Saturday, November 24, 2012

Galau

Di awal bulan ini kau akhirnya datang. Kedatanganmu membuatku merasa bahagia dan selalu ingin tersenyum. Tak ada yang membebani pikiranku. Mata berbinar - binar setiap kali menatapmu. Keindahan selalu terpancar darimu. Pesonamu selalu membawa kemudahan dalam setiap rona kehidupan yang kujalani selama ini. Tanpamu aku lemah. Tanpamu hidupku sia - sia. Bisa dibilang kau penonggak hidupku. Kau penyemangat hidupku. Setiap awal bulan datang, kau kuajak habiskan waktu tuk bersenang - senang. Menikmati hidup, makan makanan yang kusuka, membeli berbagai keperluan yang kuperluan, ya tak jarang pula sih membeli sesuatu yang tak kuperlukan namun kuinginkan. Kau memberiku segalanya. 

Kini akhir bulan hampir tiba. Perlahan tanpa kusadari kau menghilang dalam fana. Hatiku pun galau. Risau menghadapi kenyataannya yang ada. Dirimu kini hanya dalam anganan. Aku pun pasrah dan tak tau  harus berbuat apa. Pikiranku kacau. Aku berusaha memutar otak tuk meraihmu kembali. Tapi, kini sudah akhir bulan. Dua hari lagi, si pemilik kost pasti datang. Aku makin galau nan deg - degan. Kuhela nafas panjang, lalu kubuka lembaran buku tabunganku dalam remang - remang lampu meja di ruangan kost. Nominalnya sungguh membuatku kecewa. Dirimu benar - benar sirna dalam genggaman. Oh Tuhan, galau tak punya uang lebih berat daripada galau tak punya pacar. Seketika tetes air mata mengalir dari sudut mataku. Aku benar - benar galau.

Wednesday, November 21, 2012

Hujatan Para Penghuni

Mereka berteriak lagi. Suaranya makin meninggi. Menyiutkan hati, mengakibatkan penyesalan dalam diri. Hujatan protes mereka datang bertubi - tubi. Seolah ingin keluar dari belenggu derita. Seolah ingin terbebas dari penjara ketidakpastian.

"Keluarkan kami! Keluarkan kami!" teriakan itu nyaris setiap hari kudengar setiap aku mengintip ke bilik - bilik tempat peristirahatan mereka. Aku menatap mereka dengan nanar. Ada sedikit penyesalan yang menyelinap. Namun tetap saja, itu tak membantu mereka. Kerelaan hati tak kunjung mengalahkan hasrat keinginan yang membara.

"Bebaskan kami! Jangan biarkan kami disini selamanya. Izinkan kami ikut bebas menghirup aroma dunia yang kau pijaki." mereka berceloteh kembali. Tapi, aku tetap saja menatap mereka dalam diam. Dahiku mengerut hingga tiga lapisan berusaha menemukan ide briliant.

Lima menit..
Tujuh menit..
Aku masih terpaku memandang wajah - wajah mereka. Di setiap blok kamar tempat mereka singgah, tampak pancaran wajah mereka sama. Dari wajah mereka tercium aroma kekecewaan.

"Jangan sia - sia kan kami! Jangan acuhkan kami! Ingatkah engkau saat pertama kali membawa kami kemari? Ingatkah engkau bahwa pada akhirnya kami menjadi sia - sia disini?" Kasak - kusuk hujatan mereka membuat gendang telingaku ingin pecah.

Aku berlari menghempaskan tubuhku ke ranjang, lalu menoleh ke sebuah shopping bag berukuran besar yang sedaritadi aku letakkan disana. Kutatapi isi didalamnya. Kemudian aku berpaling menatapi mereka. Masih tampak kondisi yang sama. Mereka terpaksa berdesakan dalam bilik - bilik itu sembari tetap menampakkan kekecewaan.

"Sudah tau disini kami penuh sesak, sementara kau ingin menambah personil kami lagi?" Mereka kini menatapku sinis. Aku meraih bantal guling sembari berbalik badan. Tanpa peduli akhirnya aku acuhkan mereka, para penghuni lemari yang selalu menghujatku.

Derita Gaza

Suara - suara itu kini lagi terdengar..
Suara - suara itu makin menggelegar..
Mengiris hati yang sedang gusar..
Hingga membuatnya kian gemetar..

Puluhan roket hinggap menerobos kokohnya bangunan..
Rumah - rumah hancur sekejap menjadi kepingan..
Sekolah - sekolah lenyap menjadi timbunan..
Masjid - masjid pun ikut menjadi sasaran..

