Sunday, October 28, 2012

Renatta

Malam ini Imam dirundung rasa gelisah. Pikirannya kacau dan tak tenang. Mukanya tampak sendu. Ia hanya duduk diam di depan televisi. Matanya itu tak tertuju pada layar televisi, namun ia justru memandangi bingkai foto digenggaman tangannya. Matanya menerawang tak menentu dalam diam menatap suasana persahabatan yang terbingkai  disana. Sebuah potret dirinya dan Renatta, sahabat karibnya sedang tersenyum bahagia. Potret kebahagian itu tak lantas membuat wajah sendunya berubah sumrigah. Ia masih berpikir dan merasa putus asa. Pose kebahagian itu diambil oleh ayahnya enam bulan lalu. Usia persahabatan  mereka memang terbilang cukup baru. Tapi, bagi Imam, Renatta adalah penyemangat hidupnya. Berkat kehadiran Renatta, hari - hari Imam semakin berwarna. Sepulang dari bekerja, ia selalu menyempatkan diri untuk menemui Renatta. Imam selalu bercerita mengenai keluh kesah dan cerita hidupnya yang cukup rumit. Imam menceritakan betapa capeknya disuruh - suruh  oleh atasannya, cerita tentang seorang gadis yang menarik perhatiannya di tempat ia bekerja, dan betapa kesepian dirinya setiap melewati malam minggu. Imam tau Renatta mungkin bosan terhadap liku kisah hidupnya yang begitu - begitu saja. Namun, Imam sangat menyukai Renatta, karena Renatta tak pernah sekalipun mengeluh bosan mendengar ceritanya. Maka, ketika minggu lalu ayah Imam mengatakan bahwa dirinya harus siap kehilangan Renatta, Imam sungguh sangat kecewa. Ayahnya tak mau mendengarkannya. Negosiasi Imam untuk tetap bisa bertemu dengan Renatta tak dihiraukan oleh ayahnya. Alhasil, selama seminggu belakangan ini, Imam tak pernah absen bertemu dengan Renatta. Imam berusaha menunjukkan wajah sumrigah seperti biasanya dihadapan Renatta. Ia tidak tega jika sahabat karibnya itu tau kalau ia sedang bersedih.

"Allahu Akbar..! Allahu Akbar.!" suara azan dari Masjid membangunkan Imam dari tidurnya. Ia tak menyadari bahwa ia tertidur diatas sofa di ruang televisi. Ibunya yang ketika itu berjalan melewati ruang televisi, heran melihat anak lelakinya berada disitu. Imam menguap lebar dan tiba - tiba merangkul Ibunya. "Bu, tolong rayu ayah ya.!" rengeknya manja.
"Aduh, anak Ibu." Ibunya tersenyum geli seraya melepas pelukan paksa dari Imam.
"Ayolah Bu...!" rengek Imam lagi.
"Udah sana, siap - siap kita sholat." kata Ibunya seraya bergegas pergi tinggalkan Imam yang kini bersedih lagi.

"Allohu akbar, Allohu akbar, Laa ilaaha illalloh. Allohu akbar, Allohu akbar. Allohu akbar walillaahil ahmdu" 
Setelah sholat subuh berlangsung, suara gema takbir hari raya terdengar dari kejauhan. Ayah, Ibu, Imam dan seorang adik laki - lakinya telah siap dengan atribut pakaian sholat mereka. Bersama - sama mereka keluar dari rumah menuju masjid untuk melangsungkan sholat Ied. 

Di perjalanan pulang dari sholat Ied, mereka sekeluarga bersalam - salaman dengan sanak saudara dan para tetangga dekat mereka. Hingar bingar suasana keramaian hari raya makin terasa diiringi gema takbir yang masih mengalun dari arah Masjid. Imam tak mau ketinggalan moment salam - salaman itu. Namun, ia sepertinya harus buru - buru. Ia harus pergi menemui Renatta. 

Imam telah sampai lebih dulu di rumahnya. Di pekarangan rumah ia melihat Renatta memandang kearahnya. Ia hampiri Renatta dengan muka sedih kali ini. Imam sudah menduga hal ini akan terjadi. Wajah Renatta tampak lesu. Mukanya pucat pasi. Kondisi Renatta yang demikian menyulut kesedihan yang telah tertanam dihatinya. "Ren, maafkan aku ya. Aku tak dapat berbuat apa - apa kini." kata Imam berusaha mengibur seraya mengelus rambut Renatta yang tebal.

"Imam. Ayo segera bantu ayah.!" perintah ayahnya ketika ayahnya telah tiba di rumah.
"Ayah, tidak bisakah?" tanya Imam memelas kepada ayahnya.
"Imaaam..!" tegur ayahnya sambil geleng - geleng kepala.
Imam pasrah mengikuti perintah ayahnya. Digandengnya Renatta berjalan menuju tempat ayahnya berdiri di dekat keran air. Imam agaknya harus sedikit mengeluarkan tenaga untuk membawa Renatta karena pada saat itu Renatta berontak tak mau ikut dengannya. Keringat dingin mengucur lantas keluar dari tubuhnya hingga akhirnya Imam berhasil membawa Renatta pada ayahnya.

Ayahnya memegang punggung Renatta kemudian  memberi aba - aba kepada Imam. Renatta terguling pasrah walau sedikit berontak. Imam mengikat kaki Renatta dengan cepat.
"Bismillahi Allahu Akbar!" Ayahnya beseru ketika pisau besar telah mendekat dileher Renatta. Imam seketika tertunduk sedih tak berani melihat.
"Embeeeeeeeeeeeek..!!" Lumuran darah merah mengucur mengotori pekarangan. Dunia Renatta gelap. Setetes air mata meluncur dari sudut mata kiri Imam. "Selamat tinggal Renatta.!" katanya parau.

Kota Impian



Senyum sumrigah terpancar dari bibir ini kala melihat reka ulang video sebulan lalu.. Ada kerinduan dalam diri ingin mengulang peristiwa itu. Rindu berjalan sembari memotret setiap sudut walau tubuh peluh bermandikan keringat. Ada goresan peristiwa disana.  Perjalanan yang dulu hanya tersirat dalam impianku. Dan sebulan lalu, impian itu akhirnya ku gapai. Impian yang akhirnya terwujud dan awal mula aku memulai sebuah perjalanan baru ke negeri tetangga bersama kedua sahabatku.

Singapore. Bagi sebagian penduduk Indonesia Singapore sudah menjadi tradisi tempat kunjungan wisata yang patut dikunjungi. Dahulu, aku hanya bisa melihat negara itu dari suatu acara reality show di TV. Dulu, aku hanya melihat liputan artis - artis berlibur di Singapore. Dan dengan segenap syukur kepada - Nya, alhamdulillah aku sudah pernah singgah di negeri itu.

16 feb 2012 lalu tak akan terjadi tanpa sebuah tindakan nekad kami bertiga. Tak banyak yang tahu, demi mendapatkan tiket pesawat yang murah, kami memesannya setahun sebelum keberangkatan. Entah tepatnya di bulan apa, yang aku tahu di tahun 2011 silam impian itu bermula.

Anita, sahabatku yang paling rajin nyasar mengubek - ubek dunia maya tanpa sengaja melirik sebuah iklan tiket pesawat murah. Masuklah ia ke website air asia yang selalu rutin mengeluarkan tiket promo. Diliriknya harga tiket promo Denpasar - Singapore seharga Rp 99.000,- nalurinya tak percaya, namun tanpa berpikir lagi ia pun menginformasikan itu kepadaku dan Aan melalui sms.

Spontan terlonjak kaget kegirangan mencuat dari dalam diriku. Aku segera mengunjungi website air asia untuk memastikan. Kegirangan makin teraut dalam wajahku. Tak kuasa menahannya, aku lanjutkan untuk mencoba memesan tiket. Prosedur pengisian sudah kuisi, namun langkahku terhenti pada proses terakhir. Gubrak, hanya bisa melakukan pembayaran via credit card..!! Oala.. Tabungan hanya ratusan perak, boro - boro credit card?? " keluhku sendiri. Sembari sejenak berfikir mencari solusi, tak butuh berapa lama aku terfikir kepada kakakku, Brother Syam. Ya, dia bisa membantuku.

Esoknya, akhirnya aku mendapat ijin restu dari brother untuk memakai credit card-nya dan uang pengganti akan aku transfer dari rekening kami bertiga nantinya.
"www.airasia.com" langsung ku ketik pada alamat browser begitu laptop terhubung modem. Serangkaian prosedur pemesanan seperti kemarin telah ku lengkapi dan sesampainya pada prosedur pembayaran aku kirimkan pesan kepada kedua sahabatku. "Bismillah, sekarang aku pesan tiketnya". Semenit kemudian balasan sms dari keduany tiba.
Anita : "bismillah berangkat !"
Aan : "bismillah singapore !"
Sentuhan terakhir Aku klik "OK" dan berhasil. Jantungku berdegup kencang seketika. Hatiku bercampur aduk antara senang, cemas, tak menyangka dan tak yakin. Namun, diantara rasa tersebut yang paling meluap adalah rasa senangku. Tak ingin kupendam kesenangan ini sendiri, maka ku bagi dengan kedua sahabatku yang telah menanti dalam peraduan mereka di rumah masing - masing. Ku kirimkan berita itu melalui sms.
"Tiket Denpasar - singapore 16 feb 2012 pukul 06.30 am. singapore - denpasar 19 feb 2012 pukul 11.00 pm"
Setelahnya, mataku yang sudah lima watt tak dapat tertutup tergantikan oleh setoreh khyalan - khayalan akan singapore yang terlukis dalam atap kamarku. Insomnia hingga menjelang subuh. Hff..

