Tuesday, April 23, 2013

Awal Cerita : Solo Traveler


Pernahkah kalian berpergian sendiri? Menikmati perjalanan seorang diri tanpa mengenal seluk - beluk kawasan yang kalian kunjungi? Inilah yang dinamakan solo traveler.. Berbekal sebuah ransel dan seonggok keberanian, ia berangkat menjajaki suatu tempat asing baginya.

 

Hmm, mungkin aku bisa dikatakan sebagai "solo traveler". Ya, walaupun tidak sepenuhnya tujuanku datang ke negeri antah berantah hanya untuk sekedar berjalan - jalan. Tapi, beginilah statusku saat ini.

 

Berangkat dari Bali, terbang bersama CityLink sekitar pukul 11 siang waktu Bali. Aku menikmati setiap detik yang berlalu diatas awan oleh rangkulan AC dingin CityLink yang begitu menggoda, hingga membuat aku tertidur pulas selama perjalanan.
 
 
 

 

Satu jam lebih setelah sang Pilot mengumumkan akan segera mendarat, barulah aku terbangun. Bandara Husein Sastranegara tampak nyata berada diantara himpitan kepadatan rumah warga. Turun dari pesawat, mataku tergelitik tuk mengabadikan bandara dalam sebuah potret bangunan.

 

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bandara Bandung. Turun dari pesawat, aku berjalan sembari menggendong ransel dan menenteng sebuah tas sedang langsung disambut aroma jalan raya. Ternyata Bandara Husein tidaklah sebesar dan seluas Bandara Ngurah Rai. Tidak begitu susah mencari jalan menuju pintu keluar Bandara, karena memang hanya ada satu disana. Aku yang memang sudah merencanakan akan menginap di Pop Hotel, langsung menuju kawanan supir taxi, dan naik tanpa bernegosiasi harga. Sial., kenapa sampai lupa dah.!

 

Tak sampai 20 menit, pak supir taxi mengantarkanku tepat di depan Pop Hotel. Bangunan warna - warni yang memang menjadi ciri khas hotel ini adalah salah satu alasan mengapa aku tertarik menginap disini.

 

Pop Hotel Festival CitiLink Bandung, itulah nama lengkap salah satu cabang Pop Hotel yang ada di Indonesia. Festival CitiLink mungkin sengaja disesuaikan dengan nama Shopping Mall yang berada tepat di kawasan hotel ini. Hotel yang juga berdekatan dengan Harris Hotel ini memiliki konsep yang berbeda dari hotel - hotel kebanyakan yang pernah aku kunjungi atau aku lihat selama ini. Nuansa warna - warni menciptakan kesejukan mata sehingga siapa saja yang menginap disini menjadi betah.

 

"Hmm, kisah selanjutnya mengenai Pop Hotel akan kuceritakan diposting selanjutnya ya.. Tiba - tiba saja, kenyamanan kasur kamar Pop Hotel menggodaku untuk segera memejamkan mata. Sampai jumpa..! ;)

 

 

 @Pop Hotel Bandung
 
 

 
 

Sunday, April 21, 2013

Arti Sebuah Kebebasan

Kebebasan adalah hak bagi setiap individu manusia. Kebebasan berarti tak ada tekanan, paksaan, gangguan, dan kepuasan seseorang menjadi diri sendiri tanpa terusik oleh pihak / individu lain. Kita bebas berpendapat, kita bebas mencintai atau membenci, marah atau memaafkan, senang dan sebaliknya. 

Kecerdasan dan akal tidak berguna tanpa sebuah kebebasan. Kita bebas mengendalikan respon dari setiap kejadian yang pernah mampir di kehidupan kita. Namun, meski memiliki kebebasan, pilihlah kebebasan yang  mengarah ke energi positif. Nikmati kehidupan, sambut cinta baru, penuhi hidup dengan tawa, bukalah hati untuk peluang - peluang yang baik, rejeki, pekerjaan, orang - orang di lingkungan baru.

Bebaskan dirimu dari segala sesuatu yang telah lama mengurung dalam pikiran dan hatimu. Bebaskan dan lepaskan energi - energi negatif yang sempat membelenggu. Bermacam - macam kebebasan adalah milik kita. Pilih dan raihlah kebebasan - kebebasan yang positif hingga hidup yang dijalani semakin lebih mudah dan berwarna. 


"Freedom is how to enjoy life with a positive energy"


Menikmati Patung Kartini di Monas

Meski Jepara merupakan kota kelahiran R.A Kartini, namun kehadiran beliau masih dapat kita lihat melalui monumen patung tokoh wanita yang berdiri di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta Pusat. 