Darah tak lagi asing menjadi pemandangan..
Puing - puing berserakan mengotori jalanan..
Mayat tertimbun dibawah reruntuhan..
Jerit dan tangis sekejap memecahkan kedamaian..

Gaza kembali dirudung luka..
Meluluh lantahkan semua yang ada..
Tak peduli anak - anak maupun wanita..
Terpaksa mati akibat perang yang melanda..

Gaza kembali menderita..
Peperangan kian membabi buta..
Berlanjut menambah siksa..
Membekas dalam sedih yang kian membahana.. 

Tuesday, November 20, 2012

Hembusanmu

Aku rindu padamu. Akan hembusanmu yang membawa kesegaran bagiku. Membawaku dalam ketenangan. Menghilangkan beban derita tubuhku. Belaian lewat hembusanmu kini langka kutemukan. Kau menghilang sirna dari pandangan. Tak pernah kulihat lagi kau yang biasanya lewat menyapa sekumpulan pepohonan di pekarangan rumah. Kemudian setelahnya kau datang menghampiriku memberi kesejukan yang berharga. Tak pernah kurasakan lagi hembusanmu yang datang perlahan. Membelai mesra hinggap mengelilingi sekujur tubuh ini. Mengeringkan peluh keringat yang membasahi. 

Aku tak tahu kapan terakhir kali kau datang. Yang pasti saat ini keadaanku selalu begini. Membuat keringat terus saja mengalir melalui pori - pori. Derasnya begitu terasa menempel membasahi tubuh. Dahaga tak hentinya datang membawa derita. Menyisakan rasa haus yang membara. Hingga membuat tenggorokan selalu terasa kering. Berkali - kali aku usap peluh keringat dari dahi. Tidur rasanya tak tenang. Malam tanpa dirimu terasa semu. Menanti hadirmu rasanya akan sia - sia saja. Akhirnya malam ini ragaku sudah tak kuat lagi. Aku bergegas memaksamu datang kemari. Memaksamu datang ke kamarku tuk temani tidurku malam ini.

Aku melangkah berjalan menuju ruang tamu. Kutemukan sebuah kipas angin besar yang  kucari. Kugotong kipas itu masuk kedalam kamar. Kuhidupkan kipas angin itu dan akhirnya kurasakan dahsyatnya hembusanmu. Kekuaatan hembusanmu menelusup masuk menghilangkan sejenak hawa panas yang menyiksa di malam ini.

Thursday, November 15, 2012

Sekilas Pandangan


Tiba – tiba dia yang duduk disana memandangku. Matanya seolah merayu mesra, senyumannya manis terbaca dari bibir seksinya. Aku pun tak kuasa menahan gejolak rasa yang berdebar secara tiba – tiba muncul. Kuberanikan diri membalas pandangannya sembari menebarkan senyum termanis yang aku punya. Cukup lama gadis berbaju merah berambut lurus nan panjang tergerai  itu memandangku. Aku menjadi salah tingkah tak karuan. Mukaku seketika merah padam. Disaat itulah ia berdiri dan berjalan menuju kearah dimana aku duduk terdiam. Jantungku berdebar tersentak bagai mengikuti alunan drum. Tak kuduga dan tak kusangka, gadis itu benar – benar menghampiriku. Kini ia berada dihadapanku dan menyapaku “GENDUUUT!!! Cepat banguuuuuun !!!!” 

Bayangan gadis itu menghilang seketika. Kini di hadapanku telah berdiri sesosok gadis berambut pendek dengan muka seramnya. “Auuu!!!” aku berteriak kesakitan ketika kakakku yang cerewet itu memukul kepalaku.

Menemuinya


“Aku butuh dia sekarang!” teriakku dalam hati. Bibirku yang tadinya ingin berseru demikian sirna. Aku tak mampu berjalan. Kaki – kaki ini terasa lemah. Kepala sungguh terasa berat. Mata pun berkunang – kunang tak jelas melihat ruangan sekitar. Di ruangan ini hanya ada aku seorang. Aku yang tinggal dalam sebuah kamar kost berukuran kecil kini sedang tak berdaya. Tubuhku lemas terkapar dalam pelukan selimut tebal. Tubuh tak terasa menggigil. Namun setidaknya selimut mampu menyelamatkanku dari dinginnya malam. Pelan – pelan aku mencoba menutup mata. Namun kepala ini tetap saja tak kunjung hentikan berbagai pikiran yang melanda. Aku hanya pikirkan dia. Dia yang selalu aku butuhkan disaat – saat seperti ini. Tapi, kali ini dia tak ada disini. Menenangkanku tuk kembali tidur menyambut mimpi.