Eurofia cengar cengir Sebagai bentuk ketidak percayaan akan kenekatan kami terus bergulir selama seminggu ke depan. Kala kami bertiga berkumpul kami selalu berkhayal apa dan bagaimana di singapore. Tak lupa pula, setiap hari Kami selalu bertanya pada mbah google mengenai info hotel, tempat - tempat wajib dikunjungi, dan lain sebagainya tentang kota singa tersebut.

Singkat cerita tahun 2012 pun tiba. Bulan Januari datang begitu cepat. Hujan mendominasi cuaca Bali kala itu. Seperti hujan yang terus menghiasi hari - hari di Bali, begitu juga perasaan kami. Curahan, luapan tak percaya bulan yang ditunggu hampir tiba. Sindrome kegalauan makin menjadi kala rencana pembuatan paspor yang awalnya di bulan oktober 2011 tertunda hingga mendekati Januari 2012.

Pertengahan Januari, aku dan Anita akhirnya membuat paspor. Serangkaian perjuangan bangun pagi hanya untuk ke kantor Imigrasi dari Nusa Dua menuju Denpasar, Anita lakukan selama tiga hari. Beruntunglah aku yang tinggal tak jauh dari kantor imigrasi, hanya Lima belas menit perjalanan.

Proses pembuatan pasporku dan Anita berjalan lancar. Namun sayang, tidak begitu yang terjadi pada Aan. Proses pembuatan paspornya mengalami banyak kendala saat wawancara berlangsung di kantor imigrasi.
"Mbak, ini kok nama orang tua di akte dan di KK beda ya?" sesosok Lelaki masih muda dengan rambut plontosnya mengintrogasi Aan.
"oh, saya tinggal sama kakek saya Pak." jawab Aan santai.
"Tapi di Kk ditulis status anak, wah ini harus ada surat keterangan dari catatan sipil" tegas Pak plontos itu padanya.
"Tolong bawa surat keterangan itu segera ya! Baru kemudian saya proses." lanjutnya lagi.
"Baik Pak." Aan hanya pasrah tertunduk lesu keluar dari ruang wawancara.

Esoknya Aan bergegas menuju kantor catatan sipil sepagi mungkin. Pukul setengah delapan ia  disana disambut bentakan Pak petugas yang telah tiba. "Catatan sipil hanya membuat Kartu Keluarga, tidak ada namanya surat keterangan seperti ini !" serunya sembari menunjuk surat keterangan yang dibawa Aan. Keributan adu argumen pun terjadi antara pak petugas dengan Aan hingga akhirnya Aan pulang ambil langkah seribu tinggalkan kantor sipil dengan muka tertekuk. "Il, tak usah menyusul ke kantor sipil" ketikan kalimat sms dari Aan masuk ke hp ku. Ada perasaan was-was dalam diri ketika membacanya. Oh, apalagi ini.

Sore harinya, Aan yang sudah siap dengan surat keterangan pernyataan yang telah direvisi bergegas menuju rumah Pak camat.
"Mbak, besok pagi sekali datang ke kantor ya, cap stempelnya ada di kantor."
Baru saja tiba, dengan terpaksa Aan harus pulang membawa harapaan akan esok semuanya berjalan lancar.

Pagi sekali dengan beribu keyakinan dan semangat ia datang ke kantor camat. Semangat yang timbul tadi hilang sekejap ketika petugas menyuruhnya datang keesokan hari lagi karena Pak camat sedang berada di rumah sakit. "Pak Camat sepertinya terserang DB, baru semalam di RS. "Gubrak! Ada - ada saja Pak camat.. Hrrr..! " keluhnya dalam hati.

Esoknya kembali ia menemui Pak Camat, dan berhasil mendapatkan tanda tangan orang - orang terkait. Tidak hanya tanda tangan camat, ketua banjar dan ketua lurah beserta cap stempel masing - masing kantor pun ikut nangkring di surat pernyataan tersebut. "Akhirnya.." ia menghela nafas lega.

"Tinggal menunggu keputusan Pak botak imigrasi esok." katanya padaku ketika aku menemaninya makan omelet dan serabi saat petang hari di warung kaki lima Jalan sudirman.

"jiaaaah!! Perjuangan benar - benar belum berakhir di tangan Pak Botak. Serangakaian adegan perdebatan yang terjadi akhirnya membuahkan hasil "Baik Mbak, silahkan ambil paspornya minggu depan."
Aan keluar dengan penuh rasa syukur dan bergembira.

Sorenya, kami bertiga berkumpul. Aku sudah tak sabar menunggu cerita perdebatan secara langsung dari mulut Aan.
"rrrgh, ingin rasanya aku kasih Pak botak itu coklat sebagai rasa terima kasih telah menyusahkanku."
"Jiaaah, disangka kau naksir lagi sama Pak Botak itu!" seruan Anita membahana diiringi tawa kami bertiga.

Dua minggu sebelum hari H, eurofia kembali hadir. Senang, gembira, dan deg-degan akan ketidaksabaran ingin segera kesana. Galau, risau dan bingung harus membawa Baju apa dan berapa banyak. Alhasil, rencana membawa hanya satu Koper untuk Baju kami bertiga sirna.   Kami akhirnya membawa koper sendiri - sendiri.

15 feb 2012 pukul setengah sebelas di pagi hari menjelang siang, aku sudah siap pamit pada Ibunda. Aan menjemputku dengan motor maticnya menuju rumahnya. Rencana kami naik taxi dari rumah Aan menuju rumah Anita batal. Taxi langgananku terpaksa menurunkan kami di halte bus Sarbagita karena harus ganti oli.

Peluh keringat telah membasahi tubuh. Aku dan Aan duduk menanti Bus Sarbagita dengan dua koper kami. Tak lama berselang Bus besar berwarna biru bergambar karikatur lelaki memakai udeng di kepala dan bunga jepun di telinga itu tiba. Ada nafas lega yang tercurah kala kami berada di dalam bus. AC dan tempat duduk nyaman sedikit menghilangkan peluh keringat akibat cuaca panas Bali. Sarbagita melaju dengan lancar dan cepat melintas by pass menuju Nusa Dua..

"Mbak mbak, maaf ya terpaksa harus turun disini. Ada KTT jadi jalan lurus ke halte depan di tutup." Mbak kernet Sarbagita menurunkan kami di tempat yang tak semestinya. Hff, apa lagi ini !

Kami turun sembari menyeret koper masing - masing. "Sekarang kita jalan menuju halte itu ya!". Aku menganga pasrah sembari berjalan beriringan dengan koper berat ini.
"Ya, lumayan training dulu sebelum jadi backpacker." kataku berusaha menghibur diri. "Ini mah, bukan backpacker ya kalau membawa koper begini." lanjutku lagi.
"Backpacker ala koper." sahut Aan.
Begitulah, kami berceloteh sembari terus berjalan dengan bawaan berat hingga akhirnya tiba di halte terdekat tuk menunggu jemputan sukarela dari sahabat kami, Anita.

Malam tiba. Kami berada di rumah Anita. Sengaja kami menginap di rumahnya karena esok kita berangkat pagi buta dan kebetulan jarak rumah Anita lebih dekat dari bandara. "coba lihat gedung itu kawan tinggi sekali !" Aan berseru menunjuk sebuah gedung Bank di seberang rumah Anita.
"Yeah, santai Mbak, besok kita lihat gedung tinggi sungguhan!" seruku.

Sesuai dugaan, malam tak dapat membuat kami tertidur pulas. Aku tahu, kami resah, galau ceria menghadapi detik - detik keberangakatan kami.

Kira - kira hanya sejam aku dapat tertidur nyenyak. Alaram dari handphone berbunyi terpaksa membangunkan kami. Pukul 3 pagi. Kami harus bergegas sampai di Bandara paling tidak jam 4 subuh. wow..

Benar saja, setelah tiba di Bandara dengan antaran sukarela dari ayah Anita, kami sudah lihat beberapa orang telah berada disana sebelumnya.
"Eits, bukannya ini dosen kita dulu! " Anita berbisik seraya melihat ke arah depan kami. Tiga laki - laki yang ku kenal adalah mantan dosen - dosen kami benar - benar ada disini bersama kami. Mereka bertiga bersama dengan 2 orang wanita yang tak kukenal. "tak berniatkah kita menyapa mereka?" tanyaku iseng. "Ah, males, gengsi...! Itu dosen telah membuatku menangis waktu ujian dulu." kata Anita enggan.
"wkwkwk.. !" kami pun cuek tak menyapa dan langsung pergi ngeloyor ke counter air asia.

Pukul 06.30 kami sudah berada di tempat duduk masing - masing. Anita dan Aan duduk di depanku. Disampingku duduk seorang Ibu paruh baya yang baik hati meminjamkanku pulpen saat pengisian data keberangakatan.

"Nguiiiiing....!" suara khas pesawat saat terbang mendesir di telingaku. Ini bukan pertama kalinya bagiku naik pesawat. Namun, aku hanya meramaikan suasana kegalauan dan kenorakan Aan dan Anita yang baru pertama kalinya naik pesawat.. "Wah, hup! Lihatlah keluar jendela! Kita di negeri awan kawan!" seruku sembari mendekatkan wajahku di sela kursi mereka. Mulailah aku dan Aan berimajinasi melihat keluar jendela dengan gumpalan awan sebagai topik utamanya. Sementara Anita hanya tekun melihat ke depan tak ingin menikmati ketinggian di sepanjang perjalanan kami. Lambat laun suara - suara pengkhayal hilang tergantikan oleh hening yang melanda jiwa - jiwa kami. Suasana penerbangan yang tenang walau kadang terasa goyang naik turun ketika menembus awan membuat kami tertidur. Pulas nan damai.

