuh mengenai kepalaku. Sontak aku kaget dan marah. Aku berteriak, lebih tepatnya mengeluarkan suara khasku yang menggelegarkan telinga. Ia juga kaget dan menangis kencang. Orang - orang disekitar lantas kaget histeris menoleh kearahku dan anak lelaki itu. Sang ibu yang sedari tadi asyik mengobrol di telpon kaget dan lari menarik anak lelakinya menjauh dariku. Tampak wajah sang ibu ketakutan seraya menggendong dan memeluk erat anaknya. 
"Mama..!! Singanya galak..!!" anak lelaki itu menangis berseru sambil menunjuk kearahku.

Rindu Hujan

Aku masih berdiri di tempat yang sama. Menghadap kearah jalan yang kian berdebu. Mengamati setiap hiruk pikuk kemacetan yang tak kunjung menurun. Di tengah pembangunan proyek jalan tol, kepadatan dan kemacetan disepanjang jalan semakin meruntuhkan kesabaran. Orang - orang selalu tak sabaran menunggu. Tampak selalu aneka kendaraan berebut diiringi suara - suara klakson berbunyi silih berganti. Apalagi sengatan matahari yang begitu dahsyat sepanjang tahun ini, makin membuat orang hilang kendali. Aku memang terbiasa dengan semua ini. Mereka tak peduli jika tubuhku kini menciut. Rambutku kini tak lagi segar berimbun. Salah siapakah ini? Aku pun tak mengerti. Aku hanya tau musim kemarau tahun ini terasa begitu panjang. Meruntuhkan kehidupanku yang makin rentan.

Bukannya aku tak suka terik matahari. Bukannya aku benci panasnya matahari. Malah, aku juga butuh matahari. Tapi, kali ini aku hanya rindu hujan datang kembali. Aku rindu kehadirannya menghiasi muka bumi. Tak pernah lagi kulihat hujan mewarnai. Setiap hari sang raja siang selalu menjadi penguasa. Panas yang dikeluarkan sungguh sangat terasa. Memekakkan kulit hingga memerah. Membuat manusia selalu haus dahaga. Matahari memang tak selalu hadir sepanjang hari. Ia hanya bersembunyi kala bintang dan bulan datang. Tetapi, aura panasnya tetap terasa walau hari petang.

Pagi ini aku masih berdiri di tempat yang sama. Tetap berdiri, walau kaki - kaki ini perlahan rapuh. Tetap berdiri, walau tubuh ini hampir mati. Kulihat matahari belum muncul. Warna jingga masih menghiasi langit pagi ini. Pertanda mentari siap beraksi lagi. Sempat ada semilir angin menyejukkan sedikit kerapuhan tubuh ini. Namun itu tak membuat rinduku terobati. Aku masih berharap hujan menampakkan semaraknya. Aku kembali merunduk lesu. Harapanku pupus, keinginanku sirna. Aku pasrah untuk bersiap kembali mengawali hari bersama sang panas. Ditengah kepasrahanku, tiba - tiba suara itu datang. Tetesan - tetesan air itu seketika datang bergerombol membasahi jalan - jalan juga masuk ke sela - sela kaki ini. Aku tersenyum sumrigah. Lama sudah kurindu. Hujan turun menebas rasa pilu. Gemercik tetesan demi tetesan air yang turun merupakan anugerah bagiku. Air hujan selalu berhasil mengobati rinduku. Membuat tubuhku segar kembali. Menyongsong waktu datangnya hari. Deruan suaranya yang kencang mengobarkan semangat yang hampir mati.

Pagi kali ini tak lagi diawali sang mentari. Ia memberi kesempatan pada sang pembawa rejeki. Aku menikmati pagi ini. Orang - orang yang sedang lari pagi berdatangan kearahku. Mereka ingin berteduh dalam rangkulanku. Namun sepertinya niat mereka urung. Kini rambutku tak rimbun lagi. Kini aku hanya menjadi pohon gundul yang tak dilirik orang kala hujan tiba.