“Aaargh…!! Kepalaku mau pecah! Aku tak kuat lagi!!” teriakan hati memaksaku tuk berdiri. Aku sudah tak tahan lagi. Hanya dia yang kubutuhkan saat ini. Perlahan aku melangkah pergi. Keluar dari kamar, menutup pintu, kemudian mengayuh sepeda gayungku. Aku tak peduli sakit yang menerpaku kini. Malam – malam dini hari aku cuek mengayuh demi menemui dia yang kucari. Tampak kanan kiri suasana sudah sangat gelap. Melewati pos kambling tampak para kawanan lelaki muda tengah berjaga. Mereka menggodaku dengan siulan – siulan khas para penggoda. Aku cuek tak pedulikan mereka. Tetap focus mengayuh sepeda demi menemukannya walau ku tau ini malam buta.

Menemukannya tak membutuhkan waktu lama. Lima menit mengayuh aku sudah sampai di tempat tujuan. “Sreeeeet..!” aku tepikan sepedaku di badan tembok sebuah warung. Tampak disana berkumpul para kaum lelaki, baik yang muda maupun yang tua. Mereka tengah fokus menonton bola beramai – ramai sambil minum – minum kopi. Sekilas kulihat mereka memasang muka – muka tegang menatap layar kaca tanpa menyadari kedatanganku yang  bermuka pucat. Aku melihat kedalam dan menemukan ibu paruh baya menyambutku dengan senyuman.
“Beli apa, Mbak?” tanyanya.
“Bodrex ya Bu.” Jawabku.
Akhirnya aku dapat bernafas lega. Kini aku telah temukan dia. Hanya dia yang mampu menyembuhkanku. Aku bergegas menelannya bersamaan dengan segelas air putih yang kuminta dari ibu pemilik warung itu. 

Kaki - Kaki Penyiksa


Mereka tak pernah tau betapa selama ini aku menderita. Mereka perlakukan aku semena – mena. Menendangku  sekuat tenaga. Menggunakan kaki – kaki mereka yang terbungkus sepatu, bak sepatu yang terbuat dari kulit baja. Tendangan mereka sungguh keras. Membuatku sejenak melambung ke angkasa kemudian terhempas jatuh ke tanah. Mereka berlarian mengejar arah angin yang membawaku terbang. Menunggu hingga ku jatuh terjembam dihimpitan kaki – kaki mereka lagi. Begitu seterusnya. Hingga pantaslah bila kusebut mereka dengan sebutan kaki – kaki penyiksa. Mereka tidak hanya menyiksaku dalam berbagai jurus tendangan, tetapi mereka juga terkadang menyundulku dengan kepala – kepala mereka. Penyiksaan terhenti sejenak kala tubuhku menghantam tubuh salah satu dari mereka yang selalu berdiri menanti kehadiranku. Ia yang selalu berdiri menantiku berusaha menyelamatkanku agar tak masuk menembus kandang mereka. Kadang ia berusaha merangkulku dalam pelukan mereka, kadang pula mencoba menangkisku hingga membuatku melambung kembali bertempur menahan kaki – kaki penyiksa.

Tak peduli hujan yang menerpa, maupun panas yang mengengat. Walau air hujan ikut pula membasahi sekujur tubuh mereka, walau keringat mengucur melalui sela – sela baju mereka, tetap saja mereka beraksi tanpa rasa peduli. Luka memang terasa begitu menyiksa. Tapi, apadaya aku hanya bisa pasrah menerima kelakuan mereka. Ingin ku berteriak, “Jangan siksa aku! Hentikan semua ini.!” Namun teriakan itu tertelan dalam hati. Sakit yang kurasa menenggelamkan keberanianku tuk berkata. Sekumpulan kawanan mereka benar – benar tak dapat kuhentikan seorang diri. Mereka akan bersorak gembira kala aku jatuh terjembab melewati batas pintu kandang tim lawan. “Goool… !!” sorakan khas mereka nyaring terdengar. Disaat seperti itulah aku bisa bernafas sejenak, namun penyiksaan tetap berlangsung tak berselang semenit kemudian. Penderitaan benar – benar terhenti bila peluit panjang berbunyi pertanda pertandingan telah usai. Saat itulah ku kan tenang. Berkumpul kembali bersama kawananku. Kawanan bola – bola yang telah menjadi kotor berhiaskan lumpur maupun kotoran.

Tuesday, November 13, 2012

Penonton Abadi

Aku adalah penonton abadi. Yang tak pernah lewatkan peristiwa - peristiwa seperti ini. Menatap lalu lalang keramain dan keributan yang sering terjadi. Setiap hari bahkan hampir sepanjang waktu, duniaku selalu berulang begini. Suara - suara keributan selalu saja berbunyi. Suara - suara kendaraan mereka yang datang silih berganti. Mereka yang dengan seenaknya berebut saling mendahului. Mereka yang dengan rasa tak sabaran menekan klakson berkali - kali. Tak sabaran menanti jalan yang tak pernah sepi. Tanpa peduli keberadaanku yang selalu berdiri disini. 