Dua jam berlalu. Kapten pilot berkoar dari speakernya memperingatkan penumpang bahwa pesawat hampir tiba mendarat di landasan. Aku tak ingin melewatkan pemandangan kota Singapore dari atas pesawat. "wow! Gedung - gedung, mobil - mobil yang berjalan dan pepohonan tampak terlihat serba mini bak rancangan miniatur arsitek.

"jeeesss!" Mendaratlah pesawat air asia. "welcome to Changi Airport!" bisikku kegirangan.

Rindu Nasi


Tepat di luar pintu bandara, aku terpana melihat Ular besi yang melintas melewati lintasan layang di hadapan kami. Aku menunjuk ke arah ular besi berwarna abu itu berharap bisa menaikinya menuju tempat peristirahatan yang tak tahu dimana letaknya. Keinginan menaiki ular besi urung tatkala sebuah mobil taxi berhenti dihadapan kami bertiga.
"Kita naik taxi saja" ajak Anita sembari menghampiri Pak supir taxi. "Do you speak English?" tanya Anita padanya.
"Tidak, saya melayu"
Paras melayu tergambar jelas dari wajah Pak sopir. Dengan ramah dan bersahabat ia mempersilahkan kami masuk setelah koper - koper kami diangkut kedalam bagasi.
Bahasa inggris yang pas-pasan membuat kami bersyukur ternyata si Sopir berbicara malaysia. Setidaknya bahasa malaysia tidak berbeda jauh dengan bahasa kita., itu yang ada dipikiranku saat itu.

"Selamat datang di negeri kaya ini! Lihatlah betapa cantiknya Singapore" Pak sopir membuka percakapan khas dengan logat melayunya saat mengendarai taxinya.
"Hendak kemana?"
"Hotel 81 Bugis, Pak" jawab Anita langsung. Walau tak tahu apakah di hotel tersebut masih tersedia kamar atau tidak., hanya nama hotel itu yang teringat saat hunting hotel murah di mbah google.

Sepanjang perjalanan, kami dan Pak Sopir asyik bercakap - cakap. Terkadang aku mengerti apa yang diucapkan, namun terkadang aku bingung apa yang diucapkan. Ternyata, tidak mudah juga memahami bahasa melayu. Pendapatku akhirnya berubah setelah ini. Yang aku tangkap dari ucapannya, pak sopir masih dengan sikap ramahnya menceritakan bagaimana nikmatnya tinggal di singapore. Awal pertama kali hanya untuk berlibur. Kedua kali akhirnya bekerja dan menetap di negara singa ini., itu yang kutangkap dari kisah perjalanan hidupnya sampai di negeri ini.

Sepanjang perjalanan kami larut saling bertukar tanya maupun pendapat dengan Pak sopir ditemani iringan lagu - lagu khas melayu dari radio yang diputarnya. sesekali kami melihat dan menikmati atmosfer di sekeliling kami. Jalan rayanya lebar melebihi lebar jalan by pass ngurah rai. Pohon - pohon rindang nan bergerumbul tak sebanyak di sepanjang by pass. Tak ada sampah, bersih, dan hanya sedikit dedaunan kering yang terkulai jatuh di pinggiran jalan. Jalanan macet namun tak semacet jalan by pass.. Lalu lalang kendaraan mobil beraneka ragam merk dan bentuk memadati jalanan. Tak banyak mobil - mobil mewah yang melintas, sedikit sepeda motor yang ikut meramaikan jalan ini dan yang terpenting tak ada terdengar bunyi klakson yang berkoar - koar seperti di jalanan by pass. Masing - masing tertib melintas jalan raya. Senyuman kecil yang lantas berubah jadi senyuman cengar cengir teraut dari muka - muka anak kampung Indonesia ini.

Aku Makin tercengang dan takjub kala melihat gedung - gedung tinggi menjulang di kanan kiri persis suasana Jakarta. Namun tentunya lingkungan sekitarnya bersih tak sama dengan jakarta.
"Nah, itu tampak marina bay disana!" seru Pak sopir sembari menunjuk ke arah 3 bangunan tinggi nan megah dan diatasnya terdapat bangunan lagi menyerupai perahu yang menutupi ketiga atap bangunan. Tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah lintasan berbentuk lingkaran sebagai tempat lintasan kereta gantung. "Singapore flyer." aku menunjuk gambar tampak malam singapore flyer di peta yang tadi aku ambil di bandara.

Setengah jam kira - kira taxi menempuh perjalanan dari bandara hingga sampai di bugis street, tempat lokasi hotel 81 bugis berada. Keluar dari taxi dengan membayar sebesar 20 sgd, kami turun tepat di depan pintu hotel. "Selamat bersenang - senang di Singapore" itulah kata perpisahan dari Pak sopir yang disambut dengan senyuman hangat dari kami bertiga.

Kurasakan panas menyengat setelahnya. Cuaca Singapore kali itu tak beda jauh dengan Cuaca Denpasar. Masih tak percaya juga, tak kusangka aku dan kedua sahabatku benar - benar di luar negeri. Sekarang koper - koper kami masih di depan pintu masuk hotel. Kami menarik koper memasuki lobi hotel. "Do you still have available room here?" kataku pada resepsionis pria dan wanita yang sedang bertugas. Wanita berambut panjang dengan blazer hitam yang membaluti tubuhnya kemudian melihat ke monitor komputer dihadapannya. Dia memberitahuku ada sebuah kamar tersedia dan setelah aku bertanya berapa harga kamar selama 3 hari ia pun berkata, "555 sgd for 3 nights". Aku berpaling pada Anita dan Aan. Kalkulator yang ada di meja resepsionis langsung kuambil dan mulai menghitung. "555 x 7.200" bisikku sembari memencet tombol pada kalkulator. "Deseng, 4jt an!" seru ku dalam hati. Aan dan Anita pun bergumam tak setuju. "Do you know where is 81 herriatage hotel?" tanya Anita langsung pada mbak resepsionis. "In jalan sultan and this is the phone number" Si mbak menyodorkan no telp hotel tersebut.

Kami keluar hotel Dengan lunglai sembari menyeret koper kembali. Perut sudah berdendang menyanyikan lagu khas kriuk kriuk. Raga terasa lelah juga. Mata pun mulai mengantuk. Tak sabar rasanya ingin berbaring sejenak. Apadaya kita belum menemukan hotel yang sesuai budget.

Sejenak kita berdiam masih di depan hotel ini. Tepat di sebelah gedung hotel terdapat sebuah mini market. Hasrat lapar tak kuasa ku tahan dan segera memutuskan membeli beberapa cemilan disana. Aku dan Anita memasukinya. Sementara Aan tetap di tempat sembari menjaga koper - koper kami.

Friday, October 26, 2012

Sebuah Pengakuan

"Hfff..!" Aku menghela nafas lega begitu tiba di rumah. Kuhempaskan tubuh diatas sofa ruang tamu. Istirahat sejenak merenggangkan tubuh yang kaku. Tubuhku pegal nan ngilu. Aku terlentang sembari menutup mata dan mengosongkan pikiran. Berusaha membuang jauh sesak penat yang terselip di otak. Pekerjaan kantor menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi jalanan macet tak pernah absen mengikuti perjalanan pulang kerjaku. Hasilnya, selalu begini. Tiba di rumah langsung terkapar, walau seruan Emak tuk segera mandi sudah menggelegar memecahkan otak.

"Kriiiiiiing..!" dering hanphone tiba - tiba mengganggu ketenangan. Dengan seribu kemalasan kulirik layar hanphone. "Bang Jose calling" tertera nama atasanku disana. Membacanya saja membuat mukaku tertekuk. Kudiamkan saja hanphone itu berbunyi. Tak aku hiraukan hingga akhirnya berhenti sendiri.

"Kreoook" aku meregangkan tubuh kekanan dan kekiri. Beranjak dari sofa hendak mengambil handuk lalu lanjut menuju kamar mandi. Baru saja sampai di kamar tidurku, hanphone berbunyi kembali. Lagi - lagi Bang Jose menghubungi. Dengan muka kesal, terpaksa aku terima.
"Assalamualaikum..!" Seruan salam terdengar dari seberang.
"Waalaikumsalam..!" jawabku dengan muka senyum yang terpaksa.
"Dek, bagaimana kabarnya?" tanya Bang Jose. Seketika aku mengernyit heran. Tumben kali ini Bang Jose menelpon diselingi basa basi menanyakan kabar. Biasanya ia langsung nyerocos ngomongin kerjaan. Untuk sapaan Adik sih aku sudah terbiasa. Bang Jose selalu menyebut kata Dek untuk setiap staff bawahannya yang usianya lebih muda darinya.
"Ya Bang, baik. Ada apa?" aku balik bertanya.
"Begini. Sebenarnya sudah lama Abang mau ngomong ini." . Sejenak ia terdiam.
"Ya, ngomong aja Bang." 
"Emmmm, tapi gimana ya? Gak enak aja ngomongnya ya, Dek." Ia terdiam lagi.
"Teseng..! Deg..!" jantungku seketika berdegup. Terlintas dipikiranku beribu duga dan prasangka. Dugaan kalau - kalau si Bang Jose ternyata suka padaku, atau ternyata siap memecatku. "Oh tidak..!" feeling-ku sudah tak enak. Posisiku yang tadinya berdiri langsung terduduk diatas kasur.
"Eala Bang, dibawa enak aja." timpalku.
"Hmm, Sebenarnya sudah lama Abang mau ngaku ke Adek. Tapi waktu ini gak sempat." kata - katanya menambah pikiranku was - was dan dipenuh misteri.
"Silahkan Bang." kataku pasrah. Tubuhku menjadi panas. Jantung berdegup lagi tak karuan.
"Jangan marah ya?"
"Tidak Bang."
"Seminggu lalu, Abang lihat di Musollah pas wudhu siku tanganmu gak terbasuh tuh." akhirnya ia menuntaskan pembicaraannya.
"Oh, itu toh. Kok bisa lihat Bang?" tanyaku akhirnya lega.
"Gak sengaja, Dek. kan tadi Abang bilang mau ngaku." 
Ya udah Bang, makasih yo tegurannya." aku nyengir kuda.
"Tuut.. tuut.." sambungan telpone terputus.
Aku bergegas melepas jilbabku, mengambil handuk lalu berjalan menuju kamar mandi sambil geleng - geleng kepala.

