Ia
terbujur kaku di ranjang. Badannya tak dapat bergerak, matanya terbuka keatas
menghadap dinding kamar dengan tatapan kosong. Aku berdiri terpaku melihatnya
dari luar , tepatnya bersandar di bibir pintu kamar. Ia berada di dalam ruangan
kamar kosong yang khusus disediakan untuknya oleh nenekku semenjak ia tak kuat
lagi menggerakkan tubuhnya. Aku terdiam melihatnya terkapar tak berdaya diatas
kasur dipan. Aku masuk begitu Emak menyuruhku mendekatinya. Aku pegang kulit
tubuhnya masih terasa hangat. Namun, ia tak bergerak walau telah kusentuh. Kini
aku berada dekat melihatnya. Wajahnya masih tetap sama seperti yang aku kenal
selama ini. Namun, tubuhnya kurus berselimutkan sarung milik nenek. Tak lama
berselang, salah satu pamanku melipat kedua tangannya diatas perutnya, kemudian
menutup kedua matanya. Aku masih berdiri di dekatnya dalam diam. Aku lihat
disekelilingku. Semua anggota keluarga besarku telah berkumpul memadati
ruangan. Sebagian ada di dalam kamar, sebagian lagi menyebar di luar ruangan.
Mereka berlomba menahan isak tangis yang tak terbendung lagi. Emak menangis
sesegukan, begitu juga nenek menangis hingga jatuh pingsan berulang kali. Suara
tangisan makin kian menggelegar kala kudengar salah seorang bibiku menangis
sejadi – jadinya sambil merebahkan diri di lantai. Aku alihkan pandanganku kembali
padanya yang kini benar – benar tak bisa aku ajak bicara. Saat itulah air
mataku runtuh. Aku tidak menangis keras seperti yang bibiku lakukan tadi.
Namun, aku hanya menangis dalam diam sembari mengenang hari – hari yang telah
kulewati bersamanya.
Mungkin
banyak kepingan hariku bersamanya yang terlewat dalam ingatan. Namun untung
saja ada beberapa hal yang selalu aku ingat tentangnya. Salah satu kebiasaannya
adalah hobi minum kopi. Sering kali aku diajaknya ke warung kopi di warung
langganannya. Disana ia selalu senang berlama – lama menghabiskan waktu
bersantai sembari minum kopi bersama teman – temannya. Mungkin sepertinya aku tak
pernah absen mengikuti kegiatannya minum kopi, sampai – sampai
setiap aku ikut dengannya, tak mau ketinggalan aku minta dibelikan roti isi mentega ceres yang ada di warung kopi itu. Kopi memang sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Kadangkala aku juga penasaran seperti apa rasa kopi yang selama ini ia minum. Dan pada suatu ketika saat Emak membuatkan kopi untuknya, aku mencoba menyeruput sedikit kopinya. “Ueeks!” rasanya begitu pahit dan aku tak suka. Kata Emak, kopi kesukaannya memang selalu begitu, tanpa gula dan kental. Kopi selalu menjadi menu utama pengisi perutnya. Ia jarang minum air putih, namun paling suka minum kopi satu gelas besar setiap hari.
setiap aku ikut dengannya, tak mau ketinggalan aku minta dibelikan roti isi mentega ceres yang ada di warung kopi itu. Kopi memang sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Kadangkala aku juga penasaran seperti apa rasa kopi yang selama ini ia minum. Dan pada suatu ketika saat Emak membuatkan kopi untuknya, aku mencoba menyeruput sedikit kopinya. “Ueeks!” rasanya begitu pahit dan aku tak suka. Kata Emak, kopi kesukaannya memang selalu begitu, tanpa gula dan kental. Kopi selalu menjadi menu utama pengisi perutnya. Ia jarang minum air putih, namun paling suka minum kopi satu gelas besar setiap hari.
Ia
juga adalah orang yang penyayang. Setiap aku hendak pergi mengaji, ia selalu
menggendongku dari rumah sampai ke masjid tempat dimana aku mengaji. Dengan perasaan senang dan bangga aku kaitkan
kakiku ke pinggangnya dan melingkarkan kedua tanganku ke lehernya. Ia akan
dengan senang hati berjalan sembari menggendongku hingga tiba di masjid dekat
rumahku. Kebiasaan digendong ini menjadikanku anak yang manja. Kadang aku
pernah menangis karena tak mau pergi mengaji jika tidak digendong olehnya.