Asap mengepul keluar dari knalpot - knalpot kendaraaan yang melintas. Asap - asap itu perlahan melekat menyisakan bekas. Debu - debu jalanan pun tak mau ketinggalan ikut terlibat. Dengan gampangnya debu mengikuti tiupan angin yang berhembus, kemudian terbang kearah tubuhku. Hasil akhirnya, beginilah tubuhku kini. Tampak kumal dan kucel. Dipolesi kumpulan debu yang menggumpal. Dihiasi bekas asap yang menghitam berjuntal - juntal.

Lihatlah sekarang diriku yang tak terawat. Tak ada yang peduli dengan keadaanku. Bahkan Pemerintah pun tak kunjung jua prihatin padaku. Padahal aku ini bisa dibilang kembaran salah satu pahlawan nasional negeri ini. Padahal jasa pahlawan itu kudengar sangat dihargai. Namun pada kenyataannya ya seperti ini. Si kembaran sosok pahlawan negeri terlantar berlumuran debu dan asap. Bahkan kini mulai tumbuh jamur serta lumut yang perlahan tumbuh disana - sini. Ah, andai saja aku bisa berteriak. Aku ingin berhenti menjadi penonton sejati. Menghindar dari peristiwa kemacetan ini. Aku ingin pergi beranjak dari tempat ini. Pensiun menjadi patung di bundaran jalan ini. Sesosok patung yang mungkin tak dapat dikenali lagi. Sesosok patung yang sebenarnya benci keramaian ini. Sesosok patung yang lebih senang bila ditempatkan di museum yang selalu sepi.

Saturday, November 10, 2012

Pahlawanku

Resah membelenggu. Hatiku pilu menembus ulu. Debaran jantung kian memburu. Mengiringi kecemasan didalam hati. Mencoba bertahan sembari menanti. Mondar mandir aku berdiri. Sesekali kulirik sang dokter yang memeriksamu. Kau hanya diam membisu. Dengan rela tanpa paksa, kau serahkan hidupmu padanya. 
"Hm, sepertinya harus diinapkan sehari. Parah kondisinya. " Sang dokter serius memandangiku.
"Baiklah. Tak apa." Aku pasrah. Lidahku kelu tak dapat berkata. Kuusap - usap kepalamu sebagai ungkapan berpamitan denganmu. Kau tetap tak bersuara. Kau tertidur sementara dalam luka. Aku pun melangkah pergi meninggalkanmu dalam muram durja.

Esoknya aku kembali lagi. Aku lihat sang dokter tengah bekerja. Dengan tekun dan saksama ia perhatikan dan pegang tubuhmu dari segala arah. Sampai - sampai ia tak menyadari kedatanganku. Aku tak mau mengganggu konsentrasinya. Aku duduk menunggu diluar ruangannya. Seteguk air kuminum dari botol berisi air yang kubawa. Lalu, kulihat beberapa majalah tertumpuk pada meja dihadapanku. Iseng saja kubuka majalah ditumpukan paling atas. Sebuah majalah pengusaha. Aku buka dan membaca sekilas informasi didalamnya. Lembaran demi lembaran kubuka, hingga akhirnya terhenti pada sebuah halaman. Di halaman tersebut terselip selembar kertas brosur yang tampak membuatku terpesona. Ada  wajah saudara kembarmu terpampang disana. Tak terasa aku meneteskan air mata. Teringat kembali akan jasa - jasamu yang selama ini kau berikan padaku. Tanpamu aku lemah. Tanpamu aku tak bisa berlindung dari sengatan matahari yang membakar kulit, dan berlindung dari hujan badai diluar sana. Tanpamu usahaku tak kan berjalan sempurna. Dan tanpamu aku tak dapat berkelana kemana - mana. Ketangkasanmu selalu membawa semangat. Kilauan indah warna hitammu menambah kesan mewah pada dirimu. Walau sebagian orang menganggap rendah dirimu, namun kau selalu istimewa dihatiku. Sembari memandangi brosur yang kupegang, aku berdoa. "Ya Tuhan, sembuhkanlah mobil Pick up pahlawanku."