Wednesday, October 24, 2012

Telor Busuk

"Titititittiti..." Jees.." Suara ular besi itu terdengar jelas dari pendengaran. Kami melangkah masuk kedalamnya setelah secara otomatis badan pintu terbuka. "Wow..!' kami terkejut melihat keadaan penuh sesak di dalamnya. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Para ibu - ibu, bapak - bapak, lansia dan anak - anak memadati ruangan. Kami pun terpaksa berpegangan pada pegangan besi yang tergantung diatapnya.

"Doors are Closed! Titititittiti..." Jees..! " lima menit kemudian pintu otomatis tertutup dan sang ular panjang itu pun melaju kencang. "Nguiiiiiiing..!" begitu bunyinya.

Sepuluh menit kemudian, suara sang pramugari kembali bersua.
"Doors are opened..!!"
"Titititittiti..." Jees..!" pintu terbuka. Sebagian orang ada yang melangkah keluar, dan sebagian lagi ada yang masuk lagi. Tapi tetap saja tak ada tempat duduk yang tersedia. 
"Doors are closed..!!"
"Titititittiti..." Jees..!" pintu tertutup kembali. Ular besi kembali melaju kencang.

Walau lelah, aku tetap berpegangan seraya menebarkan pandangan ke kanan dan ke kiri memperhatikan orang - orang. Di depanku ada seorang Bapak - bapak membawa buku sembari memangku anak perempuannya. Disebelah Bapak itu ada seorang nenek - nenek duduk menahan kantuk. Ada juga serombongan anak - anak sekolah berbincang - bincang sembari memainkan hanphone canggih mereka. Ditengah lamunanku memperhatikan orang - orang, ada sedikit keanehan yang tidak biasanya kualami. Hidungku membaui aroma. Sebuah aroma yang pernah kukenal. Semakin lama bau itu menusuk hidung, membuat pusing kepala seketika. Aku menoleh kearah dua sahabatku seraya mengernyitkan dahi. Mereka berdua ternyata merasakan hal serupa. Kami yang tak kuasa menahan bau itu pun akhirnya menutup kedua lubang hidung. Aku lihat sekeliling. Orang - orang disamping kanan kiri, depan belakangku juga bersamaan menutup hidung mereka. 

Lima belas menit kemudian.
"Doors are opened..!!" "Titititittiti..." Jees..!"
Aku lihat papan diluar menunjukkan bahwa kami telah tiba di tempat tujuan.
"Kita sampai." kataku.
Kami bertiga cepat - cepat melangkah menuju pintu keluar menghindari aroma bau tadi yang masih melekat di hidung.
"Gila... Aroma kentut Telor busuk nyangkut juga tadi..!!" seruku setelah keluar dari badan ular besi.
"Wkwkwkwkwk..!!" Kami tertawa bersamaan.
"Siapa yang kentut ya?" kata Aan sembari memandang curiga kearah Anita. Aku pun tak ketinggalan memandanginya.
"Bukan aku..!!" seru Anita kemudian.
"Ada - ada saja.." timpalku.

Kami menghela nafas lega hampir bersamaan. Akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Stasiun Nicole Highway menyambut kami dengan kehangatan meninggalkan jejak telor busuk di dalam MRT tadi.

Tuesday, October 23, 2012

Gadis Penumpang Bus


Aku duduk disitu. Di halte menanti bus yang kutunggu. Kuputar mp3 yang aku taruh disaku. Sembari menunggu, mp3 itu pun berlagu. Sesekali hentakan kaki ini mengikuti irama yang mengalun. Mencoba hilangkan penat yang sampai ke ubun - ubun. Lumayanlah suara musik menghibur walau bibirku masih sedikit manyun. Lelah memang terasa. Menanti bus yang lama sekali tiba. Memang aku tak sendirian disana. Ada ibu - ibu paruh baya duduk dengan terkantuk - kantuk. Kakek - kakek lansia dengan cucunya yang masih belia. Pria berdasi yang berdiri diujung tiang halte seraya memainkan hanphone. Dan aku sendiri, seorang pelajar yang baru pulang dari kuliah duduk dengan muka tertekuk. 

Lagu yang sedari tadi kuputar tiba - tiba menghilang. Lagu milik band Slank yang terakhir kudengar tersendat ditengah jalan. Oh ternyata baterai mp3-ku koma. Alhasil, kini aku aku hanya diam tak bersuara. Tak ada hentakan kaki yang sesekali berdentum. Tak ada nyanyian hati yang ikut melantun. Namun kini, hanya suara - suara bising terdengar. Suara klakson - klakson kendaraan terdengar hingar bingar. Suara - suara knalpot truk - truk besar, mobil - mobil pribadi dan sepeda motor juga ikut meramaikan. Asap yang mengepul tak dapat dipungkiri menjadi penyemarak hiruk pikuk jalanan. Akhirnya polusi tak terhindarkan bahkan terus mengalami peningkatan.

"Wuss..!!" suara pintu bus terbuka. Akhirnya hatiku lega. Kelelahan sehabis kuliah serta menanti bus yang lama sirna juga. Kami yang ada di halte satu per satu memasuki bus kota setelah beberapa orang keluar dari bus. Keadaan di dalam bus sedikit mendinginkan hati. Cuaca panas diluar berubah adem dan nyaman di dalam bus ber-AC ini. Aku pilih tempat duduk paling belakang. Karena hanya disitulah tempat duduk yang tersisa.

Dua puluh menit kemudian bus berhenti pada halte berikutnya. Penumpang yang duduk disebelahku yang kini keluar. Sedikit penumpang yang baru datang. Hanya ada dua orang kulihat. Seorang remaja laki - laki memakai seragam SMA dan seorang gadis. Seketika aku terpana melihat gadis itu. Wajahnya mempesona. Matanya memancarkan cahaya. Hidungnya mancung bak hidung orang timur tengah. Bibirnya seksi seperti bibir Angelina Jolie. Pipinya tirus nan mulus. Tubuhnya tinggi nan langsing. Kulitnya hitam namun eksotik, kencang nan segar. Rambutnya hitam keriting terurai panjang. Pakaiannya sopan menggunakan kemeja dan celana panjang. High heels yang ia kenakan semakin membuat tubuhnya jenjang. Tas selempang terselampir dibahunya. Ia berjalan dengan anggun seraya menyebarkan pandangan berusaha mencari tempat duduk yang tersisa. Ia berjalan menuju kearahku. Tepatnya kearah tempat duduk disebelahku yang kosong. Seketika sekujur tubuhku kaku membeku. Jantungku berdegup tak menentu. Aku tak bergerak. Matanya kini menatapku. Ia tersenyum padaku. Kubalas senyumnya walau aku tahu terasa kaku. Hatiku melayang dibuatnya. Ketar - ketir perut tambunku bergoyang. Keringat seketika mengucur tak terhalang.

Ia tiba di depanku, bersiap mengambil tempat duduk disebelahku. Kini aku dapat dengan jelas melihat wajahnya. Namun ia tidak langsung duduk disebelahku. Ia membungkuk dihadapanku seraya berkata. "Gendut"
Aku terkejut. "Kurang ajar benar gadis ini" pikirku.
"Hi Gendut!"
Lagi - lagi ia mengataiku dengan sebutan itu.
"Cepat bangun!"
Lah, kali ini ia berseru menantangku. Wajahnya berkerut dan menunjukkan amarah yang tak terduga.
Dahiku berkerut. Aku tak mengindahkannya.
"Plak!" ia menampar pipiku yang cubby dengan keras.
"Adoooow..!!!" aku mengaduh dengan lantang.
Pipiku kesakitan, mataku berkunang - kunang. Aku lihat gadis berseragam SMA kini didepanku. Bukan gadis berpenampilan anggun nan eksotik itu. Gadis itu ternyata adik perempuanku. Dengan muka sangar ia berdiri menatapku yang kesakitan.
"Cepat bangun Genduuuut..!!" Ia berseru lagi sembari melemparkan bantal kearah mukaku. Untung saja aku langsung menghindar.
"Dasar kebo..!" Ia akhirnya melenggang pergi keluar dari kamarku.

Monday, October 22, 2012

Beli Sisir

Renna berkaca sembari mengeringkan rambutnya yang basah. Ia baru saja selesai keramas pagi itu. Seperti biasa rambutnya akan tampak lurus sehabis keramas. Ia pun senang dengan tampilan rambutnya yang kini rapi. Ia kemudian kenakan kemeja panjang dan celana jins. Pakaian itu selalu menjadi kostum sehari - harinya untuk bekerja. Beruntung di kantornya tak mewajibkan kariyawannya untuk mengenakan rok, maka ia bisa dengan bebas menggunakan celana jins yang selalu menjadi andalannya dalam berpakaian.

Usai rutinitas berpakaian, ia memperhatikan rambutnya di cermin. Rambut yang masih basah ia sisir sebenatar. Merasa sudah rapi, ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Ia menuju meja makan dan siap menyambar sepiring nasi goreng buatan Emaknya yang telah bertenger cantik diatas meja. Kunyahan demi kunyahan ia nikmati santapan hingga akhirnya sepiring nasi goreng tersebut habis tanpa sisa.

