Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Monday, April 1, 2013

Sebuah Misi



“Lepaskan ! Lepaskan aku !” Ia berteriak memberontak. Tubuhnya terbaring diatas sebuah kasur putih dengan kedua tangan terikat pada dua sisi tiang kasur. Bola matanya berputar – putar, melotot keluar. Tubuhnya kurus tak tearawat. Bibirnya bergetar terus menerus berteriak minta dibebaskan. Tangisan dan teriakannya membuatku sedikit takut berada didekatnya.
“Lepaskan! Lepaskan aku !” kali ini suaranya mungkin sudah terdengar hingga keluar ruangan kamar. Api menyala – nyala dari matanya yang kini memerah. Ia menghantam – hantamkan kedua kakinya ke tiang kasur, berusaha mencoba meloloskan diri dari ikatan kuat yang melingkar pada pergelangan kedua tangannya.
“Lepaskaaaaaaan..!! huaaaaa…!”
“Tenang, Bu ! Tenang..!” aku berusaha berbicara lembut kepadanya.
“Sialan!”
Seketika aku langsung shock mendengarnya. Seorang ibu paruh baya yang tak terurus itu berseru  demikian kepadaku. Aku jelas tentu mengerti kalimat tersebut bukan ditujukan padaku. Maka dari itu, demi sebuah tugas dan misi aku tetap tegar menghadapinya. Toh, ini baru hari pertama.
“Ibu, minum obat dulu ya?” aku tersenyum lembut kepadanya. Senyumanku malah dibalas tawa keras darinya.
“Hahahaha…! Kau menyuruhku minum obat?”
Aku mengangguk.
“Kau berusaha membunuhku dengan obat, keparat..?!”
“Tidak mungkin Bu” aku menggeleng ketakutan. Kulirik Suster Rina yang berada disampingku berusaha meminta bantuannya tuk membujuk si ibu.
“Ibu, ayo minum obat dulu. Nanti dimarahi Tuhan lho..!” suster Rina tersenyum sambil siap menyendokkan obat ke mulut si ibu.
“Benar, Tuhan marah?”
“Makanya minum obat ya? Nanti Tuhan bakal nyuruh Suster Rina buat lepasin ikatan ini.” Suster Rina mengangkat kepala si ibu dan memasukkan sesendok obat kedalam mulut si ibu.
Sejenak si ibu terdiam tak memberontak lagi. Api yang tampak jelas dimatanya tadi seketika redup disirami bujukan suster Rina.
“Ayo kita biarkan dia istirahat.” Pinta suster Rina padaku. Kemudian aku dan suster Rina berbalik pergi dan menutup pintu kamar si ibu. Kulihat si ibu menutup matanya pelan – pelan sampai akhirnya terpejam.
“Kamu harus bersabar ya. Ibu Jelita sudah disini lebih dari dua tahun lalu. Dan, kadang – kadang ingatan tentang masa lalunya yang menyakitkan bangkit kembali. Makanya, tingkahnya seperti tadi itu.” Suster Rina berusaha menyemangatiku.
“Iya Sus, ini memang tugaksu. Kalau bukan demi menyelesaikan tesis dari kampus, saya sudah pergi ganti topik.”
Aku dan suster Rina berbincang – bincang mengenai ibu Jelita sambil berjalan menuju ruang kerjanya. Sesampainya di ruang kerja suster Rina, yang merupakan kepala suster Rumah Sakit, ia memperlihatkan padaku data – data Ibu Jelita.
“Fotocopy data – data Ibu Jelita, dan pelajarilah! Semoga itu membantu pembuatan tesis materi kuliahmu.”
“Terima kasih Suster Kepala.” Kataku sembari tersenyum pada suster Rina.
“Iya sama – sama.”
 Aku berjalan pergi meninggalkan rumah sakit. Di depan pintu keluar, aku mengambil handphone dari dalam tas. Ketika hendak menelpon taxi, kupandangi sejenak wallpaper layar handphone milikku. Senyum simpul wajah Ibu menatapku dengan hangat. Aku membalas tatapannya penuh rindu. “Tenanglah Ibu, misiku kan segera kutuntaskan!” seruan semangat menggema kedalam pikiran. Kobarannya menyala – nyala bagai serigala yang siap menerkam mangsa.
**
Esok paginya aku kembali ke rumah sakit.
“Selamat pagi.!” Customer Service di lobi depan menyapaku dengan senyuman.
“Pagi.! Suster Rina sudah datang?” tanyaku sembari membalas senyumnya.
“Oh, sudah. Silahkan langsung saja ke ruangannya ya, Mbak.”