Wednesday, November 7, 2012

Keluhan Hati


Perlu kau ketahui hidupmu bergantung padaku. Tanpa kehadiranku, kau tak mampu memiliki apa yang kau punya kini. Pertama kali aku masuk kedalam kehidupanmu, kau tampak terpesona menatapku. Bukannya aku sombong. Akan tetapi semua orang pasti setuju akan pancaran pesonaku yang begitu memikat. Berulang kali kau menatapku, berpikir sejenak sampai akhirnya kau pun memilihku. Kau keluarkan amplop berisi segepok lembaran uang merah dan memberikan pada majikanku yang lama. Akhirnya saat itu juga aku resmi menjadi  milikmu. Dan pada hari itu jugalah aku harus bersiap melayani segala perintahmu.

Kau membawaku dengan senyum sumrigah. Menelusuri jalan raya masuk melalui gang - gang sempit nan padat penduduk. Jalan yang tak mulus membuat kita terjungkal - jungkal dengan mesra. Setibanya di lokasi aku merasa kecewa. Rumahmu tak terawat dan sempit. Hanya seukuran sepetak tanah berisi satu kamar tidur dan kamar mandi. Tak seperti majikanku yang lama. Rumahnya lumayan luas tapi tetap sederhana. Ya sudahlah, ini sudah menjadi nasibku barangkali. Ikut denganmu walau terpaksa.

Pagi hari keesokan harinya, kau mengajakku ke depan ujung gang dekat trotoar jalan. Kita berdiri berdampingan. Aku tak tahu apa yang kau lakukan. Kau berdiri sembari menyapa para turis yang lalu lalang. Kau tersenyum ramah pada mereka, lalu berbicara bahasa mereka, sampai akhirnya kau tersenyum puas pada saat akhirnya ada seorang laki - laki bule yang memberimu selembar uang berwarna biru. Kemudian kau menyodorkan diriku padanya untuk dibawa. Hah, aku sempat merasa heran, sebenarnya transaksi apa ini. Namun kau hanya tetap tersenyum melepaskanku pergi bersama bule lelaki itu. Aku pun pasrah menuruti. Ternyata pekerjaanku kini tak senyaman pekerjaan yang diberikan majikanku terdahulu.

Setiap hari kau selalu mempekerjakanku seperti ini. Menyewakan aku untuk menemani para wisatawan yang kebanyakan bule untuk bersenang - senang. Kau jadikan aku lahan pengumpul hartamu. Pelangganmu tak hanya para lelaki, namun terkadang para wanita ikut menikmati. Aku pasrah saja menghadapi ini. Sepanjang hari aku melayani satu persatu secara bergantian para turis yang ingin menghibur diri. Suaraku yang merdu. Kelincahan mesin tubuhku dalam berlari, serta penampilan luarku yang cantik benar - benar memuaskan hati mereka. Para pemakai diriku yang lembut, akan dengan lembut menyentuhku, mengajakku dalam tawa dan aneka petualangan. Tetapi, kebanyakan dari mereka bermain secara kasar. Dengan membabi buta mereka menelangsakan aku disetiap arena petualangan mereka. Betapa mereka membuatku mati secara perlahan. Betapa aku tersiksa dengan pekerjaan ini.

Sebenarnya aku sudah lelah, aku tersiksa, namun kau telah merawatku dengan penuh teliti. Membawaku ke salon sebulan sekali. Dan mengobati salah satu anggota tubuhku ke dokter spesialis jika aku terluka akibat ulah mereka. Sebenarnya aku muak dengan ulah kekasaran mereka. Sebenarnya aku sudah ingin berkeluh kesah. Sampai pada akhirnya nyaris setahun kemudian kau datang membawa pesaingku. Kau bawa ia yang lebih keren dan cantik bersanding disebelahku. Kilauan pancaran tubuhnya kuakui lebih baik dariku. Sempat ada rasa iri terlintas dalam hati. Saat itulah aku mulai mengambil sikap dihadapan calon pelanggan. Aku tak mau kalah oleh milikmu yang baru. Aku mau tunjukkan padamu bahwa aku lebih banyak bisa mendatangkan uang daripada dia. Namun apa yang terjadi bukanlah yang kuharapkan. Kala itu laki - laki berdarah Indonesia yang harus kulayani. Berselang beberapa menit belum sempat aku layani, ia menelponmu dari tempat kami terhenti.
"Bli Wayan, bagaimana ini? Ban Motor yang saya sewa ini kempes tiba - tiba."  
"Lokasi dimana? Biar saya susul sekarang." jawabmu dari seberang telpon.
Lima menit kau datang. Langsung menuntunku pergi menuju ke tempat dokter spesialisku tinggal, yakni bengkel motor.

Terusik

Jeruji besi ini masih mengurungku hingga kini. Bertahun - tahun lamanya mereka menempatkanku disini. Entah kapan tepatnya aku lupa. Yang aku tahu seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Diriku yang bebas berkeliaran. Menikmati hidup diluar dari balik kurungan besi. Aku disini merasa sungguh kesepian. Sepanjang hari berada diruangan 3 x 4 meter, menikmati kesendirian mematahkan kebebasanku.