Jam menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit. "Assalamualaikum..!!" ia mengucapkan salam pada Emaknya yang sedang bersantai di teras depan. Ia pun melenggang pergi bersama vespa abu - abu yang biasa ia kenakan sehari - hari.

Tiba di kantor, ia dijegat oleh sang Supervisor atasannya.
"Renna, tolong antarkan paketan ini ke kantor pos ya!" 
"Siap Bu..!" 
Ia kemudian kembali ke parkiran. Ia hendak memakai helm kemudian tak sengaja berkaca pada spion vespanya. Tampak disana ia menyadari rambutnya kini sudah kering tak beraturan. Namun ia cuek langsung kenakan helm lalu melaju pergi kembali bersama vespanya.

Sial sekali hari itu kantor pos tampak ramai. Ia taruh helm diatas vespa, kemudian berjalan masuk seraya membawa satu kardus paketan berisi dokumen. Antrian di dalam cukup panjang. Untung saja masih ada tempat duduk kosong yang bisa ia duduki. Sembari menunggu ia mengambil headset dan handphone, memutar lagu kesukaannya.

Sekitar tiga puluh menit berlalu. Giliran nomor antriannya dipanggil kini. Ia pun berjalan ke kasir depan.
"Silahkan ditimbang dulu, Mbak.!" perintah seorang Bapak dari balik meja kasir itu. Ia menaruh paketan pada timbangan tersebut. Pak kasir kemudian melirik angka pada timbangan tersebut, kemudian matanya tertuju pada layar komputer.
"Tiga kilo ya Mbak, dikirim kemana?" tanyanya.
"Aceh Pak! Ini alamatnya.." ia memindahkan paketan itu dan menunjukkan alamat tujuan yang telah tertulis dan tertempel pada kardus bagian depan.
"Baik. Isinya apa?" lanjutnya kemudian sembari mengetik di komputer.
"Dokumen, Pak." jawabnya.
"Wah, jauh sekali kirimnya." komentar si Bapak sambil masih asyik memasukkan data di komputer.
"Hehe, ia Pak, cabang kantor jauh."
"Biayanya seratus tiga puluh sembilan ribu ya." kata si Bapak kemudian seraya menyodorkan invoice padanya. Reena mengambil uang dari kantong celana jins kemudian ia berikan pada si Pak kasir.
"Ini kembaliannya. Terima kasih ya." Pak kasir memberi uang kembalian disertai senyum manis.
"Ya, terima kasih." sahutnya.
Reena hendak melangkah pergi, namun tertahan oleh ucapan si Bapak Kasir.
"Mbak, nanti pulang dari sini beli sisir ya." kata si Bapak sambil tersenyum nyegir. Renna pun tersenyum nyengir kemudian bergegas pergi dari situ.
"Sialan tuh Pak pos.!" batinnya dalam hati.

Saturday, October 20, 2012

Dia


Dia duduk termenung di teras balkon rumah. Mukanya kusut, matanya sayup, rambutnya terurai acak - acakan. Dia duduk di lantai seraya menekuk dan mendekap kedua kakinya. Sesekali dia menatap langit - langit keluar jendela sembari mengusap sudut - sudut matanya yang basah. Lama dia termenung dalam kesendirian. Bibirnya seolah tertahan ingin mengeluarkan suara. Namun semua itu dia tahan. Dia tak mau kalau sampai - sampai seseorang di rumahnya tau jika kini dia sedang menangis.

Lama dia masih terdiam disana. Mukanya masih saja tertekuk. Air matanya mengalir menganak sungai sampai - sampai mengenai ujung - ujung lengan bajunya. Pandangannya masih melanglang buana tanpa arah. Hidungnya mulai ikut basah. Matanya menjadi merah dan bengkak. Dia masih saja membisu. Bergolak sendiri menahan tangis dan amarah yang menyesakkan hati.

Aku tau dia sedih. Aku tau ia sedang kehilangan. Ada sedikit penyesalan dan kekesalan tergurat jelas dalam pancaran wajahnya. Entah apa yang seharusnya aku lakukan untuk menghibur dirinya. Aku hanya diam berdiri bersandar pada pintu dekat balkon sambil memperhatikan dirinya. Dia hanya menatapku tanpa senyum lalu kembali melanjutkan lamunannya.

Bermenit - menit aku diam disana. Aku mencolek lengannya sesekali berusaha menggodanya. Itu ku lakukan agar ia berbicara padaku dan rasa sedihnya berkurang. Tapi, dia tetap saja acuh tak acuh dan langsung bergeser sedikit duduk menjauh dariku. Berulang kali aku coba menghiburnya hingga pada akhirnya kesabaranku sirna. Aku memutuskan beranjak pergi dari situ.

Ketika hendak melangkah pergi, Ibu datang menghampiri kami. Ia menatap ibu dengan tatapan memelas.
"Sudahlah sayang. Ini untukmu.!" kata Ibu sembari menyodorkan boneka angry bird baru.
"Huaaaaaaaa!! Gak mauuuu!! Huaaaaaaaaaaaa...!! tangisnya meledak.
"Adik gak mau yang ini...!!"  teriaknya kemudian seraya melempar boneka angry bird ditangan Ibu lalu duduk diatas kursi. Dia menangis lagi sembari memeluk boneka hello kitty yang kepalanya putus. Boneka hello kita yang rusak akibat ulahku. Aku hanya mesem - mesem dan nyegir, lalu kabur dari situ. 

Thursday, October 18, 2012

Suara dari Balik Pagar

Pagi itu aku biasa lari pagi. Biasanya aku lari - lari menuju taman dekat rumah. Tetapi kali ini aku ingin mencoba menelusuri jalan baru. Maka begitu aku lihat gang perumahan elok nan megah, aku pun berlari menuju kesitu. Rata - rata perumahan disini besar - besar dan benar - benar tampak megah. "Wah, betapa nikmatnya jika aku pemilik dari salah satu rumah di kawasan ini." lamunku dalam hati.

Lima belas menit setelah merasa lelah berlari, aku berhenti sejenak di salah satu depan rumah megah. Dinding pagarnya bertembokkan marmer cantik nan berkilauan. Rumah ini terdiri dari dua tingkat bergaya modern bercat hitam putih. Sembari beristirahat aku terkagum – kagum memandangi rumah ini.

"Praaaaaaaang..!!" Tiba - tiba suara pecahan piring terdengar keras. Aku mencari sumber suara. Sesaat sunyi seketika. Aku pun acuh lalu berniat untuk berlari lagi. Baru saja kakiku akan melangkah, tiba - tiba samar terdengar suara minta tolong. 
"Tolooong..!" suara itu terdengar lirih diiringi tangisan sendu..
"Praaaaaaaanng.. !! Buk...!!" suara itu kini makin terdengar jelas. Aku dengar lagi dan berjalan perlahan menuju arah sumber suara. Aku dekatkan telinga di dinding tembok pagar rumah.
"Dasar wanita jalang!! Beraninya kau menasehatiku, hah?!" seruan suara itu terdengar tepat dari balik gerbang ini.
"Jangan..!! Huaaaaaah!!" suara seorang wanita terdengar lebih kencang.
Suasana pagi itu begitu sepi. Mungkin tak ada yang tahu suara kegaduhan yang kudengar karena orang - orang di sekitar perumahan ini tak pernah saling bertegur sapa. Mereka terkesan cuek bila berpapasan atau bertemu di jalan. Individualisme sungguh terasa di perumahan mewah ini.

"Gedubraaaaaak..!!!" suara dentuman terdengar begitu keras. Aku beranikan diri mengintip dari sela - sela bilik pintu pagar. Dari sana aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di teras rumah itu. Seorang laki - laki bertubuh kekar tampak nanar menatap seorang wanita yang kini terkujur lemah di lantai teras. Tubuh wanita itu penuh luka, berdarah - darah. Sebuah meja bundar terbelah jatuh tepat di sebelah wanita tak berdaya itu. Sepertinya wanita itu tak bisa berbuat apa - apa. Ia masih bernafas, namun lemah karena banyak mengeluarkan darah. Tak berselang berapa lama, laki - laki bertubuh besar itu meminum alkohol yang sedari tadi ia pegang. Matanya merah memancarkan amarah luar biasa. Ia menikmati tegukan demi tegukan alkohol sembari menatap wanita dihadapannya.
"Makanya, ini akibatnya jika kau coba mengguruiku..!" Ia berkata sembari tersenyum sinis pada si wanita.

"Deg." jantungku berdetak melihat peristiwa ini. Kaki terasa kaku untuk melangkah. Cukup. Cukup sudah yang aku lihat. Mungkin setelah ini aku harus bergegas pergi lapor ke polisi atau pergi tanpa pura - pura tak tahu apa yang telah terjadi. Masih dengan pikiran kacau aku bersiap melangkah berlari. Saat hendak berlari itulah aku terkejut setengah mati.
"Hey..! Siapa disana?" suaranya lantang menakutiku. Aku berlari ketakutan. Berusaha berlari dengan kencang. Sempat aku menoleh sejenak. Saat itu kulihat laki - laki itu mengejarku sembari membawa sebuah parang kayu. Kukerahkan seluruh tenaga, menghindar pergi dari kejaran laki - laki itu. 