Tuesday, November 6, 2012

Kawanan Kami

Kami terbiasa hidup begini. Tinggal di lorong - lorong, dekat pembuangan sampah, serba kumuh dan kotor. Rumah kami bisa dibilang sangat jorok. Tak banyak orang yang akan mau tinggal disini. Apalagi jika mencium bau sampah disini. Memang, kami tak pernah merasakan tidur beralaskan kasur mewah nan empuk. Namun kami harus bertahan disini. Asal kami bisa mencari makan sendiri demi kelangsungan hidup kami. 

Kegiatan kami sehari - hari adalah berburu makanan yang kami temukan. Di dekat pembuangan sampah itu, mau tidak mau kami harus berjuang mencari sesuatu untuk dimakan. Beruntunglah bila kami mendapatkan makanan lezat, walaupun itu makanan sisa. Tapi, kadang kami harus kecewa karena yang ada hanya tumpukan sampah plastik dan dedaunan yang ada disana. Bila hal itu terjadi, maka kami berkelana menyusuri  pinggiran sawah para petani diujung jalan sana. Itulah satu - satunya harapan kami. 

Dari pinggiran sawah, kami beramai - ramai mengintai. Berharap tak ada yang mengawasi. Jika dirasa aman, kami mulai beraksi menyerbu tanaman yang ada disana. Kami memakan apa yang tersedia. Menggali tanah, mengambil hasil cocok tanam para petani. Setelahnya, kami kabur berlarian. Maka di hari kami berhasil menjarah milik petani itulah hari kemakmuran bagi kelompok kami. Seperti itulah kami. Tak peduli jika apa yang telah kami lakukan merugikan para petani. Mau bagaimana lagi, inilah hobi kami. Kawanan tikus yang sangat dibenci petani. Ya, kami memang tikus yang hobi mencuri, hidup di pemukiman kumuh dan merugikan para petani. Akan tetapi, bukankah tidak ada bedanya kami dengan mereka? Mereka yang hobi mencuri uang rakyat, hidup di pemukiman serba mewah dan lebih merugikan rakyat negeri ini. Ya, kami tak berbeda dengan mereka, para tikus berdasi yang masih berkeliaran hingga kini.

Thursday, November 1, 2012

Sensasi Roller Coaster

Ragu sempat menyelinap kedalam pikiran. Cemas dan was - was ikut berkelakar dalam angan. Rasa takut pun akhirnya muncul seketika tiba di arena permainan yang menurutku sangat menyebalkan ini. Roller coaster menjadi momok ketakutan yang melekat sepanjang hidup. Trauma akan permainan roller coaster masih terbayang dalam ingatan. Namun kali ini, kedua sahabatku tanpa menyerah mereka memaksaku ikut bermain. Kata mereka, ini permainan yang sangat menantang, menguji nyali dan mengakibatkan efek berdebar debar. Ya, aku tau bagaimana rasanya. Aku sudah paham benar sensasi roller coaster ini.
"Ayo! Kita main ini saja..!" seru mereka berdua kegirangan.
Mereka berdua kemudian mendorongku masuk ke arena permainan. "Deg!" jantung seketika berdegup. Terpaksa aku ikuti kemauan mereka walau sebenarnya ketakutanku telah menjalar di sekujur tubuh ini.

Kami bertiga duduk diatas kursi roller coaster. Lagi - lagi jantung ini berdetak tak karuan. Kali ini detaknya begitu cepat dan terasa. Keringat dingin seketika mengalir dari dahi. Mukaku asli pucat pasi. Kakiku bergetar. Sekujur tubuh berkeringat. Mataku berkunang - kunang. Pengaman telah terpasang dengan rapi. Nyaliku menciut menyulutkan segenap ketakutan. "Tidak..!" sebelum permainan dinyalakan aku melepas pengaman lalu turun dari kursi. "Kenapa apa Mbak?" si Penjaga bertanya heran sambil senyum - senyum. Kedua sahabatku tertawa lebar melihat tingkahku. "Belum juga mulai." timpal mereka. Akhirnya aku malu sendiri dan naik kembali keatas kursi.