Dulu patung Kartini diletakkan di kawasan Taman Surapati, Menteng Jakarta Pusat. Namun kini Patung Kartini telah diganti dengan patung Pangeran Diponogero sedang berkuda.

Awalnya, kebingungan sempat terjadi saat proses pemindahan patung, hingga akhirnya Monas dijadikan tempat patung Kartini berdiri/ Wisatawan yang berkunjung dapat menikmatinya di kawasan Monas, dekat Stasiun Gambir.  



Patung Kartini menampilkan pose Kartini yang berbeda, yaitu pose berjalan, menyusui dan menari. Patung tersebut berdiri diatas lahan seluas 7x48 meter persegi. Patung yang merupakan hadiah dari Jepang, diresmikan peletakannya pada 20  Desember 2005 oleh Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Yutaka Himura. Supaya mudah dikunjungi banyak warga dan wisatan adalah salah satu alasan mengapa patung Kartini tersebut diletakkan di sisi timur Monas.

Nah, buat kawan - kawan yang senang berkeliling Monas, tidak ada salahnya menikmati Patung Kartini dari dekat ya. Disini kalian bisa mengambil foto sepuasnya dengan latar belakang Pahlawan Wanita yang berpengaruh besar terhadap perubahan kegelapan nasib wanita kala itu.

Happy Kartini Day..!!! :D

Wednesday, April 17, 2013

Lampiaskan Emosi Secara Benar


Jika memiliki masalah pribadi baik masalah ringan maupun berat, sebaiknya ungkapkan emosi dengan benar. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk melampiaskan emosi tanpa perlu menunggu situasi yang tepat.

Contohnya, saat sedang menonton konser idola kita sebut saja konser para artis K-Pop Korea yang lagi booming saat ini. Begitu para personil unjuk kebolehan mereka diatas panggung, spontan berbagai ekspresi timbul dari dalam diri masing - masing penonton. Aneka teriakan histeris diiringi gerakan - gerakan dramastis (melambai - lambaikan tangan, berusaha bersalaman dengan para idola dari bibir panggung, menangis haru bahagia, hingga meloncat - loncat gembira). Hal - hal yang demikian tersebut merupakan cara mereka meluapkan emosi. Pada saat itu mereka lupa akan segala hal yang membebani pikiran mereka.

Mengontrol emosi dapat dilakukan dengan cara mengontrol suara dan gerakan. Seperti halnya saat menonton konser. Teriakan dan gerakan dramastis yang spontan timbul itu bukankah membuat pikiranmu lega?

Contoh lainnya lagi adalah karaoke bersama. Saat mengalami sindrom "galau", kegiatan bernyanyi bebas tanpa aturan apalagi dilakukan secara beramai - ramai otomatis akan menghilangkan bebanmu seketika, bukan ?

Eits, meski kita bebas berekspresi meluapkan emosi, jangan lupa untuk selalu kontrol emosi ya !

Monday, April 15, 2013

Fokus dalam Pencapain Impian

Seseorang memutuskan untuk berhenti bekerja dari suatu perusahaan. Ia memutuskan untuk membuka suatu usaha yakni sebuah warung makan. Baru beberapa bulan usaha tersebut berjalan, ia merasa belum puas akan pendapatan yang didapat. Ia merasa telah melakukan berbagai strategi dalam usahanya, namun tetap saja hasilnya belum seperti yang ia harapkan. Maka, ia menjadi putus asa alias galau. Untuk mengurangi kegalauannya, iseng - iseng ia browsing internet dan mencari ide untuk menemukan cara memperoleh pendapatan lebih. Maka, dari hasil browsing internet, ia temukan iklan bisnis internet marketing yang menggiurkan. Sampai pada akhirnya ia mendaftarkan diri menjadi member berbayar salah satu situs pembelajaran internet. Dari situs tersebut, telah dijelaskan secara terperinci langkah - langkah meraup keuntungan di internet. Awal mulanya, ia begitu semangat mengikuti strategi yang didapat. Mulai dari membangun sebuah website serta teknik pemasarannya. Selang seminggu ada iklan marketing bisnis property yang ia dapat melalui email. Ketertarikannya makin bertambah setelah melihat testimoni anggota yang telah menjalani bisnis tersebut. Akhirnya, ia pun memutuskan mendaftar disitus tersebut. Namun, seminggu kemudian ia merasa jenuh dan bosan dengan bisnis property yang sama sekali tak ia kuasai. Website yang telah ia buat pun tak terawat bak sampah di dunia maya yang sepi pengunjung. Keputusasaan-nya semakin bertambah, kala menengok kembali usaha warung makannya yang tidak ia jalani dengan sepenuh hati. Terlintas dalam benaknya untuk kembali mencari pekerjaan. Tapi, alhasil kebanyakan perusahaan mencari karyawan dengan golongan usia maksimal yang tak lagi sesuai dengan usianya kini. 