Aku berbelok meliuk - liuk melewati setiap gerbang rumah - rumah besar disana. Anehnya, tak ada satu orang pun tampak keluar dari rumah melihat aksi kejar - kejaran pagi ini. Ah, betapa tak pekanya orang - orang disekitar sini. Padahal saat ini aku butuh pertolongan. Aku berusaha lari sekencang - kencangnya tanpa peduli bahwa nafasku sebenarnya sudah tersenggal - senggal. Lelaki itu lebih cepat berlari dari dugaanku. Jaraknya denganku semakin dekat. Aku tak kuat lagi. Telapak kaki terasa perih. Lutut terkilir sakit sekali. Seketika aku terjatuh terlentang di tepi jalan. Aku dengar langkah kaki mendekati tubuhku. Aku tak dapat bernafas. Aku lelah berlari. Dan kini ketakutanku tak terkendali. Laki - laki itu membalik paksa tubuhku yang terlentang. Aku berusaha bangkit dan terduduk lemas. Lelaki itu tersenyum seringai kepadaku. Ia bersiap menghantamku dengan parang kayunya.
"Jangaan..!" seruan dari mulutku tampak parau.
"Saya mohon, Pak!" kataku memelas.
"Mohon apa kamu, Erwin?!" 
Lha, aku heran. Kenapa dia tahu namaku?
"Bukan apa - apa." sahutku kemudian.
Ia lalu menjatuhkan parangnya disebelahku dan tiba - tiba menjewer telingaku dengan keras.
"Aoooooo!!" aku berteriak kesakitan dan mendapati diriku kini berada di ruangan kelas. Sekejap aku melihat Pak Yusuf, guru Sejarahku berada disebelahku seraya menjewer telingaku yang kini menjadi merah. Gemuruh tawa ramai sontak terdengar di seluruh penjuru kelas.
"Ayo berdiri di depan sebagai hukuman.!" perintah Pak Yusuf padaku.
Masih dengan mata mengantuk aku berjalan lunglai menuju ke depan kelas. Satu persatu kulihat wajah - wajah senang teman - temanku berbisik - bisik sembari sesekali menatapku cekikikan. 

Tulisan dalam Gelap


Sore hari tiba. Saatnya menghentikan aktifitas kantor yang menyiksa. Seperti biasa, aku selalu pulang dengan menaiki Sarbagita. Akan tetapi, ada yang berbeda untuk hari ini. Aku diajak oleh beberapa teman kantor pergi sejenak ke mall. Ya, hitung - hitung refreshing sejenak melepas penat, tak ada salahnya pulang ke rumah lebih lambat. Maka, untuk menuju mall aku berboncengan sepeda motor dengan salah seorang temanku. Tiba di mall, kami jalan menyusuri butik - butik pakaian, mencoba - coba pakaian yang mungkin cocok sehingga akhirnya aku temukan pakaian yang cocok dan pas untukku. Niat untuk menghemat tak belanja pun sirna dalam sekejap. Godaan iman akan penampilan pakaian bagus pun tak terelakan. Akhirnya, dengan perasaan berat hati aku ambil kartu ATM dan menuju meja kasir. Ya sudah, aku pun pulang tanpa tangan hampa.

Di luar mall, tampak langit berubah gelap. Pukul setengah tujuh, masih ada secerah sinar orange mewarnai langit, pertanda sang raja siang segera siap bersembunyi ke peraduannya.
"Masih adakah Sarbagita yang lewat?" tanya salah seorang temanku kala berjalan keluar dari pintu mall.
"Masih. Tenang saja." kataku santai.
"Ok. Kita pulang dulu ya..!" teman - temanku berpamitan lalu pergi berjalan menuju parkiran. Sedangkan aku berjalan berlawanan arah menuju halte bus yang di depan mall.

Sesamapainya di halte aku langsung duduk sembari hidupkan mp3. Disana telah ada seorang wanita yang mungkin sebaya denganku. Kami duduk di bangku halte yang sama dalam diam sibuk dengan aktifitas masing - masing.

Setengah jam berlalu. Aku masih duduk sambil masih mendengarkan lagu. Sesekali aku tengak - tengok kearah jalan berharap menemukan sosok si bus biru. Namun, Sarbagita tak kunjung tampak dari kejauhan. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang melintas. Aku kembali bersabar menunggu masih ditemani alunan musik - musik korea kesukaanku.

Halte kini penuh. Ada seorang wanita yang daritadi duduk sebelum aku datang. Ada seorang bapak - bapak bersama tiga anak - anak kecil yang kemudian datang. Dan ada lagi dua orang bule sepasang laki - laki dan wanita membawa ransel besar. Beberapa orang ini saja sudah memenuhi halte bus. Apalagi bila ada tambahan orang lagi yang datang? Pikirku dalam hati.

Sejam berlalu. Hatiku makin resah tak menentu. Suasana malam kian terasa. Langit sudah tampak sangat gelap, tiupan semilir angin menembus kulit membuatku sedikit menggigil. Akan tetapi tetap saja si biru tak kunjung menghampiri. Akhirnya aku bertanya pada seorang wanita yang sendirian sedaritadi.
"Mbak, dari jam berapa menunggu disini?"
Waduh, saya dari satu setengah jam lalu?" jawabnya.
Hah, lama sekali Mbak?" tiba - tiba  Bapak - bapak itu menimpali.
Kami pun bingung satu sama lain. Kami tak tahu harus berbuat apa. Kami tetap duduk menanti. Sepasang bule akhirnya pergi tinggalkan halte. Bosan mendengarkan lagu, aku berniat memainkan handphone. Saat akan mengambil hanphone di dalam tas yang aku selempangkan di sebelah kanan lenganku itulah aku melihat selembar kertas putih tertempel di dinding halte. Tulisannya tak tampak terlihat jelas, apalagi di dalam ruang halte tanpa cahaya. Tulisan tangan berbentuk cakaran ayam itu, membuatku penasaran ingin membacanya. Aku harus memincingkan mataku hingga benar – benar dapat membaca tulisan berukuran kecil itu.
"Maaf, hari ini Sarbagita tidak melewati Halte ini dikarenakan ada gelaran Kuta Festival, akses jalan menuju jalan ini ditutup."
Kaki langsung lemas. Aku memberitahu semua yang masih di halte. Aku dan seorang wanita disebelahku memutuskan jalan bersama menuju halte berikutnya di persimpangan nan jauh disana. Gempor sudah kaki ini. 

Wednesday, October 17, 2012

Penantian Panjang

Aku akui aku jatuh hati padamu. Sejak pertama aku lihat dirimu di mall itu. Rasanya tak dapat aku bayangkan betapa inginnya aku segera bertemu kembali denganmu. Melihatmu di tempat yang sama, karena aku tahu kau masih selalu disitu. Jantungku selalu berdegup ketika melewatimu. Maka, aku hanya tersenyum memandangimu walau ku tahu kau tak pernah menyadarinya. Semakin hari rasa itu makin mengembang. Melambung ke puncak kasmaran. Dan selalu berakhir pada kerinduan.

Hasrat dan keinginanku memang tak tertahan. Niat tuk segera menghampirimu pasti akan segera kuwujudkan. Namun untuk saat ini tampaknya itu mustahil. Aku belum punya keberanian. Bukan, bukannya aku tak punya nyali. Hanya saja aku belum siap. Aku masih ingin menata hati dan memantapkan diri. Masih ada hal - hal yang harus ku persiapkan hingga akhir bulan ini. Dan pasti kuyakini akhir bulan ini janji itu terealisasi. Tunggulah aku kasih. Ups, tak sepantasnya aku berkata begitu. Padahal kan aku belum mengenalmu. Tapi, tak apalah,. Anggaplah kata sayang yang masih tersimpan di hati itu sebagai penghibur diri yang semakin tersiksa dari hari ke hari.

Seminggu lagi akhir bulan. Ya, waktuku hampir dekat mematahkan penantianku. Waktu seminggu akan terasa cepat bila aku terus bersabar. Akan tetapi, ternyata sabar dalam penantian tak semudah yang dibayangkan. Ragaku dan hatiku kaku begitu aku melihatmu lagi. Kali ini aku tak dapat tersenyum lagi melihatmu. Aku terduduk lemas menikmati indahmu dari balik jendela bus. Seperti biasa, kau lagi - lagi tak pernah pedulikan aku. Rasa putus asa sempat menghasut patahkan semangat penantian panjangku. Tapi, akhirnya aku menggeleng. Aku tak boleh putus asa begini. Masih ada tujuh hari lagi sampai saat itu tiba pasti penantian itu kan berakhir. Aku menoleh ke mall itu lagi. Tersenyum sendiri sembari bergumam dalam hati. "Tunggulah dan tetaplah disana sayang."

Akhirnya, seminggu yang terasa panjang dan menyiksa diri itu berakhir kini. Sepulang dari kantor aku bergegas pergi ke mall itu. Tempat dimana aku selalu melihatmu. Tempat dimana rasa inginku menghampirimu selalu menjadi angan - angan di hati. Tidak, kini bukan angan - angan lagi. Sore ini semua impianku kan kuhampiri.

Detik - detik memasuki mall itu semakin menambah semangat diri. Aku melangkah dengan senyum unjuk gigi, senang setengah mati. Ini pertama kalinya aku akan melihatmu dari dekat. Bersiap mengenal sosokmu lebih dekat. Dan ketika kau teah di depan mata kini, rasa tersiksa yang lama melekat di hati hilang dalam sekejap. Hidungku begitu menikmati aroma wangi khas tubuhmu yang menggoda. Kau begitu besar dan padat. Mulutku yang tak sabaran akhirnya pelan - pelan menggodamu dalam kunyahan lembut yang kuciptakan. Oh, rasamu begitu nikmat. Kunyahan pertamaku itu sudah berhasil menenangkan alunan musik dangdut yang sempat berdendang selepas pulang dari kantor tadi. Aku mengunyahmu perlahan hingga tak tersisa di meja makan. Ku seruput segelas soft drink seketika setelah melahap habis dirimu. Kenyang sudah perut ini. Terobati sudah hasrat tuk mencicipimu. Berakhir sudah penantian panjangku. Mungkin kita akan bertemu lagi di bulan berikutnya. Karena menikmatimu setiap hari sungguh mustahil untuk karyawan dengan gaji pas -pasan. Tunggu aku ya "Burger King". Tunggu hingga gajiku cair di bulan depan. 