"Siap..!" seruan si Penjaga disambut anggukan kami bertiga.
"Wusss..!!" Roller coaster mendadak melaju cepat dan kencang. Debaran jantungku makin tak karuan. Keringat makin menjalar, mungkin ikut berterbangan kali ini.
"WOOAAAAAAAA....!!!" teriakkan panjang mulus keluar dari mulut kami bertiga.
"Wuusss..!!" tempat duduk yang kini kududuki bergerak menukik tajam ke kanan dan ke kiri mengikuti lintas rel yang meliuk - liuk. Tiba - tiba, kami dibawa meluncur keatas hampir menabrak pegunungan, lalu menukik tajam meluncur ke jurang, dan meliuk - liuk lagi menerobos goa - goa. Kerudungku terbang namun tidak lepas. Jantung serasa mau copot. Aku beranikan diri membuka mata. Terlihat rel terputus diujung sana. Pikiranku melayang. Entah apa aku berpikir bahwa aku akan benar - benar dekat dengan ajal kini. Mataku terpejam lagi. "Geruak..!" rel bergeser kekanan sedikit dan langsung otomatis bersambungan dengan rel lainnya. Teriakan kami masih saja berkoar menambah ketegangan.

Perutku mual. Namun aku tak bisa berbuat apa - apa. Hanya teriakan dan sesekali menutup mata yang aku lakukan. Aku tak kuat lagi. Ingin segera mengakhiri peramainan roller coaster yang begitu lama ini. Kami dibawa lagi melintas meliuk - liuk memasuki semak - semak hutan, menyusuri lembah sungai. "Wkwkwkkw..!" hampir bersamaan kami tertawa kala cipratan air sungai sempat membasahi muka kami.

"Woaaaaaaaaaa...!!!" teriakan panjang kembali terdengar nyaris putuskan salauran kerongkongan. Roller coaster dengan gila membawa kami pada lintasan melingkar yang menyebabkan kami duduk terbalik dengan letak kepala dibawah. Mataku terpejam lagi. Aku ngeri. Perut makin mual.
"Wuss..!! Drrrrrrtt..!!" perlahan - lahan roller coaster terhenti di tempat memulai permainan tadi. Aku bernafas lega sembari memegang perut.

Kini layar dihadapan kami tampak putih kosong. Kami turun dari kursi dan melepas kacamata yang tadi kami kenakan. Ketika pintu ruangan dibuka, kami keluar dari ruangan. Tampak disana si Petugas tersenyum sumrigah seraya memuji kami, "Wow, teriakannya hebat.! Dimana belajar teriak, Mbak?"

"Seratus lima puluh ribu saja untuk sekali permaianan 5D ini!.." Kami menyodorkan uang pada si petugas, lalu kemudian beranjak pergi dari situ. Kami berjalan dengan tawa lebar dan muka senang. Aku tertawa sembari tetap memegang perut yang mual. 