Sekelumit cerita diatas menggambarkan seseorang yang mencoba - coba pilihan jalan hidup untuk meraih impian dan kesuksesan yang pada akhirnya berbuah pada sebuah keputusasaan. Menurut Tony Robbins, "Salah satu alasan begitu sedikit orang yang meraih apa yang diinginkannya adalah karena kita tidak pernah fokus; kita tidak pernah konsentrasi pada kekuatan kita. Kebanyakan orang hanya mencoba-coba berbagai macam jalan dalam hidup mereka. Mereka tidak pernah memutuskan untuk menguasai suatu bidang khusus".

Kawan, ingatlah bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan potensi tak terbatas. Namun sayang, hanya segelintir orang yang mau mencapainya. Kita sebagai manusia memang dapat melakukan berbagai hal. Tapi, ada satu hal yang perlu diingat, bahwa kita tidak dapat selalu menguasai sepenuhnya. Seperti kata Tony Robbins, peranan fokus sangatlah penting dalam penentuan kesuksesan atau pencapaian impian kita. Tekuni dan asah satu bidang / keahlian / profesi hingga pada akhirnya apa yang kita harapkan dan inginkan terwujud. Hindari menjadi pribadi dengan kemampuan mengerjakan banyak hal, tetapi fokuslah hanya pada satu profesi. Maksimalkan potensi yang benar - benar diminati dengan fokus pada sasaran utama, pada peningkatan yang berkelanjutan, dan pada masa depan,

Fokus pada kekuatanmu. Tumbuh dan berkembanglah bersama kekuatan itu.    