Akhir Sebuah Pertarungan


Hari raya Idul Fitri kala itu adalah hari yang paling kutunggu - tunggu. Hari dimana kesempatanku bertemu orang tuamu, mempererat jalinan silaturrahmi yang telah kita rajut selama beberapa tahun belakangan ini. Jalinan kisah kita semenjak kita bertemu di masa SMA. Betapa lucu dan senangnya bila kuingat kenangan - kenangan SMA kita dulu. Bagaikan sepasang sejoli Galih dan Ratna, kita menikmati masa - masa itu penuh romansa. Sebenarnya rasa minder pernah membelenggu dihati. Waktu itu, kau primadona yang selalu menjadi buah bibir anak - anak lelaki. Wajahmu cantik nan rupawan. Kau terkenal baik , ramah dan pintar. Dan nampaknya kau tak pernah menorehkan tinta merah pada catatan guru BP. 

Rasa takut dan tak percaya diri mengahantui kala aku dan kawan - kawan lelaki sempat membuat kesepakatan yang berkaitan denganmu. Maaf, kala itu demi arti sebuah pertemanan aku terpaksa setuju dengan kesepakatan itu. Sebuah kesepakatan yang bisa dibilang sebuah taruhan. Taruhan mendekati dan mendapatkan cintamu yang terkenal tak pernah terlihat bergandengan dengan lelaki manapun. Jika salah satu dari kami berhasil, jadilah kami yang kalah taruhan tak diperbolehkan mandi dalam seminggu. Sedangkan yang menang berhak ditraktir selama seminggu itu juga. Maka, jadilah aku yang ikut - ikutan terpaksa ikut pertarungan. Selain karena memang menyukai dirimu, sesungguhnya imbalan traktiran sangat menggiurkan. Maklumlah, aku besar dan terlahir dari keluarga serba kekurangan. Untuk naik angkot dan makan seharian pun selalu pas - pasan bahkan lebih banyak kekurangan. Hehe.. Tidak pantaslah jika aku dibandingkan dengamu. Kau terlahir dan besar dari keluarga serba berkecukupan. Setiap hari kau diantar jemput dengan mobil pribadi. Pakaianmu rapi. Parasmu cantik nan penuh keanggunan.

Semua teman telah berusaha mendekatimu, namun mereka tak pernah datang membawa berita menggembirakan. Tibalah saat giliranku yang maju ke arena pertarungan. Walau hati sempat ciut dan deg - degan, imbalan traktiran lebih kuat terngiang - ngiang. Jadilah aku mendekatimu dengan penuh kepolosan. Aku pura - pura minta bantuan. Minta bantuan memecahkan soal pelajaran. Hingga lambat laun saling berkenalan, kita menjadi sering belajar barengan. Rasa itu makin timbul tak terkirakan. Kala itu, aku tak kuasa menahan gejolak rasa yang berkoar - koar. Pada akhirnya, aku putuskan untuk membuat sebuah pengakuan. Deklarasi rasa suka yang telah aku pendam. Kau tersenyum kepadaku usai aku nyatakan. Membuat jantung berdentum tak karuan. Kemudian kau dengan santai berkata bahwa kau juga menyukaiku. Bagimu, aku terlihat apa adanya. Anak lelaki sederhana nan polos penuh kejujuran. Mendengar kau sebutkan kata "kejujuran", semakin hati ini merasa bersalah dan penuh penyesalan. Akhirnya, aku ceritakan semua tentang taruhan, dan juga rasa terhadapmu adalah kebenaran. Begitu hal itu kuucapkan, kukira kau akan marah. Akan tetapi, kau malah tertawa memandangiku yang penuh penyesalan. Kau berkata bahwa kau sudah tahu tentang apa yang aku dan kawan- kawan rencanakan. Kau sengaja diam membiarkan hingga pada akhirnya semua terbongkar dari mulutku yang saat itu pasang wajah kebingungan. Fuiih, betapa lega hati ini, karena permintaan maafku kau kabulkan. Cintaku pun kau sambut dengan kehangatan. Duniaku kala itu benar - benar kasmaran.

Berakhirnya pertarungan itu pun menambahkan keuntungan. Selain benar - benar mendapat cinta sungguhan, imbalan traktiran seminggu pun siap ada digenggaman. Kawan - kawan pada kebingungan. Bukan kebingungan akan mentraktir dan tak mandi selama seminggu, namun tentunya kebingungan tak percaya akan diriku yang paling diragukan.

Haha. Aku selalu mengenang masa - masa itu dengan kegembiraan. Awal jalinan kita terjalin akibat sebuah taruhan. Tak kusangka hingga kini dua tahun setelah lulus sekolah jalinan itu masih tetap berlanjut menjadi aneka rangkaian cerita. Kau kini masih mengenyam pendidikan di kampus. Masih tetap cantik dengan wajah tirus. Serta rambut panjang yang selalu terurus. Sedangkan aku telah bekerja, terpaksa mengubur mimpi kuliah yang telah pupus. Masih dengan tubuh kurus. Rambut ini pun makin gondrong tak terurus. Walau demikian, kita selalu menjaga jalinan itu. Cintaku makin melambung mengikuti perjalanan waktu. Hingga akhirnya pada hari yang Fitri itu, aku beranikan diri memantapkan cintaku. Berangkat menuju rumahmu, berniat berkenalan jauh dengan kedua orang tuamu. Bukan, sebenarnya bukan untuk meminangmu. Untuk hal itu aku belum siap, baik secara moril maupun materiil. Kau tahu kan pekerjaanku hanyalah sales biasa. Yang berkeliling mengantarkan pesanan di gerai - gerai supermarket. Kau tahu gajiku tak seberapa. Maka, belumlah kuputuskan ke tingkat itu untuk meminangmu.

Segala persiapan matang telah aku siapkan. Mulai dari pakaian hingga kendaraan. Baju koko baru telah aku beli. Baju warna putih itu aku beli hasil dari membobol tabungan. Celana panjang hitam koleksi lama akhirnya menjadi pasangan baju koko putih baruku. Dengan semangat dan senyum sumrigah aku siap berangkat. Aku keluar berpamitan kepada kedua orang tua dan keluar menuju pekarangan. Disitu sudah menanti jagoan merah beroda dua yang sengaja aku pinjam dari pamanku. Maklumlah, gajiku belum sanggup membeli motor seperti ini. Alhasil, demi sebuah pencitraan yang baik dimata calon mertua, hehe, terpaksa motor itu kupinjam. Walau hanya motor butut ceketer dengan bunyi yang tak bisa dibilang merdu kala dihidupkan.

Perjalanan Garut menuju Jakarta sungguh menambah tantangan. Si jagoan merah butut menemaniku dalam perjalanan. Meski keringat bercucuran, debu dan angin menerpa berterbangan, tapi hati ini selalu dirundung kerinduan. Semangat serta senyum mengalahkan semua rintangan. Perjalanan Garut - Jakarta tak terasa walau jalan penuh kemacetan. Tepat di hari raya itu aku benar - benar datang ke kampung halamanmu. Datang membawa cinta dalam penuh harapan. 

Perasaan deg - degan makin menciut ke permukaan. Badan ini penuh keringat. Wajah ini penuh rasa cemas. Gemetar kakiku ketika tiba di depan pintu rumahmu. Kau menyuruhku duduk di sofa. Aku pun duduk dalam kecemasan. Ini pertama kalinya aku akan berkenalan resmi dengan kedua orang tuamu. Aku bertanya kepadamu dimana orang tuamu, karena kini hatiku semakin cemas. Kau berkata, orang tuamu di dalam. Oh, aku makin penasaran dan gemetar tak karuan. Sementara itu, kau hanya diam tertunduk tanpa menatapku. Selang tak sampai lima menit kemudian, kau tiba - tiba menangis tersedu - sedu. Menangis dihadapanku dengan muka penyesalan.
"Maafin aku ya?." katamu sambil menangis sesegukan.
"Iya, lah ini kan lebaran. Udah pasti kita saling memaafkan kok." kataku mengiyakan
"Pokoknya maafin aku Jang, " lagi - lagi kau berkata sembari menangis. Tangismu semakin deras membasahi kedua pipi lembutmu.
"Kenapa kok sampai nangis begini Ma?" tanyaku heran.
Kau pun mencium tanganku sambil terus berurai air mata. Aku elus kepalamu yang kini terbalut kerudung.
"Sudahlah, jangan berlebihan seperti ini." kataku menenangkan.
"Maaf, kita harus berpisah. Orang tuaku menjodohkanku dengan laki - laki pilihan mereka." katamu terbata - bata seraya menahan tangis.
"Deg!" jantungku remuk bagai tertancap sebuah kapak besar. Namun aku tetap bertahan, badanku tak goyah, tangisku tak tumpah. Aku hanya diam menanggapi.
"Bagaimana ini?" Kau bertanya seraya menatapku.
Aku diam lagi.
"Haruskah aku ikut pergi bersamamu? Bawa aku pergi..!" seruan kecil suaramu seolah menunjukkan bahwa kau ingin memberontak. Tangisanmu makin menjadi. Air matamu keluar hingga tanganku ikut basah. 
"Jangan. Kasihan orang tuamu, Ma. Kamu tahu aku belum siap materi jika kita membina rumah tangga. Jadi, patuhilah mereka."
Kau diam dalam tangis. 
Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya perasaanku sangatlah kecewa. Hatiku terkoyak hingga membuat ragaku lemas. Tak sampai sejam aku berada disitu. Duduk memandangimu di rumah kedua orang tuamu yang mewah. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
"Imas, maafin aku jika selama ini pernah menyakitimu. Mungkin ini terakhir kali kita bertemu. Semoga hidup Imas bahagia ya. Salam juga buat kedua orang tuamu. Maaf aku tak bisa lama - lama dan bertemu dengan mereka." 
Aku bersalaman denganmu dan bergegas berbalik arah keluar dari rumahmu.
"Jajang, tak bolehkah kau bawa aku pergi?" pintamu lagi masih dalam tangisan.
Aku hanya menggeleng dan pergi sembari ucapkan salam.