Sunday, October 28, 2012

Renatta

Malam ini Imam dirundung rasa gelisah. Pikirannya kacau dan tak tenang. Mukanya tampak sendu. Ia hanya duduk diam di depan televisi. Matanya itu tak tertuju pada layar televisi, namun ia justru memandangi bingkai foto digenggaman tangannya. Matanya menerawang tak menentu dalam diam menatap suasana persahabatan yang terbingkai  disana. Sebuah potret dirinya dan Renatta, sahabat karibnya sedang tersenyum bahagia. Potret kebahagian itu tak lantas membuat wajah sendunya berubah sumrigah. Ia masih berpikir dan merasa putus asa. Pose kebahagian itu diambil oleh ayahnya enam bulan lalu. Usia persahabatan  mereka memang terbilang cukup baru. Tapi, bagi Imam, Renatta adalah penyemangat hidupnya. Berkat kehadiran Renatta, hari - hari Imam semakin berwarna. Sepulang dari bekerja, ia selalu menyempatkan diri untuk menemui Renatta. Imam selalu bercerita mengenai keluh kesah dan cerita hidupnya yang cukup rumit. Imam menceritakan betapa capeknya disuruh - suruh  oleh atasannya, cerita tentang seorang gadis yang menarik perhatiannya di tempat ia bekerja, dan betapa kesepian dirinya setiap melewati malam minggu. Imam tau Renatta mungkin bosan terhadap liku kisah hidupnya yang begitu - begitu saja. Namun, Imam sangat menyukai Renatta, karena Renatta tak pernah sekalipun mengeluh bosan mendengar ceritanya. Maka, ketika minggu lalu ayah Imam mengatakan bahwa dirinya harus siap kehilangan Renatta, Imam sungguh sangat kecewa. Ayahnya tak mau mendengarkannya. Negosiasi Imam untuk tetap bisa bertemu dengan Renatta tak dihiraukan oleh ayahnya. Alhasil, selama seminggu belakangan ini, Imam tak pernah absen bertemu dengan Renatta. Imam berusaha menunjukkan wajah sumrigah seperti biasanya dihadapan Renatta. Ia tidak tega jika sahabat karibnya itu tau kalau ia sedang bersedih.

"Allahu Akbar..! Allahu Akbar.!" suara azan dari Masjid membangunkan Imam dari tidurnya. Ia tak menyadari bahwa ia tertidur diatas sofa di ruang televisi. Ibunya yang ketika itu berjalan melewati ruang televisi, heran melihat anak lelakinya berada disitu. Imam menguap lebar dan tiba - tiba merangkul Ibunya. "Bu, tolong rayu ayah ya.!" rengeknya manja.
"Aduh, anak Ibu." Ibunya tersenyum geli seraya melepas pelukan paksa dari Imam.
"Ayolah Bu...!" rengek Imam lagi.
"Udah sana, siap - siap kita sholat." kata Ibunya seraya bergegas pergi tinggalkan Imam yang kini bersedih lagi.

"Allohu akbar, Allohu akbar, Laa ilaaha illalloh. Allohu akbar, Allohu akbar. Allohu akbar walillaahil ahmdu" 
Setelah sholat subuh berlangsung, suara gema takbir hari raya terdengar dari kejauhan. Ayah, Ibu, Imam dan seorang adik laki - lakinya telah siap dengan atribut pakaian sholat mereka. Bersama - sama mereka keluar dari rumah menuju masjid untuk melangsungkan sholat Ied. 

Di perjalanan pulang dari sholat Ied, mereka sekeluarga bersalam - salaman dengan sanak saudara dan para tetangga dekat mereka. Hingar bingar suasana keramaian hari raya makin terasa diiringi gema takbir yang masih mengalun dari arah Masjid. Imam tak mau ketinggalan moment salam - salaman itu. Namun, ia sepertinya harus buru - buru. Ia harus pergi menemui Renatta. 

Imam telah sampai lebih dulu di rumahnya. Di pekarangan rumah ia melihat Renatta memandang kearahnya. Ia hampiri Renatta dengan muka sedih kali ini. Imam sudah menduga hal ini akan terjadi. Wajah Renatta tampak lesu. Mukanya pucat pasi. Kondisi Renatta yang demikian menyulut kesedihan yang telah tertanam dihatinya. "Ren, maafkan aku ya. Aku tak dapat berbuat apa - apa kini." kata Imam berusaha mengibur seraya mengelus rambut Renatta yang tebal.