Selain
penyayang, ia adalah seorang pekerja keras. Ia adalah seorang pedagang sate. Profesi
pedagang sate memang menjadi profesi favorite di kampung perumahanku yang
hampir seluruh penduduknya adalah suku Madura. Ia berjualan di pinggir jalan
dekat kantor Polisi. Disanalah ia menghabiskan harinya untuk bekerja mencari
uang. Pagi – pagi saat orang hendak berangkat ke kantor, ia berjalan kaki
mendorong gerobak satenya dengan kedua tangannya. Perjalanan dari rumah ke
kantor polisi lumayan jauh, namun ia tetap dengan gigih mendorong gerobaknya
hingga sampai tujuan. Aku memang tidak tahu bagaimana capeknya berjalan dengan
mendorong gerobak. Aku memang tidak tahu bagaimana tanggannya yang cekatan
mengipas – ngipas sate dalam bara api untuk para pembelinya. Dan aku juga tidak
tahu seberapa besar beban di pundaknya merasuki pikiran dalam kesehariannya.
Namun aku hanya tahu ia selalu ceria menggendongku ke masjid, mengajakku
menemaninya minum kopi, dan ia sama sekali tak pernah menunjukkan rasa marah,
kesal, atau bosan bila aku di dekatnya. Ia selalu menghiburku bila aku
menangis. Ia selalu mengembangkan senyumnya bila aku ketauan berbuat jahil atau
nakal kepadanya. Dan ia tak pernah marah jika aku tak mau menuruti perintahnya.
Begitulah dia. Tak pernah sedikitpun
tangannya mencubit pahaku seperti apa yang pernah Emak lakukan padaku jika aku
berkelakuan nakal. Betapa aku bahagia dan merasa aman berada disampingnya.
Seiring
berjalannya waktu, ia tak lagi berjualan di pinggir jalan. Kali itu ia dan Emak
berjualan bersama di sebuah kantin PLN. Masih dengan menu sate kambing, ia dan Emak
bekerja bersama dengan suka cita. Dari berjualan di kantin itu , ia tak hanya
mendapatkan lebih banyak rejeki dan pelanggan, akan tetapi dari sikap ramah dan
suka berbaur, ia juga menemukan banyak teman. Dari tukang pemasang kabel,
cleaning service, tukang kebun hingga pegawai.
Kadangkala,
setiap pulang dari sekolah karena bosan diam di rumah bersama pembantu aku
minta ikut ke kantin. Disana aku tidak ikut membantu pastinya. Aku hanya diam
duduk melihat ia, Emak , dan beberapa pembantu menyiapkan makanan untuk para
pembeli. Aku bagaikan putri pengawas yang duduk diam memperhatikan.
Masa
kecilku bersamanya sangatlah berjalan lancar dan sempurna. Hari – hariku diwarnai
tangisan nakal juga tawa bahagia. Hingga suatu ketika semua menjadi berubah
kala ia tak sanggup lagi menghindar dari penyakit. Saat itu, Emak terpaksa
bekerja sendirian bersama para pembantu tanpa
didampingi olehnya. Ia tak sanggup lagi berdiri. Badannya hanya mampu pasrah
terlentang diatas ranjang rumah sakit. Secara bergantian setiap anggota
keluargaku menjaganya di rumah sakit, tak terkecuali Emak yang berjaga setelah
pulang berjualan. Penyakit yang diderita olehnya sudah sangat parah. Usianya
kala itu terbilang muda. Tetapi, penyakit gagal ginjal menyerang siapa saja
tanpa mengenal usia, bahkan usia 40 tahunan sekalipun. Aku baru mengetahui
bahwa penyakit yang dideritanya itu akibat dari kebiasaannya minum kopi dan
jarang minum air putih. Cuci darah yang menghabiskan banyak biaya mungkin
membuatnya sungkan merepotkan banyak orang. Hingga pada akhirnya, ia bersikeras
memutuskan untuk dirawat di rumah saja. Keluarga pun menyetujui permintaannya.
Ia dibawa kembali pulang ke rumah, tidur di tempat biasa menjalani hari seperti
biasa meskipun hanya bisa terbaring lemah.