Monday, April 1, 2013

Sebuah Misi



“Lepaskan ! Lepaskan aku !” Ia berteriak memberontak. Tubuhnya terbaring diatas sebuah kasur putih dengan kedua tangan terikat pada dua sisi tiang kasur. Bola matanya berputar – putar, melotot keluar. Tubuhnya kurus tak tearawat. Bibirnya bergetar terus menerus berteriak minta dibebaskan. Tangisan dan teriakannya membuatku sedikit takut berada didekatnya.
“Lepaskan! Lepaskan aku !” kali ini suaranya mungkin sudah terdengar hingga keluar ruangan kamar. Api menyala – nyala dari matanya yang kini memerah. Ia menghantam – hantamkan kedua kakinya ke tiang kasur, berusaha mencoba meloloskan diri dari ikatan kuat yang melingkar pada pergelangan kedua tangannya.
“Lepaskaaaaaaan..!! huaaaaa…!”
“Tenang, Bu ! Tenang..!” aku berusaha berbicara lembut kepadanya.
“Sialan!”
Seketika aku langsung shock mendengarnya. Seorang ibu paruh baya yang tak terurus itu berseru  demikian kepadaku. Aku jelas tentu mengerti kalimat tersebut bukan ditujukan padaku. Maka dari itu, demi sebuah tugas dan misi aku tetap tegar menghadapinya. Toh, ini baru hari pertama.
“Ibu, minum obat dulu ya?” aku tersenyum lembut kepadanya. Senyumanku malah dibalas tawa keras darinya.
“Hahahaha…! Kau menyuruhku minum obat?”
Aku mengangguk.
“Kau berusaha membunuhku dengan obat, keparat..?!”
“Tidak mungkin Bu” aku menggeleng ketakutan. Kulirik Suster Rina yang berada disampingku berusaha meminta bantuannya tuk membujuk si ibu.
“Ibu, ayo minum obat dulu. Nanti dimarahi Tuhan lho..!” suster Rina tersenyum sambil siap menyendokkan obat ke mulut si ibu.
“Benar, Tuhan marah?”
“Makanya minum obat ya? Nanti Tuhan bakal nyuruh Suster Rina buat lepasin ikatan ini.” Suster Rina mengangkat kepala si ibu dan memasukkan sesendok obat kedalam mulut si ibu.
Sejenak si ibu terdiam tak memberontak lagi. Api yang tampak jelas dimatanya tadi seketika redup disirami bujukan suster Rina.
“Ayo kita biarkan dia istirahat.” Pinta suster Rina padaku. Kemudian aku dan suster Rina berbalik pergi dan menutup pintu kamar si ibu. Kulihat si ibu menutup matanya pelan – pelan sampai akhirnya terpejam.
“Kamu harus bersabar ya. Ibu Jelita sudah disini lebih dari dua tahun lalu. Dan, kadang – kadang ingatan tentang masa lalunya yang menyakitkan bangkit kembali. Makanya, tingkahnya seperti tadi itu.” Suster Rina berusaha menyemangatiku.
“Iya Sus, ini memang tugaksu. Kalau bukan demi menyelesaikan tesis dari kampus, saya sudah pergi ganti topik.”
Aku dan suster Rina berbincang – bincang mengenai ibu Jelita sambil berjalan menuju ruang kerjanya. Sesampainya di ruang kerja suster Rina, yang merupakan kepala suster Rumah Sakit, ia memperlihatkan padaku data – data Ibu Jelita.
“Fotocopy data – data Ibu Jelita, dan pelajarilah! Semoga itu membantu pembuatan tesis materi kuliahmu.”
“Terima kasih Suster Kepala.” Kataku sembari tersenyum pada suster Rina.
“Iya sama – sama.”
 Aku berjalan pergi meninggalkan rumah sakit. Di depan pintu keluar, aku mengambil handphone dari dalam tas. Ketika hendak menelpon taxi, kupandangi sejenak wallpaper layar handphone milikku. Senyum simpul wajah Ibu menatapku dengan hangat. Aku membalas tatapannya penuh rindu. “Tenanglah Ibu, misiku kan segera kutuntaskan!” seruan semangat menggema kedalam pikiran. Kobarannya menyala – nyala bagai serigala yang siap menerkam mangsa.
**
Esok paginya aku kembali ke rumah sakit.
“Selamat pagi.!” Customer Service di lobi depan menyapaku dengan senyuman.
“Pagi.! Suster Rina sudah datang?” tanyaku sembari membalas senyumnya.
“Oh, sudah. Silahkan langsung saja ke ruangannya ya, Mbak.”
“Terima kasih.”
Aku berjalan menuju ke ruangan suster Rina. Di perjalanan aku berpapasan dengan beberapa pasien. Mereka bertingkah laku bermacam – macam. Tergambar jelas diwajah mereka, raut muka keputusasaan dan kesengsaraan yang terbungkus oleh berbagai aksi pertunjukan.
“Hei, mau kemana kamu?” seorang perempuan yang kira – kira seumuran denganku menghalangi jalanku.
“Hei. Saya mau cari suster Rina.” Jawabku berusaha tersenyum.
“Tidak ada.! Suster Rina sudah mati.! Kubunuh dia tadi. Hahaha..!!” ia tertawa puas.
“Permisi..!” Aku kemudian kabur mengambil langkah seribu lari dari hadapannya.
Sesampainya di ruang kantor Suster Rina, aku langsung mengetuk pintu yang terbuka.
“Pagi Suster.!”
“Pagi Jihan! Mari masuk!”
“Ini saya kembalikan data – data ibu Jelita.”
“Iya, terima kasih.”
“Jadi, sudah siapkah kamu?”
“Tentu saja Sus.”
Tiba di depan pintu kamar ibu Jelita, kami berdua masuk dan menemui ibu Jelita sedang duduk dengan tatapan kosong diatas sofa.
“Ibu Jelita, apa kabar?” Suster Rina langsung menghampirinya.
“Haha, suster..! Suster Rina cantik! Hihi..!” Jelita merangkul lengan suster Rina seraya mengoyang – goyangkannya.
“Ibu, ada yang mau kenalan tuh.”
“Siapa?”
“Ini Jihan. Cantik bukan dia?” Suster Rina memperkenalkanku pada ibu Jelita.
“Halo ibu.!” Sapaku sembari tersenyum.
“Suster, aku takuuut..” ibu Jelita merangkul erat lengan suster Rina.
“Tenang ibu, Jihan gadis baik kok.” Aku merunduk dan menatap lembut matanya.
“Jiaan, anak baik?” ibu Jelita menatap suster Rina, dan suster Rina membalas pertanyaannya dengan anggukan pelan.
“Jiaan, anak baik.” perlahan kedua tangan ibu Jelita menyentuh kedua pipiku.
“Puk, puk..!” pipiku ditepuk – tepuk perlahan olehnya. Aku tersenyum dan berkata, “Jadi, kita berteman kan Bu.?”
**
 Aku mengajak ibu Jelita berjalan – jalan di pekarangan rumah sakit. Ibu Jelita duduk diatas kursi roda. Sembari santai berjalan, sesekali aku mengobrol dengannya.
“Lihatlah Bu, dunia itu begitu indah. Menghirup udara dibawah pepohonan rindang, menikmati panorama alam yang begitu memukau. Kupu – kupu dan bunga bercanda dalam kemesraan. Kita pun kini sedang bersantai menikmatinya.”
“Hihi..! Hahaha..!” ibu Jelita sudah pasti tak menyimak kalimat panjangku. Ia tertawa – tawa sendiri sembari menengadah ke langit luas, kemudian tiba – tiba menunduk sedih. Seketika ia memilin – milin rambut pendeknya yang kusut lalu kemudian bernyanyi – nyanyi.
“Bukan aku orang itu! Aku benci kamu!”
Aku membiarkannya saja. Seharian menghabiskan waktu bersama ibu Jelita membuatku teringat kembali akan ibuku sendiri. Ada kesedihan mendalam menelusup dalam diri Ibu Jelita. Sakitnya terpancar dari mimik wajahnya yang tampak depresi. Jiwanya terganggu. Pikirannya tak menetu. Bayang – bayang masa lalu masih hinggap sisakan luka. Tetesan air mata seketika menetes dari pipiku. Bayang – bayang wajah ibu sekilas hinggap dibenakku. Rindu memang selalu terasa. Tapi, kesedihan mendalam lebih ikut tertanam dilubuk hati. Kupandangi rambut ibu Jelita yang mulai beruban. Percikan api tiba – tiba menyulut dari dalam diri. Inginku segera menuntaskan misiku saat ini juga, akan tetapi akal pikiran sehatku menyiramnya dengan beribu pertimbangan. 
“Ibu, tunggu saja. Misiku sebentar lagi terlaksana.” Kataku dalam hati. Aku pun menghapus air mataku sambil terus berjalan. Bersama ibu Jelita melewati setiap tikungan jalan berpetak.
**
Berhari – hari aku mengunjungi ibu Jelita hingga akhirnya ia mulai terbiasa dengan kedatanganku. Kami tak canggung tuk berbincang – bincang sembari berjalan – jalan, atau mengobrol bersamanya di dalam kamar.