"Imam. Ayo segera bantu ayah.!" perintah ayahnya ketika ayahnya telah tiba di rumah.
"Ayah, tidak bisakah?" tanya Imam memelas kepada ayahnya.
"Imaaam..!" tegur ayahnya sambil geleng - geleng kepala.
Imam pasrah mengikuti perintah ayahnya. Digandengnya Renatta berjalan menuju tempat ayahnya berdiri di dekat keran air. Imam agaknya harus sedikit mengeluarkan tenaga untuk membawa Renatta karena pada saat itu Renatta berontak tak mau ikut dengannya. Keringat dingin mengucur lantas keluar dari tubuhnya hingga akhirnya Imam berhasil membawa Renatta pada ayahnya.

Ayahnya memegang punggung Renatta kemudian  memberi aba - aba kepada Imam. Renatta terguling pasrah walau sedikit berontak. Imam mengikat kaki Renatta dengan cepat.
"Bismillahi Allahu Akbar!" Ayahnya beseru ketika pisau besar telah mendekat dileher Renatta. Imam seketika tertunduk sedih tak berani melihat.
"Embeeeeeeeeeeeek..!!" Lumuran darah merah mengucur mengotori pekarangan. Dunia Renatta gelap. Setetes air mata meluncur dari sudut mata kiri Imam. "Selamat tinggal Renatta.!" katanya parau.

Kota Impian



Senyum sumrigah terpancar dari bibir ini kala melihat reka ulang video sebulan lalu.. Ada kerinduan dalam diri ingin mengulang peristiwa itu. Rindu berjalan sembari memotret setiap sudut walau tubuh peluh bermandikan keringat. Ada goresan peristiwa disana.  Perjalanan yang dulu hanya tersirat dalam impianku. Dan sebulan lalu, impian itu akhirnya ku gapai. Impian yang akhirnya terwujud dan awal mula aku memulai sebuah perjalanan baru ke negeri tetangga bersama kedua sahabatku.

Singapore. Bagi sebagian penduduk Indonesia Singapore sudah menjadi tradisi tempat kunjungan wisata yang patut dikunjungi. Dahulu, aku hanya bisa melihat negara itu dari suatu acara reality show di TV. Dulu, aku hanya melihat liputan artis - artis berlibur di Singapore. Dan dengan segenap syukur kepada - Nya, alhamdulillah aku sudah pernah singgah di negeri itu.

16 feb 2012 lalu tak akan terjadi tanpa sebuah tindakan nekad kami bertiga. Tak banyak yang tahu, demi mendapatkan tiket pesawat yang murah, kami memesannya setahun sebelum keberangkatan. Entah tepatnya di bulan apa, yang aku tahu di tahun 2011 silam impian itu bermula.

Anita, sahabatku yang paling rajin nyasar mengubek - ubek dunia maya tanpa sengaja melirik sebuah iklan tiket pesawat murah. Masuklah ia ke website air asia yang selalu rutin mengeluarkan tiket promo. Diliriknya harga tiket promo Denpasar - Singapore seharga Rp 99.000,- nalurinya tak percaya, namun tanpa berpikir lagi ia pun menginformasikan itu kepadaku dan Aan melalui sms.

Spontan terlonjak kaget kegirangan mencuat dari dalam diriku. Aku segera mengunjungi website air asia untuk memastikan. Kegirangan makin teraut dalam wajahku. Tak kuasa menahannya, aku lanjutkan untuk mencoba memesan tiket. Prosedur pengisian sudah kuisi, namun langkahku terhenti pada proses terakhir. Gubrak, hanya bisa melakukan pembayaran via credit card..!! Oala.. Tabungan hanya ratusan perak, boro - boro credit card?? " keluhku sendiri. Sembari sejenak berfikir mencari solusi, tak butuh berapa lama aku terfikir kepada kakakku, Brother Syam. Ya, dia bisa membantuku.