Keadaan ini memang sungguh sangat tragis. Akan tetapi, aku masih bisa bersyukur karena mereka selalu memberiku makan secara gratis. Lidahku selalu bisa merasakan makanan - makanan enak kesukaanku. Tubuhku selalu terisi oleh nutrisi. Dan hasilnya tubuhku semakin besar dan berisi. Aku tak tau harus berterima kasih atau menyalahkan mereka sang penguasa. Penguasa yang menyuruh para penjaga untuk menahanku dan mengekang kebebasanku, namun tetap memenuhi segala kebutuhanku. Sempat waktu itu aku pernah memberontak. Aku hantam jeruji besi dengan kepalaku. Tapi, apadaya besi tak kunjung roboh. Datanglah dua orang penjaga yang selalu rutin mengunjungiku. Perlahan tapi pasti, mereka berusaha menenangkanku. Salah satu dari mereka dengan lembut mengelus kepalaku, sedangkan yang lainnya menepuk pelan tubuhku. Tak tau mengapa, aku selalu nyaman dekat mereka berdua. Mereka sabar menghadapiku. Mereka yang selama ini menjadi teman bermainku. Mengobati sedikit kesepianku. Mengobati sedikit kebebasanku yang hilang.

Tahun silih berganti. Janggut rambut ini semakin lebat. Tubuhku semakin kuat. Namun tetap saja, hati ini rapuh. Orang - orang yang datang melewati ruanganku tak pernah mengerti. Mereka tak mengerti bagaimana bosannya berada dibalik jeruji. Mereka tak mengerti rasanya tak memiliki kebebasan yang hakiki. Mereka tak tau yang kualami. Yang mereka lakukan hampir sebagian besar selalu sama. Kadang ada yang hanya sekedar melewatiku dengan tatapan ngeri, kadang ada yang berhenti memandangiku dari kejauhan sembari mengangguk kagum tersenyum kepadaku, dan kadang ada yang lebih berani tanpa seijinku menjadikanku objek pemotretan. Dari berbagai aktifitas mereka yang hanya kulihat dari balik jeruji, belum ada yang berani datang mendekat kepadaku, kecuali dua penjaga yang sudah kuanggap sahabatku sendiri. Paling dekat mereka berdiri berjarak 50cm dari batas jeruji. Namun, pada hari ini ada seorang anak kecil kulihat berdiri merapat ke jeruji. Tinggi tubuhnya mungkin hanya seratus centi. Anak lelaki itu tanpa ragu dan takut sendirian berada disana. Tangannya menjulur kedalam ruangan. Ada sebatang coklat ia genggam. Coklat dengan bungkusan setengah terbuka itu, ia kibas - kibaskan kearah mukaku. Aku diam tak menggubrisnya. Aku malas dan ingin tidur saja. Namun ia masih saja berusaha mengusik ketenanganku. "Pluk..!" sebatang coklat itu terjatuh mengenai kepalaku. Sontak aku kaget dan marah. Aku berteriak, lebih tepatnya mengeluarkan suara khasku yang menggelegarkan telinga. Ia juga kaget dan menangis kencang. Orang - orang disekitar lantas kaget histeris menoleh kearahku dan anak lelaki itu. Sang ibu yang sedari tadi asyik mengobrol di telpon kaget dan lari menarik anak lelakinya menjauh dariku. Tampak wajah sang ibu ketakutan seraya menggendong dan memeluk erat anaknya. 
"Mama..!! Singanya galak..!!" anak lelaki itu menangis berseru sambil menunjuk kearahku.

Rindu Hujan

Aku masih berdiri di tempat yang sama. Menghadap kearah jalan yang kian berdebu. Mengamati setiap hiruk pikuk kemacetan yang tak kunjung menurun. Di tengah pembangunan proyek jalan tol, kepadatan dan kemacetan disepanjang jalan semakin meruntuhkan kesabaran. Orang - orang selalu tak sabaran menunggu. Tampak selalu aneka kendaraan berebut diiringi suara - suara klakson berbunyi silih berganti. Apalagi sengatan matahari yang begitu dahsyat sepanjang tahun ini, makin membuat orang hilang kendali. Aku memang terbiasa dengan semua ini. Mereka tak peduli jika tubuhku kini menciut. Rambutku kini tak lagi segar berimbun. Salah siapakah ini? Aku pun tak mengerti. Aku hanya tau musim kemarau tahun ini terasa begitu panjang. Meruntuhkan kehidupanku yang makin rentan.