Tiba di suatu hari yang tak terduga.
“Hiks..! Hiks,,,!” tangis ibu Jelita tiba – tiba. Aku baru saja keluar sebentar untuk menemui Suster Rina. Tapi, begitu kembali ke kamar Ibu Jelita, aku kaget melihat ia duduk bersandar disisi tiang kasur sembari menangis.
“Ibu? Ada apa?” aku langsung panik datang menghampirinya.
“Siiii.. siapa kamu?” ibu Jelita melihat takut kearahku.
“Aku Jihan, bu.” Aku mengguncangkan tubuh lemahnya sembari menatap matanya. Wajah ibu Jelita langsung pucat pasi. Bibirnya gemetar menahan tangis. Ia kemudian merangkul kedua kakinya sembari terus menatap curiga kearahku.
“Jangan! Pergi jauh sana! Hiks ! hiks!” ia sedikit berteriak kepadaku. Aku yang tadinya setengah berjongkok dihadapannya langsung berdiri. Kemudian hendak mengambil tas selempang milikku yang kultinggalkan tadi diatas sofa. Niatku untuk pergi keluar dari kamar meninggalkannya terhenti kala kutemui tasku dalam keadaan terbuka. Dompetku berserakan disamping tas. Aku lantas mengambil dompetku yang juga dalam keadaan terbuka. Mataku otomatis tertuju pada foto yang kusimpan didalam dompet. “Ibu” . Wajah itu yang selalu menghiasi hati dan pikiranku. Ibu menjadi penyemangat hidupku sekaligus pembuka kembali rasa sakit hatiku. Kupandangi sejenak foto ibu sampai tak terasa air mata mengalir dari sudut – sudut mata.
“Wanita itu.!”
“Ya. Apakah kau ingat ibu Jelita?” aku lantas menoleh kearah ibu Jelita yang masih terduduk pasrah di lantai.
“Kkkkk…Kau dan waaaa.. nitaaaa itu?” ibu Jelita menatapku lekat – lekat. Tatapan matanya tak percaya hingga membuat bola matanya mencuat. Aku tersenyum seraya berjalan lalu berjongkok dihadapannya. Kudekatkan mukaku kearah mukanya dan kukeluarkan foto ibuku dari dalam dompet.
“Lihat, apakah ada yang kau ingat dari wajah wanita ini?” aku menunjukkan foto ibuku lebih jelas padanya.
“Tidak! Tidak!” ia menggeleng – geleng tak percaya.
“Ibu Jelita, wanita ini adalah ibuku. Wanita yang kau siksa sepanjang hari hingga dia mati di tanganmu.” aku berbisik kepadanya. Api yang sempat meredup didalam dada seketika langsung tersulut membentuk beribu percikan yang menyala – nyala.
“Hiks..! hiks!” ibu Jelita menangis tersedu seraya menutup kedua telinganya.
Tangisan sendu ibu Jelita rupanya tak meredupkan percikan – percikan api yang menyala. Kilauan percikannya berubah menjadi satu kesatuan amarah yang telah tersimpan dalam lubuk hati. Kobaran api amarah dan kebencian seolah menyatu dan tak dapat redup bahkan oleh tetesan air dari malaikat baik yang sempat bernaung dalam diri. Benci dan amarah yang tak tertahan membuatku tak banyak berfikir lagi. Aku mencekik leher ibu Jelita dengan kedua tanganku.
“Jaaangaan!” teriakan ibu Jelita nyaris tak terdengar.
“Matilah kau!” aku berseru kecil seraya terus menyumbat aliran pernafasannya tanpa perlawanan.
“Aaa..Maaa..af..!” hanya kata maaf itu yang tertangkap dari gerak bibirnya sebelum akhirnya ia benar – benar menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku kemudian melepaskan peganganku dan duduk menjauh darinya. Kulihat ia tersungkur lemah di lantai. Aku tersenyum puas. Air mata langsung mengalir deras dari kedua pipiku. Kudekap foto ibuku erat – erat sembari terus menangis. Antara rindu, derita, dan bahagia bercampur hinggap di dada.
“Ibu, misiku telah tuntas. Mantan majikan kejam ibu akhirnya mati juga!” teriakku dalam hati.
Tangisku semakin menjadi.