Esoknya, akhirnya aku mendapat ijin restu dari brother untuk memakai credit card-nya dan uang pengganti akan aku transfer dari rekening kami bertiga nantinya.
"www.airasia.com" langsung ku ketik pada alamat browser begitu laptop terhubung modem. Serangkaian prosedur pemesanan seperti kemarin telah ku lengkapi dan sesampainya pada prosedur pembayaran aku kirimkan pesan kepada kedua sahabatku. "Bismillah, sekarang aku pesan tiketnya". Semenit kemudian balasan sms dari keduany tiba.
Anita : "bismillah berangkat !"
Aan : "bismillah singapore !"
Sentuhan terakhir Aku klik "OK" dan berhasil. Jantungku berdegup kencang seketika. Hatiku bercampur aduk antara senang, cemas, tak menyangka dan tak yakin. Namun, diantara rasa tersebut yang paling meluap adalah rasa senangku. Tak ingin kupendam kesenangan ini sendiri, maka ku bagi dengan kedua sahabatku yang telah menanti dalam peraduan mereka di rumah masing - masing. Ku kirimkan berita itu melalui sms.
"Tiket Denpasar - singapore 16 feb 2012 pukul 06.30 am. singapore - denpasar 19 feb 2012 pukul 11.00 pm"
Setelahnya, mataku yang sudah lima watt tak dapat tertutup tergantikan oleh setoreh khyalan - khayalan akan singapore yang terlukis dalam atap kamarku. Insomnia hingga menjelang subuh. Hff..

Eurofia cengar cengir Sebagai bentuk ketidak percayaan akan kenekatan kami terus bergulir selama seminggu ke depan. Kala kami bertiga berkumpul kami selalu berkhayal apa dan bagaimana di singapore. Tak lupa pula, setiap hari Kami selalu bertanya pada mbah google mengenai info hotel, tempat - tempat wajib dikunjungi, dan lain sebagainya tentang kota singa tersebut.

Singkat cerita tahun 2012 pun tiba. Bulan Januari datang begitu cepat. Hujan mendominasi cuaca Bali kala itu. Seperti hujan yang terus menghiasi hari - hari di Bali, begitu juga perasaan kami. Curahan, luapan tak percaya bulan yang ditunggu hampir tiba. Sindrome kegalauan makin menjadi kala rencana pembuatan paspor yang awalnya di bulan oktober 2011 tertunda hingga mendekati Januari 2012.

Pertengahan Januari, aku dan Anita akhirnya membuat paspor. Serangkaian perjuangan bangun pagi hanya untuk ke kantor Imigrasi dari Nusa Dua menuju Denpasar, Anita lakukan selama tiga hari. Beruntunglah aku yang tinggal tak jauh dari kantor imigrasi, hanya Lima belas menit perjalanan.

Proses pembuatan pasporku dan Anita berjalan lancar. Namun sayang, tidak begitu yang terjadi pada Aan. Proses pembuatan paspornya mengalami banyak kendala saat wawancara berlangsung di kantor imigrasi.
"Mbak, ini kok nama orang tua di akte dan di KK beda ya?" sesosok Lelaki masih muda dengan rambut plontosnya mengintrogasi Aan.
"oh, saya tinggal sama kakek saya Pak." jawab Aan santai.
"Tapi di Kk ditulis status anak, wah ini harus ada surat keterangan dari catatan sipil" tegas Pak plontos itu padanya.
"Tolong bawa surat keterangan itu segera ya! Baru kemudian saya proses." lanjutnya lagi.
"Baik Pak." Aan hanya pasrah tertunduk lesu keluar dari ruang wawancara.

Esoknya Aan bergegas menuju kantor catatan sipil sepagi mungkin. Pukul setengah delapan ia  disana disambut bentakan Pak petugas yang telah tiba. "Catatan sipil hanya membuat Kartu Keluarga, tidak ada namanya surat keterangan seperti ini !" serunya sembari menunjuk surat keterangan yang dibawa Aan. Keributan adu argumen pun terjadi antara pak petugas dengan Aan hingga akhirnya Aan pulang ambil langkah seribu tinggalkan kantor sipil dengan muka tertekuk. "Il, tak usah menyusul ke kantor sipil" ketikan kalimat sms dari Aan masuk ke hp ku. Ada perasaan was-was dalam diri ketika membacanya. Oh, apalagi ini.