Bukannya aku tak suka terik matahari. Bukannya aku benci panasnya matahari. Malah, aku juga butuh matahari. Tapi, kali ini aku hanya rindu hujan datang kembali. Aku rindu kehadirannya menghiasi muka bumi. Tak pernah lagi kulihat hujan mewarnai. Setiap hari sang raja siang selalu menjadi penguasa. Panas yang dikeluarkan sungguh sangat terasa. Memekakkan kulit hingga memerah. Membuat manusia selalu haus dahaga. Matahari memang tak selalu hadir sepanjang hari. Ia hanya bersembunyi kala bintang dan bulan datang. Tetapi, aura panasnya tetap terasa walau hari petang.

Pagi ini aku masih berdiri di tempat yang sama. Tetap berdiri, walau kaki - kaki ini perlahan rapuh. Tetap berdiri, walau tubuh ini hampir mati. Kulihat matahari belum muncul. Warna jingga masih menghiasi langit pagi ini. Pertanda mentari siap beraksi lagi. Sempat ada semilir angin menyejukkan sedikit kerapuhan tubuh ini. Namun itu tak membuat rinduku terobati. Aku masih berharap hujan menampakkan semaraknya. Aku kembali merunduk lesu. Harapanku pupus, keinginanku sirna. Aku pasrah untuk bersiap kembali mengawali hari bersama sang panas. Ditengah kepasrahanku, tiba - tiba suara itu datang. Tetesan - tetesan air itu seketika datang bergerombol membasahi jalan - jalan juga masuk ke sela - sela kaki ini. Aku tersenyum sumrigah. Lama sudah kurindu. Hujan turun menebas rasa pilu. Gemercik tetesan demi tetesan air yang turun merupakan anugerah bagiku. Air hujan selalu berhasil mengobati rinduku. Membuat tubuhku segar kembali. Menyongsong waktu datangnya hari. Deruan suaranya yang kencang mengobarkan semangat yang hampir mati.

Pagi kali ini tak lagi diawali sang mentari. Ia memberi kesempatan pada sang pembawa rejeki. Aku menikmati pagi ini. Orang - orang yang sedang lari pagi berdatangan kearahku. Mereka ingin berteduh dalam rangkulanku. Namun sepertinya niat mereka urung. Kini rambutku tak rimbun lagi. Kini aku hanya menjadi pohon gundul yang tak dilirik orang kala hujan tiba.



Tuesday, November 6, 2012

Kawanan Kami

Kami terbiasa hidup begini. Tinggal di lorong - lorong, dekat pembuangan sampah, serba kumuh dan kotor. Rumah kami bisa dibilang sangat jorok. Tak banyak orang yang akan mau tinggal disini. Apalagi jika mencium bau sampah disini. Memang, kami tak pernah merasakan tidur beralaskan kasur mewah nan empuk. Namun kami harus bertahan disini. Asal kami bisa mencari makan sendiri demi kelangsungan hidup kami. 

Kegiatan kami sehari - hari adalah berburu makanan yang kami temukan. Di dekat pembuangan sampah itu, mau tidak mau kami harus berjuang mencari sesuatu untuk dimakan. Beruntunglah bila kami mendapatkan makanan lezat, walaupun itu makanan sisa. Tapi, kadang kami harus kecewa karena yang ada hanya tumpukan sampah plastik dan dedaunan yang ada disana. Bila hal itu terjadi, maka kami berkelana menyusuri  pinggiran sawah para petani diujung jalan sana. Itulah satu - satunya harapan kami. 

Dari pinggiran sawah, kami beramai - ramai mengintai. Berharap tak ada yang mengawasi. Jika dirasa aman, kami mulai beraksi menyerbu tanaman yang ada disana. Kami memakan apa yang tersedia. Menggali tanah, mengambil hasil cocok tanam para petani. Setelahnya, kami kabur berlarian. Maka di hari kami berhasil menjarah milik petani itulah hari kemakmuran bagi kelompok kami. Seperti itulah kami. Tak peduli jika apa yang telah kami lakukan merugikan para petani. Mau bagaimana lagi, inilah hobi kami. Kawanan tikus yang sangat dibenci petani. Ya, kami memang tikus yang hobi mencuri, hidup di pemukiman kumuh dan merugikan para petani. Akan tetapi, bukankah tidak ada bedanya kami dengan mereka? Mereka yang hobi mencuri uang rakyat, hidup di pemukiman serba mewah dan lebih merugikan rakyat negeri ini. Ya, kami tak berbeda dengan mereka, para tikus berdasi yang masih berkeliaran hingga kini.