30 January 2013, pk 21.52
Denpasar
BOM CERPEN

Musuh Lama



Aku baru saja selesai melakukan rutinitas perburuanku, mengoyak – ngoyak sampah demi temukan sisa makanan yang dapat kumakan. Perut kenyang membuatku bersemangat kembali. Akan tetapi, ketika aku hendak melangkah pergi meninggalkan timbunan sampah, nasib sial malah telah menanti. Musuh lamaku muncul tanpa diduga. Matanya yang menyala – nyala bagai tersulut api kemarahan menantiku di ujung gang. Dadaku seketika sesak. Api dari matanya membuat ketakutan seketika menyusup melewati paru – paruku. Kaki – kakiku bergetar, menahan beribu kecemasan yang melanda. Kini lengkaplah sudah, aku terpenjara dalam rasa cemas dan takut tuk menghadapinya.

“Hei, kita bertemu lagi!” pandangan matanya seolah berkata demikian. Kulihat ia berdiri dengan angkuhnya. Ia menyeringai sembari menatapku lekat – lekat. Api kemarahan masih tampak jelas dimatanya. Sedangkan aku masih diselimuti gelora ketakutan. Tapi, dengan sedikit keberanian, kucoba melawan ketakutan itu. Seribu tenaga kukerahkan tuk pergi menghindarinya. Aku lari terbirit – birit.

“Hei jangan lari!” suaranya yang khas makin mempercepat irama berlariku. Aku berlari sekencang – kencangnya tanpa menoleh lagi. Kutahu ia sudah pasti mengejarku kini. Aku terus berlari tanpa peduli jalanan licin akibat lumpur yang menggenang di sepanjang gang. Cipratan – cipratan air bercampur lumpur yang pada akhirnya mengotori wajah dan tubuhku pun tak kupedulikan. Yang kuinginkan saat ini adalah segera terbebas dari buruannya. Aku tak tahu harus meminta tolong pada siapa. Meski berteriak sekalipun belum tentu akan ada yang mendengarkanku. Meski salah satu anggota kawananku melihat kejadian ini, belum tentu mereka akan menolongku. Bisa jadi niat mereka urung ketika melihat musuh lama, yakni musuh lama kawanan kami yang mengejarku. Alhasil mereka pasti hanya menatap ngeri melihat aksi kejar - kejaran ini.

“Hff… hff.. Hfff..!” nafasku mulai tersenggal – senggal. Tapi aku belum mau menyerah. Masih ada kesempatanku untuk berlari dan terus berlari meski musuh lamaku itu tampak tak mau menyerah juga mengejarku.

“Mau kemana kamu hah?” suara lantangnya semakin dekat saja. Aku berlari semakin kencang dan lincah. Kuterobos setiap pemukiman disepanjang gang, sampai akhirnya otakku harus terpaksa berpikir mencari ide, kala kulihat ujung gang yang kulewati ternyata buntu. “Aduuuh..!” kepalaku mendadak sakit. Tapi untung saja nasib masih berpihak padaku. Begitu dekat dengan tembok buntu batako yang kokoh berdiri, kulihat ada lubang kecil disisi ujungnya. Aku rasa tubuhku muat masuk menerobos kesana. Sementara ia dengan besar tubuh kira – kira empat kali lipat dari ukuran tubuhku tak mungkin muat memasuki lubang itu. Dengan api kenekatan yang membara, aku memejamkan mata sembari berlari masuk ke lubang kecil tersebut.