Sore harinya, Aan yang sudah siap dengan surat keterangan pernyataan yang telah direvisi bergegas menuju rumah Pak camat.
"Mbak, besok pagi sekali datang ke kantor ya, cap stempelnya ada di kantor."
Baru saja tiba, dengan terpaksa Aan harus pulang membawa harapaan akan esok semuanya berjalan lancar.

Pagi sekali dengan beribu keyakinan dan semangat ia datang ke kantor camat. Semangat yang timbul tadi hilang sekejap ketika petugas menyuruhnya datang keesokan hari lagi karena Pak camat sedang berada di rumah sakit. "Pak Camat sepertinya terserang DB, baru semalam di RS. "Gubrak! Ada - ada saja Pak camat.. Hrrr..! " keluhnya dalam hati.

Esoknya kembali ia menemui Pak Camat, dan berhasil mendapatkan tanda tangan orang - orang terkait. Tidak hanya tanda tangan camat, ketua banjar dan ketua lurah beserta cap stempel masing - masing kantor pun ikut nangkring di surat pernyataan tersebut. "Akhirnya.." ia menghela nafas lega.

"Tinggal menunggu keputusan Pak botak imigrasi esok." katanya padaku ketika aku menemaninya makan omelet dan serabi saat petang hari di warung kaki lima Jalan sudirman.

"jiaaaah!! Perjuangan benar - benar belum berakhir di tangan Pak Botak. Serangakaian adegan perdebatan yang terjadi akhirnya membuahkan hasil "Baik Mbak, silahkan ambil paspornya minggu depan."
Aan keluar dengan penuh rasa syukur dan bergembira.

Sorenya, kami bertiga berkumpul. Aku sudah tak sabar menunggu cerita perdebatan secara langsung dari mulut Aan.
"rrrgh, ingin rasanya aku kasih Pak botak itu coklat sebagai rasa terima kasih telah menyusahkanku."
"Jiaaah, disangka kau naksir lagi sama Pak Botak itu!" seruan Anita membahana diiringi tawa kami bertiga.

Dua minggu sebelum hari H, eurofia kembali hadir. Senang, gembira, dan deg-degan akan ketidaksabaran ingin segera kesana. Galau, risau dan bingung harus membawa Baju apa dan berapa banyak. Alhasil, rencana membawa hanya satu Koper untuk Baju kami bertiga sirna.   Kami akhirnya membawa koper sendiri - sendiri.

15 feb 2012 pukul setengah sebelas di pagi hari menjelang siang, aku sudah siap pamit pada Ibunda. Aan menjemputku dengan motor maticnya menuju rumahnya. Rencana kami naik taxi dari rumah Aan menuju rumah Anita batal. Taxi langgananku terpaksa menurunkan kami di halte bus Sarbagita karena harus ganti oli.

Peluh keringat telah membasahi tubuh. Aku dan Aan duduk menanti Bus Sarbagita dengan dua koper kami. Tak lama berselang Bus besar berwarna biru bergambar karikatur lelaki memakai udeng di kepala dan bunga jepun di telinga itu tiba. Ada nafas lega yang tercurah kala kami berada di dalam bus. AC dan tempat duduk nyaman sedikit menghilangkan peluh keringat akibat cuaca panas Bali. Sarbagita melaju dengan lancar dan cepat melintas by pass menuju Nusa Dua..

"Mbak mbak, maaf ya terpaksa harus turun disini. Ada KTT jadi jalan lurus ke halte depan di tutup." Mbak kernet Sarbagita menurunkan kami di tempat yang tak semestinya. Hff, apa lagi ini !