“Terima kasih.”
Aku berjalan menuju ke ruangan suster Rina. Di perjalanan aku berpapasan dengan beberapa pasien. Mereka bertingkah laku bermacam – macam. Tergambar jelas diwajah mereka, raut muka keputusasaan dan kesengsaraan yang terbungkus oleh berbagai aksi pertunjukan.
“Hei, mau kemana kamu?” seorang perempuan yang kira – kira seumuran denganku menghalangi jalanku.
“Hei. Saya mau cari suster Rina.” Jawabku berusaha tersenyum.
“Tidak ada.! Suster Rina sudah mati.! Kubunuh dia tadi. Hahaha..!!” ia tertawa puas.
“Permisi..!” Aku kemudian kabur mengambil langkah seribu lari dari hadapannya.
Sesampainya di ruang kantor Suster Rina, aku langsung mengetuk pintu yang terbuka.
“Pagi Suster.!”
“Pagi Jihan! Mari masuk!”
“Ini saya kembalikan data – data ibu Jelita.”
“Iya, terima kasih.”
“Jadi, sudah siapkah kamu?”
“Tentu saja Sus.”
Tiba di depan pintu kamar ibu Jelita, kami berdua masuk dan menemui ibu Jelita sedang duduk dengan tatapan kosong diatas sofa.
“Ibu Jelita, apa kabar?” Suster Rina langsung menghampirinya.
“Haha, suster..! Suster Rina cantik! Hihi..!” Jelita merangkul lengan suster Rina seraya mengoyang – goyangkannya.
“Ibu, ada yang mau kenalan tuh.”
“Siapa?”
“Ini Jihan. Cantik bukan dia?” Suster Rina memperkenalkanku pada ibu Jelita.
“Halo ibu.!” Sapaku sembari tersenyum.
“Suster, aku takuuut..” ibu Jelita merangkul erat lengan suster Rina.
“Tenang ibu, Jihan gadis baik kok.” Aku merunduk dan menatap lembut matanya.
“Jiaan, anak baik?” ibu Jelita menatap suster Rina, dan suster Rina membalas pertanyaannya dengan anggukan pelan.
“Jiaan, anak baik.” perlahan kedua tangan ibu Jelita menyentuh kedua pipiku.
“Puk, puk..!” pipiku ditepuk – tepuk perlahan olehnya. Aku tersenyum dan berkata, “Jadi, kita berteman kan Bu.?”
**
 Aku mengajak ibu Jelita berjalan – jalan di pekarangan rumah sakit. Ibu Jelita duduk diatas kursi roda. Sembari santai berjalan, sesekali aku mengobrol dengannya.
“Lihatlah Bu, dunia itu begitu indah. Menghirup udara dibawah pepohonan rindang, menikmati panorama alam yang begitu memukau. Kupu – kupu dan bunga bercanda dalam kemesraan. Kita pun kini sedang bersantai menikmatinya.”
“Hihi..! Hahaha..!” ibu Jelita sudah pasti tak menyimak kalimat panjangku. Ia tertawa – tawa sendiri sembari menengadah ke langit luas, kemudian tiba – tiba menunduk sedih. Seketika ia memilin – milin rambut pendeknya yang kusut lalu kemudian bernyanyi – nyanyi.
“Bukan aku orang itu! Aku benci kamu!”
Aku membiarkannya saja. Seharian menghabiskan waktu bersama ibu Jelita membuatku teringat kembali akan ibuku sendiri. Ada kesedihan mendalam menelusup dalam diri Ibu Jelita. Sakitnya terpancar dari mimik wajahnya yang tampak depresi. Jiwanya terganggu. Pikirannya tak menetu. Bayang – bayang masa lalu masih hinggap sisakan luka. Tetesan air mata seketika menetes dari pipiku. Bayang – bayang wajah ibu sekilas hinggap dibenakku. Rindu memang selalu terasa. Tapi, kesedihan mendalam lebih ikut tertanam dilubuk hati. Kupandangi rambut ibu Jelita yang mulai beruban. Percikan api tiba – tiba menyulut dari dalam diri. Inginku segera menuntaskan misiku saat ini juga, akan tetapi akal pikiran sehatku menyiramnya dengan beribu pertimbangan. 
“Ibu, tunggu saja. Misiku sebentar lagi terlaksana.” Kataku dalam hati. Aku pun menghapus air mataku sambil terus berjalan. Bersama ibu Jelita melewati setiap tikungan jalan berpetak.
**
Berhari – hari aku mengunjungi ibu Jelita hingga akhirnya ia mulai terbiasa dengan kedatanganku. Kami tak canggung tuk berbincang – bincang sembari berjalan – jalan, atau mengobrol bersamanya di dalam kamar.