“Dug..!” Suara tembok beradu kepala terdengar begitu keras. Aku membuka mata dan meraba keningku. Ternyata tidak terjadi apa – apa. Aku masih baik – baik saja. Tubuhku masih utuh. Sementara ini aku aman berada disini. Terowongan gelap beraroma pesing bercampur aroma sampah menyelamatkanku dari kejaran musuh bebuyutanku. Dari dalam terowongan aku bisa bernafas lega. Kudengar ia mengaduh kesakitan sembari berkoar – koar, “Rrrrr!!” Tampak diluar hentakan – hentakan tangannya berusaha memasuki terowongan kecil tempatku kini bersembunyi. Kukira dia kini benar – benar mengamuk seolah pertanda ingin berkata kepadaku, “Hey! Lihat saja akan kutangkap kau!”

 “Kresek..! Kresek..!” Spontan aku berbalik arah menoleh berusaha melihat dalam kegelapan. Perlahan aku melangkah maju sembari mencium aroma si musuh lamaku yang kutahu masih diluar sana.
“Kresek! Kresek!’ suara – suara gerakan musuhku makin tercium. Aku beranikan diri melangkah lebih maju, berdiri tepat dibibir terowongan dan menempel pada dindingnya. Niatku ingin menjulurkan sedikit kepala ini terhenti oleh perasaan cemas yang menggelora. Kuurungkan niat kemudian berbalik mundur.

Aku masih dihantui perasaan takut. Kesempatan bersembunyi didalam terowongan aku manfaatkan untuk beristirahat sejenak meregangkan tubuh.

“Kreoook!” perutku lapar kembali. Aku mengais – ngais tanah yang kupijaki mencoba mencari sisa – sisa makanan yang mungkin tersangkut di terowongan ini. Namun, semua tampak sia saja, karena baru kusadari aku bukan sedang berdiri diatas tanah, melainkan diatas suatu benda keras yang tak bisa kukais – kais dengan jemariku.

“Braaak! “ tiba – tiba aku merasa terowongan kecil ini seperti terguncang. Aku bersiaga, otakku mulai mencari ide, bagaimana aku bisa keluar dari terowongan ini.
“Haruskah aku keluar dari pintu yang sama? Wah, sudah pasti ia masih menungguku diluar sana.”
“Haruskah aku maju melangkah ke depan? siapa tau ada jalan keluar bila aku terus berjalan? Sepertinya ini langkah yang tepat.” Aku berpikir sejenak sampai – sampai tak menyadari ada kilatan berwarna kuning terihat dari lubang terowongan.

Cahaya kuning menyala berbentuk runcing tampak menyeramkan tuk dipandang. Aku sudah menduga cahaya kuning tersebut berasal dari monster hitam legam bermata kuning, alias musuh lamaku yang sedari tadi berusaha memburuku. Sebuah bola mata kuning runcing menyala itu menatapku penuh api kebencian. Api yang selalu tersulut setiap kali kami tak sengaja berpapasan. Sudah berulang kali kawanan monster besar itu menjadi musuh kawanan kami. Entah bermula dari kawanan mana, dan penyebabnya apa, kawanan monster besar pemburu dan kawanan kerdil seperti aku ini selalu tak pernah akur bila bertemu. Bukan apa – apa , kawanan kami yang kerdil bukannya takut menghadapi kawanan monster besar itu, namun badan kerdil kami tidak ada apa – apanya bila dibandingkan dengan tubuh raksasa yang dimiliki kawanan monster.
“Rrrr!” Geramannya seolah ingin berkata, “hey, kerdil! Tak mungkin kau lepas dariku! Sudah, menyerah sajalah!”