Thursday, November 1, 2012

Sensasi Roller Coaster

Ragu sempat menyelinap kedalam pikiran. Cemas dan was - was ikut berkelakar dalam angan. Rasa takut pun akhirnya muncul seketika tiba di arena permainan yang menurutku sangat menyebalkan ini. Roller coaster menjadi momok ketakutan yang melekat sepanjang hidup. Trauma akan permainan roller coaster masih terbayang dalam ingatan. Namun kali ini, kedua sahabatku tanpa menyerah mereka memaksaku ikut bermain. Kata mereka, ini permainan yang sangat menantang, menguji nyali dan mengakibatkan efek berdebar debar. Ya, aku tau bagaimana rasanya. Aku sudah paham benar sensasi roller coaster ini.
"Ayo! Kita main ini saja..!" seru mereka berdua kegirangan.
Mereka berdua kemudian mendorongku masuk ke arena permainan. "Deg!" jantung seketika berdegup. Terpaksa aku ikuti kemauan mereka walau sebenarnya ketakutanku telah menjalar di sekujur tubuh ini.

Kami bertiga duduk diatas kursi roller coaster. Lagi - lagi jantung ini berdetak tak karuan. Kali ini detaknya begitu cepat dan terasa. Keringat dingin seketika mengalir dari dahi. Mukaku asli pucat pasi. Kakiku bergetar. Sekujur tubuh berkeringat. Mataku berkunang - kunang. Pengaman telah terpasang dengan rapi. Nyaliku menciut menyulutkan segenap ketakutan. "Tidak..!" sebelum permainan dinyalakan aku melepas pengaman lalu turun dari kursi. "Kenapa apa Mbak?" si Penjaga bertanya heran sambil senyum - senyum. Kedua sahabatku tertawa lebar melihat tingkahku. "Belum juga mulai." timpal mereka. Akhirnya aku malu sendiri dan naik kembali keatas kursi.

"Siap..!" seruan si Penjaga disambut anggukan kami bertiga.
"Wusss..!!" Roller coaster mendadak melaju cepat dan kencang. Debaran jantungku makin tak karuan. Keringat makin menjalar, mungkin ikut berterbangan kali ini.
"WOOAAAAAAAA....!!!" teriakkan panjang mulus keluar dari mulut kami bertiga.
"Wuusss..!!" tempat duduk yang kini kududuki bergerak menukik tajam ke kanan dan ke kiri mengikuti lintas rel yang meliuk - liuk. Tiba - tiba, kami dibawa meluncur keatas hampir menabrak pegunungan, lalu menukik tajam meluncur ke jurang, dan meliuk - liuk lagi menerobos goa - goa. Kerudungku terbang namun tidak lepas. Jantung serasa mau copot. Aku beranikan diri membuka mata. Terlihat rel terputus diujung sana. Pikiranku melayang. Entah apa aku berpikir bahwa aku akan benar - benar dekat dengan ajal kini. Mataku terpejam lagi. "Geruak..!" rel bergeser kekanan sedikit dan langsung otomatis bersambungan dengan rel lainnya. Teriakan kami masih saja berkoar menambah ketegangan.

Perutku mual. Namun aku tak bisa berbuat apa - apa. Hanya teriakan dan sesekali menutup mata yang aku lakukan. Aku tak kuat lagi. Ingin segera mengakhiri peramainan roller coaster yang begitu lama ini. Kami dibawa lagi melintas meliuk - liuk memasuki semak - semak hutan, menyusuri lembah sungai. "Wkwkwkkw..!" hampir bersamaan kami tertawa kala cipratan air sungai sempat membasahi muka kami.

"Woaaaaaaaaaa...!!!" teriakan panjang kembali terdengar nyaris putuskan salauran kerongkongan. Roller coaster dengan gila membawa kami pada lintasan melingkar yang menyebabkan kami duduk terbalik dengan letak kepala dibawah. Mataku terpejam lagi. Aku ngeri. Perut makin mual.
"Wuss..!! Drrrrrrtt..!!" perlahan - lahan roller coaster terhenti di tempat memulai permainan tadi. Aku bernafas lega sembari memegang perut.

Kini layar dihadapan kami tampak putih kosong. Kami turun dari kursi dan melepas kacamata yang tadi kami kenakan. Ketika pintu ruangan dibuka, kami keluar dari ruangan. Tampak disana si Petugas tersenyum sumrigah seraya memuji kami, "Wow, teriakannya hebat.! Dimana belajar teriak, Mbak?"

"Seratus lima puluh ribu saja untuk sekali permaianan 5D ini!.." Kami menyodorkan uang pada si petugas, lalu kemudian beranjak pergi dari situ. Kami berjalan dengan tawa lebar dan muka senang. Aku tertawa sembari tetap memegang perut yang mual.