Aku
kemudian hidup seperti biasa. Usiaku yang masih belia tidak menjadikan penyakit
yang dideritanya menjadi beban pikiranku. Yang aku tahu kini ia telah kembali
ke rumah dan aku bisa melihatnya sepanjang hari. Aku bermain seperti anak –
anak biasanya tanpa peduli bagaimana perasaannya menahan sakit. Tanpa peduli
bagaimana perasaan Emak melihat kondisinya. Sikap manjaku pun tak berubah. Begitu
tidak pedulinya sikapku sempat aku terkejut atas perilakunya terhadapku suatu
ketika. Saat itu aku masuk ke kamarnya dan hendak mencari Emak untuk meminta
uang seratus rupiah. Aku berniat membeli jajan kesukaanku. Ternyata Emak tak
ada. Yang ada hanya dia yang sedang duduk bersandar pada bantal diatas kasur.
Sikap cengeng dan ketidaksabaranku membuatku berteriak memanggil Emak.
“Emaaaak, minta uang..!!!” seruku kemudian. “Plak.!!” Sejurus kemudian tamparan
keras mendarat dipipiku. Aku memegang sebelah pipiku dan melihat kearahnya
sambil menangis. Matanya mengisyaratkan kalau ia sedang marah. Aku hanya bisa
menangis sejadi – jadinya dengan rasa tak percaya sembari keluar dari kamarnya.
Itu adalah pertama kalinya aku menangis karena perbuatannya. Dan itu juga
terakhir kalinya ia menamparku sepanjang hidupnya. Karena esok pagi harinya ia
minta tinggal di rumah nenek yang tak jauh, hanya berjarak lima rumah dari
rumahku . Ada sedikit kesedihan dalam hati saat ia pindah ke rumah nenek.
Sempat terlintas dibenakku apa karena aku penyebabnya ia ingin di rumah nenek.
Entahlah saat itu aku hanya diam dalam sedih, namun tak mengurungkan niatku
untuk melanjutkan aktifitasku bermain – main kembali.
Siang
hari setelah lelah bermain, salah seorang bibiku menyuruhku segera pergi ke
rumah nenek. Tergesa – gesa disuruhnya aku cepat menuju rumah nenek. Aku pun terbawa
suasana dan berlari. Sesampainya di rumah nenek, aku hanya terpana memandang
semua keluarga berkumpul duduk sembari berangkulan. Aku masih tak mengerti
hingga akhirnya kini tepat berada disebelahnya dalam tangis. Ia adalah orang
yang sering kusebut Bapak sepanjang hidupku. Ia adalah suami dari Emakku. Bapak
kandungku yang selalu menjadi temanku, pelindungku, penghiburku, dan penghias
hati dan hari –hariku di masa kecil. Kebersamaanku dengan Bapak bisa dibilang
sangatlah singkat. Allah SWT hanya memberikan kesempatan kami melewati hari –
hari sampai di masa ini. Masa ketika baru pertengahan aku duduk di kelas 1 SD. Masa
ketika aku ingin mulai berbagi kehidupan sekolah baruku dengannya. Dan juga masa
ketika aku belum mengerti arti sebuah kehilangan.
Enam
belas tahun lalu tepatnya aku terakhir kali melihatnya. Ia dikuburkan
berdekatan dengan makam kakek. Di pemakaman umum itulah aku saksikan jasadnya
terkubur dalam diam. Setelah para peziarah yang datang berdo’a untuk
mengantarkan kepergiannya , satu per satu orang – orang pergi meninggalkannya
tak terkecuali aku. Aku berjalan sembari sesekali melihat kembali ke arah
makamnya. Bunga – bunga yang memenuhi makamnya masih terlihat segar diatas tanah yang basah. Disitulah tempat
peristirahatan terakhirnya. Dan disitu pulalah namanya terlukis dalam goresan
cat hitam dalam sebuah batu nisan. Nama yang selalu aku kenang. Nama yang tak pernah
lepas dari nama belakangku hingga kini.
Setelah
kejadian saat terakhir kali melihatnya, aku tidaklah mengalami rasa sedih yang
berkepanjangan. Di hari – hari berikutnya aku terbiasa hidup tanpanya. Tidak
ada lagi yang mengajakku pergi ke warung kopi. Tidak ada lagi yang
menggendongku pergi mengaji. Dan tidak ada lagi orang yang kusebut dengan
panggilan “Bapak”.
No comments:
Post a Comment