Keluar dari rumahmu, aku langsung menghidupkan si jagoan merah butut dan mengenakan helm. Aku gas motor itu pergi melenggang tinggalkan rumahmu. Hatiku sakit nan kecewa luar biasa. Pikiranku kacau nan kalut. Kepala bagai tertimpa bom atom yang berjejalan. Sakit hati memicu tangis hati. Tangis hati yang tertahan dari tadi akhirnya kini tumpah ruah. Air mata mengalir deras mengucur membasahi pipi, berlanjut hingga terhapus terbawa angin kala dalam perjalananku menuju rumah. Itulah pertama kalinya aku menagis karena seorang gadis. Selamat tinggal Imas.. Selamat tinggal cinta pertamaku..

Kugapai hatimu karena sebuah taruhan..
Kugapai cintamu meski sempat ada penyesalan..
Memepermainkanmu memasuki pertarungan..
Namun kau tetap menyambutku dalam keceriaan..

Kau gadis pertamaku..
Penghias hati disela – sela hidupku..
Kau cinta pertamaku..
Penyemangat diri hidup yang semu..

Jalinan cinta terwujud dalam sebuah cerita..
Jalinan cinta mengalun bagai lirik dan irama..
Meski kau dan aku berbeda..
Cinta tetaplah sama..

Namun, cinta itu berubah menjadi mimpi..
Ketika kau tak sanggup lagi..
Demi sebuah bakti..
Kau harus ku relakan pergi..

Tak ku sangka cinta kita tak abadi..
Tak ku sangka alunan itu tak terdengar lagi..
Cinta kita berlari pergi..
Mengiris pedih bagai digergaji..

Inilah akhir sebuah pertarungan..
Pertarunganku berakhir dalam kesedihan..
Menutup cerita dalam kenangan..
Menyisakan luka yang tak terlupakan..

Sunday, October 14, 2012

Sate Kambing ala Madura


Saya rasakan aroma menyengat hidung. Dari baunya saya sudah tahu ini apa. Jika Anda cium aroma daging sehabis dibakar ditambah campuran bumbu kacang, petis dan kecap, Anda akan rasakan perut anda bernyanyi meneriakkan "saya ingin makan!". Dan jika Anda temukan dia dalam sajian di piring, dijamin membuat lidah anda bergoyang. "Kress, nyam - nyam..!" begitu ia masuk dan anda kunyah perlahan, sensasi khas aroma bumbu dan dagingnya membuat anda makin bergairah dan bertambah lapar.  Yummy,.

Asal Usul Sate Kambing

Sate merupakan makanan khas daerah yang sangat digemari penduduk Indonesia.  Asal kata sate sendiri diperkirakan dibuat oleh pedagang makanan dari Jawa sekitar abad ke 19. Kepopuleran sate dipelopori dengan banyaknya pedagang yang datang dari Arab, pendatang muslim Tamil dan Gujarat India ke tanah air. Makanan Sate popular dengan menjadikan daging kambing dan domba sebagai bahannya, dikarenakan daging tersebut merupakan daging yang digemari orang keturunan arab.

Sate Kambing Khas Madura di Luar Madura

Berbagai variasi sate yang ada di nusantara ini, yang paling umum dikenal adalah sate kambing Madura. Madura adalah salah satu kepulauan bagian dari provinsi Jawa Timur. Madura terkenal dengan penghasil  garam terbesar di Indonesia . Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Akan tetapi tidak demikian dengan penduduk Madura yang telah menetap di kota – kota besar. Sebut saja provinsi Bali. Di daerah kota Denpasar terdapat sebuah kawasan yang terkenal dengan sebutan “Kampung Jawa”. Kampung ini berada di dusun Wanasari , desa Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Daerah Kampung Jawa sendiri sudah terkenal sejak zaman kakek nenek saya telah menetap. Sebagian besar penduduk Kampung Jawa berasal dari Madura. Penduduk Kampung Jawa yang asli Madura sebagian besar berprofesi sebagai pedagang sate. Hal ini semakin terlihat dengan banyaknya warung – warung sate yang berjejar berdiri di sekitar jalan kawasan ini. Tidak hanya khusus di kawasan ini saja orang Madura yang berdagang sate, mereka juga tersebar di wilayah lain provinsi Bali, baik yang berjualan dengan mendorong gerobak maupun berjualan di warung – warung sederhana di pinggir – pinggir jalan.

Cara Membuat Sate Kambing ala Madura

Banyaknya variasi sate setiap daerah merupakan kekayaan makanan Indnesia yang patut kita banggai. Dari variasi berbeda olahan sate, yang paling terkenal di Indonesia adalah sate kambing Madura. Pembuatan makanan sate kambing ini tergolong cukup mudah. Daging kambing yang telah diiris kecil – kecil ditusukkan pada tusuk sate, 3 potong. Sebelum dibakar biasanya dilumuri bumbu kecap dan bawang putih dan buah nanas yang dihaluskan. Kata para pedagang sate kambing, nanas berfungsi untuk melebutkan tekstur daging kambing agar mudah dikunyah. Panggang dalam bara api sedang pada alat pemanggang tradisional ang telah berisi arang hitam. Lumuri minyak tanah saat proses pemanggangan berlangsung agar bumbu meresap. Kipas apinya sembari sesekali dibolak – balik hingga warna daging tampak sudah matang. Terkadang ada pula sebagian orang lebih suka dengan sate kambing setengah matang, tergantung selera masing - masing. Sajikan sate kambing dengan bumbu olahan yaitu kecap, petis, dan kacang tanah goreng yang telah dihaluskan. Tambahkan sambal pedas sesuai selera. Terakhir taburi bawang merah mentah dan bawang goreng untuk hasil rasa yang lebih mantap.

Kandungan Gizi Daging Kambing

Menurut penelitian, daging kambing memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih rendah dan kandungan yang lebih tinggi lemak mono dan polysaturated nya. Hal ini dapat dilihat apabila setelah daging kambing dimasak akan terlihat lebih banyak cairan lemak yang keluar menetes. Kandungan lemah jenuh yang lebih rendah ini dan juga kandungan kelesterolnya yang lebih rendah menunjukkan bahwa daging kambing itu sehat. Disamping itu daging kambing memiliki kandungan iron, potassium dan thiamine yang lebih tinggi, dilain pihak kandungan sodiumnnya lebih rendah dibandingkan dengan daging lain. Hasil analisa menunjukkan bahwa daging kambing memiliki lemak 50% lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi dan 45% lebih rendah dibandingkan dengan daging domba. (sumber : http://web.ipb.ac.id )

Manfaat dan Khasiat Mengkonsumsi Sate Kambing

Mitos mengatakan bahwa jika memakan sate kambing, akan membantu meningkatkan libido bagi para pria. Mitos yang tak jelas asal – usulnya itu hingga kini masih tetap dipercayai banyak orang. Padahal jika dilihat dari tekstur  fisik, daging kambing tidak berbeda jauh dari daging domba baik dari segi warna maupun tekstur. Mungkin mitos tersebut sebenarnya adalah faktor sugesti saja dari mereka yang telah mengkonsumsi dan merasakan khasiatnya.

Daging kambing dipercaya dapat memulihkan tekanan darah bagi penderita tekanan darah rendah. Walau khasiat tersebut memang belum diuji secara klinis, akan tetapi sudah banyak bukti yang telah dirasakan oleh mereka setelah memakan daging kambing tekanan darah mereka akan cenderung meningkat. Sebaliknya bagi mereka yang memiliki tekanan darah tinggi, memakan daging kambing patut diwaspadai dengan cara tidak lagi mengkonsumsi makanan ini.

Selain dagingnya yang bisa diolah menjadi sate, kambing ternyata memiliki khasiat lain pada empedunya. Empedu kambing dipercaya dapat mengobati penyakit malaria selayaknya manfaat empedu yang dimiliki oleh ular.

Susu kambing baik digunakan oleh para penderita kulit, mampu memperlamba turang keropos, mengobati penyakit asma, dan TBC. Hal ini dikarenakan susu kambing mengandung flourin, sodium, fosfor serta kalsium yang sangat tinggi. Selain itu, Susu kambing memiliki lemak dan protein yang mudah dicerna oleh tubuh serta bersifat anti bakteri. Mengkonsumsi susu kambing lebih banyak khasiatnya daripada susu hewan lainnya. Susu kambing mengandung Flourin dengan kadar antara 10 sampai 100 kali lebih banyak daripada susu sapi.

***

Profesi pedagang sate yang telah menjamur di kawasan daerah tempat saya tinggal memang sudah ada sejak lama. Dari penjual kaki lima yang  mendorong gerobak, hingga para pedagang yang telah memiliki tempat tetap untuk berjualan. Disini sate kambing biasa dijadikan menu pendamping nasi atau lontong. Tidak lengkap rasanya hanya makan nasi dan sate kambing saja. Maka dari itu, pedagang sate disini biasanya menambahkan menu gulai sebagai pelangkapnya. Gulai sendiri memakai daging kambing sebagai bahannya. Makanan berkuah dengan bumbu khas rempah -  rempah diolah sebagai menu pelengkap sate kambing yang memang menggoyang lidah.

Jelajah Gizi