Kami turun sembari menyeret koper masing - masing. "Sekarang kita jalan menuju halte itu ya!". Aku menganga pasrah sembari berjalan beriringan dengan koper berat ini.
"Ya, lumayan training dulu sebelum jadi backpacker." kataku berusaha menghibur diri. "Ini mah, bukan backpacker ya kalau membawa koper begini." lanjutku lagi.
"Backpacker ala koper." sahut Aan.
Begitulah, kami berceloteh sembari terus berjalan dengan bawaan berat hingga akhirnya tiba di halte terdekat tuk menunggu jemputan sukarela dari sahabat kami, Anita.

Malam tiba. Kami berada di rumah Anita. Sengaja kami menginap di rumahnya karena esok kita berangkat pagi buta dan kebetulan jarak rumah Anita lebih dekat dari bandara. "coba lihat gedung itu kawan tinggi sekali !" Aan berseru menunjuk sebuah gedung Bank di seberang rumah Anita.
"Yeah, santai Mbak, besok kita lihat gedung tinggi sungguhan!" seruku.

Sesuai dugaan, malam tak dapat membuat kami tertidur pulas. Aku tahu, kami resah, galau ceria menghadapi detik - detik keberangakatan kami.

Kira - kira hanya sejam aku dapat tertidur nyenyak. Alaram dari handphone berbunyi terpaksa membangunkan kami. Pukul 3 pagi. Kami harus bergegas sampai di Bandara paling tidak jam 4 subuh. wow..

Benar saja, setelah tiba di Bandara dengan antaran sukarela dari ayah Anita, kami sudah lihat beberapa orang telah berada disana sebelumnya.
"Eits, bukannya ini dosen kita dulu! " Anita berbisik seraya melihat ke arah depan kami. Tiga laki - laki yang ku kenal adalah mantan dosen - dosen kami benar - benar ada disini bersama kami. Mereka bertiga bersama dengan 2 orang wanita yang tak kukenal. "tak berniatkah kita menyapa mereka?" tanyaku iseng. "Ah, males, gengsi...! Itu dosen telah membuatku menangis waktu ujian dulu." kata Anita enggan.
"wkwkwk.. !" kami pun cuek tak menyapa dan langsung pergi ngeloyor ke counter air asia.

Pukul 06.30 kami sudah berada di tempat duduk masing - masing. Anita dan Aan duduk di depanku. Disampingku duduk seorang Ibu paruh baya yang baik hati meminjamkanku pulpen saat pengisian data keberangakatan.

"Nguiiiiing....!" suara khas pesawat saat terbang mendesir di telingaku. Ini bukan pertama kalinya bagiku naik pesawat. Namun, aku hanya meramaikan suasana kegalauan dan kenorakan Aan dan Anita yang baru pertama kalinya naik pesawat.. "Wah, hup! Lihatlah keluar jendela! Kita di negeri awan kawan!" seruku sembari mendekatkan wajahku di sela kursi mereka. Mulailah aku dan Aan berimajinasi melihat keluar jendela dengan gumpalan awan sebagai topik utamanya. Sementara Anita hanya tekun melihat ke depan tak ingin menikmati ketinggian di sepanjang perjalanan kami. Lambat laun suara - suara pengkhayal hilang tergantikan oleh hening yang melanda jiwa - jiwa kami. Suasana penerbangan yang tenang walau kadang terasa goyang naik turun ketika menembus awan membuat kami tertidur. Pulas nan damai.

Dua jam berlalu. Kapten pilot berkoar dari speakernya memperingatkan penumpang bahwa pesawat hampir tiba mendarat di landasan. Aku tak ingin melewatkan pemandangan kota Singapore dari atas pesawat. "wow! Gedung - gedung, mobil - mobil yang berjalan dan pepohonan tampak terlihat serba mini bak rancangan miniatur arsitek.

"jeeesss!" Mendaratlah pesawat air asia. "welcome to Changi Airport!" bisikku kegirangan.