Aku diam tak menghiraukan tatapan kebencian dan amarahnya yang tersulut api. Aku harus berusaha memutar otak tuk segera keluar dari terowongan, berusaha tak terpancing oleh api kegilaannya memburuku.
“Rrrrr!” Mana kepiawaianmu? Bisanya pergi kabur dari kejaranku? Kenapa kita tak bertarung saja?” Mata kuningnya melotot kearahku, api makin memanas di arena perburuan.
Namun, sekali lagi aku tak terpancing. Aku meraba dinding terowongan berharap temukan celah tuk keluar. Aku menyeret kaki – kakiku yang sudah semakin melemas. Saluran nafasku seakan tercekat. Namun tidak dengan penciumanku. Aku terus berjalan mengikuti insting indra penciumanku yang lumayan tajam.
“Braaak! Duk..!” sebuah benda masuk mengguncang terowongan. Kulihat tangan monster legam itu sedikit bisa memasuki terowongan. Dengan sigap aku lompat menerjang dan menggigit tangannya. “Rrrgg..!” Ia mengaduh kesakitan. Aku terus mengigit tangannya supaya ia menyerah. Akan tetapi aku tak mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya. Ternyata tangannya bergoyang – goyang sengaja ia hentakkan keatas, kebawah, kekanan, dan kekiri hingga menyentuh dinding – dinding terowongan. Hal itu membuat tubuhku terang saja terguncang dan bertabrakan dengan dinding terowongan yang keras. “Tidak! Tidaaak!’ aku mengaduh kesakitan. Terpaksa aku melepaskan gigitanku hingga akhirnya tubuhku jatuh terhempas kebawah terbebas dari hantaman tangannya.

“Hfff..! Hff…!” berulang kali aku mengatur nafas. Aku meraba tubuhku. Ada sedikit lecet menghiasi permukaan kulitku. Beberapa bulu rambutku ada yang terlepas, dan beberapa bulu rambut si monster malah tertinggal dikulitku.
“Tap!” Baru saja aku menghela nafas, tangannya sudah menggenggam tubuhku. Cepat – cepat aku memulihkan tenaga berusaha menggigit tangannya keras – keras. Ia akhirnya melepaskanku walau masih sempat mencakar punggungku. Aku pun sontak berlari menjauh.
Darah. Kuraba tubuhku dan kucium aroma darah keluar dari kulit tubuhku. Aku meringis kesakitan. Sempat terlintas ide untuk menyerahkan diri saja kepada si monster, tetapi hati dan tekadku tuk menghindar dari si monster mengalahkan keputusasaan. Aku tetap berjuang sendiri meski harus mati di terowongan ini. Ya, setidaknya jarak pintu masuk terowongan dan tempat kini kutergeletak tak mungkin terjangkau lagi oleh tangan besar si monster. Aku tengkurap, badanku lemas, mulutku komat – kamit berdo’a, dan seketika mataku terpejam.

Lima menit kemudian
Aku membuka mata. Kulihat suasana masih tampak sama. Dugaanku berada di alam lain tidak terbukti. Bersyukur ternyata aku masih diberi kesempatan hidup. Tubuhku masih tergeletak di dalam terowongan, masih dalam gelap disinari sebuah lingkaran kecil cahaya yang menyusup dari pintu masuk terowongan.

Aku menegakkan kepalaku. Kulihat suasana tampak damai diluar sana. Tak ada  lagi guncangan – guncangan, tak ada lagi tangan si monster yang menyusup kedalam terowongan. Yang ada, hanya aku dalam terowongan damai. Tampaknya api amarah dan kebencian musuh lamaku itu ciut karena tak berhasil menangkapku. Ada perasaan bangga akan diriku yang mampu bertahan hingga detik ini. Maka, untuk memastikan keadaan diluar dalam keadaan baik dan aman, aku beranikan diri untuk mendekat dan mengintip.

“Hah,! Mau kemana kau?” Baru saja aku mengeluarkan tubuhku sedikit, si monster yang ternyata masih menunggu diluar langsung muncul mendekat. “Ciiit!” aku mencicit ketakutan langsung kabur kembali menjauh dari pintu terowongan. Si monster hendak measukkan tangannya kembali, namun langsung urung begitu suara majikannya datang.
“Bolang, kamu ngapain disini?”
“Meoooong…!”
“Ayo kita pulang sayang. Jangan merusak pipa saluran rumah orang ya?.”
“Meoong..!”
“Bolang bandel.!”
“Meooong..!”

Suara pemilik monster legam tersebut akhirnya menjadi penyelamatku. Si monser legam bermata kuning dan berkumis tipis itu akhirnya terpaksa pergi dan tak berusaha memburuku lagi. Si majikan menggendong monster legam dipundaknya. Monster dan majikannya berjalan pergi meninggalkan terowongan saluran pipa, tempat dimana aku bersembunyi. Pada saat itulah, aku berjalan maju mendekati pintu terowongan. Dengan santai aku keluar darisana. Kulihat monster legam menatapku masih dengan api amarah dan kebencian. Kumisnya naik turun seolah menandakan isyarat mengejekku, “Sampai ketemu lagi Tikus kerdil!”

22 January 2013, pk 00.10
Denpasar