Tiba di suatu hari yang tak terduga.
“Hiks..! Hiks,,,!” tangis ibu Jelita tiba – tiba. Aku baru saja keluar sebentar untuk menemui Suster Rina. Tapi, begitu kembali ke kamar Ibu Jelita, aku kaget melihat ia duduk bersandar disisi tiang kasur sembari menangis.
“Ibu? Ada apa?” aku langsung panik datang menghampirinya.
“Siiii.. siapa kamu?” ibu Jelita melihat takut kearahku.
“Aku Jihan, bu.” Aku mengguncangkan tubuh lemahnya sembari menatap matanya. Wajah ibu Jelita langsung pucat pasi. Bibirnya gemetar menahan tangis. Ia kemudian merangkul kedua kakinya sembari terus menatap curiga kearahku.
“Jangan! Pergi jauh sana! Hiks ! hiks!” ia sedikit berteriak kepadaku. Aku yang tadinya setengah berjongkok dihadapannya langsung berdiri. Kemudian hendak mengambil tas selempang milikku yang kultinggalkan tadi diatas sofa. Niatku untuk pergi keluar dari kamar meninggalkannya terhenti kala kutemui tasku dalam keadaan terbuka. Dompetku berserakan disamping tas. Aku lantas mengambil dompetku yang juga dalam keadaan terbuka. Mataku otomatis tertuju pada foto yang kusimpan didalam dompet. “Ibu” . Wajah itu yang selalu menghiasi hati dan pikiranku. Ibu menjadi penyemangat hidupku sekaligus pembuka kembali rasa sakit hatiku. Kupandangi sejenak foto ibu sampai tak terasa air mata mengalir dari sudut – sudut mata.
“Wanita itu.!”
“Ya. Apakah kau ingat ibu Jelita?” aku lantas menoleh kearah ibu Jelita yang masih terduduk pasrah di lantai.
“Kkkkk…Kau dan waaaa.. nitaaaa itu?” ibu Jelita menatapku lekat – lekat. Tatapan matanya tak percaya hingga membuat bola matanya mencuat. Aku tersenyum seraya berjalan lalu berjongkok dihadapannya. Kudekatkan mukaku kearah mukanya dan kukeluarkan foto ibuku dari dalam dompet.
“Lihat, apakah ada yang kau ingat dari wajah wanita ini?” aku menunjukkan foto ibuku lebih jelas padanya.
“Tidak! Tidak!” ia menggeleng – geleng tak percaya.
“Ibu Jelita, wanita ini adalah ibuku. Wanita yang kau siksa sepanjang hari hingga dia mati di tanganmu.” aku berbisik kepadanya. Api yang sempat meredup didalam dada seketika langsung tersulut membentuk beribu percikan yang menyala – nyala.
“Hiks..! hiks!” ibu Jelita menangis tersedu seraya menutup kedua telinganya.
Tangisan sendu ibu Jelita rupanya tak meredupkan percikan – percikan api yang menyala. Kilauan percikannya berubah menjadi satu kesatuan amarah yang telah tersimpan dalam lubuk hati. Kobaran api amarah dan kebencian seolah menyatu dan tak dapat redup bahkan oleh tetesan air dari malaikat baik yang sempat bernaung dalam diri. Benci dan amarah yang tak tertahan membuatku tak banyak berfikir lagi. Aku mencekik leher ibu Jelita dengan kedua tanganku.
“Jaaangaan!” teriakan ibu Jelita nyaris tak terdengar.
“Matilah kau!” aku berseru kecil seraya terus menyumbat aliran pernafasannya tanpa perlawanan.
“Aaa..Maaa..af..!” hanya kata maaf itu yang tertangkap dari gerak bibirnya sebelum akhirnya ia benar – benar menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku kemudian melepaskan peganganku dan duduk menjauh darinya. Kulihat ia tersungkur lemah di lantai. Aku tersenyum puas. Air mata langsung mengalir deras dari kedua pipiku. Kudekap foto ibuku erat – erat sembari terus menangis. Antara rindu, derita, dan bahagia bercampur hinggap di dada.
“Ibu, misiku telah tuntas. Mantan majikan kejam ibu akhirnya mati juga!” teriakku dalam hati.
Tangisku semakin menjadi.



30 January 2013, pk 21.52
Denpasar
BOM CERPEN

Musuh Lama



Aku baru saja selesai melakukan rutinitas perburuanku, mengoyak – ngoyak sampah demi temukan sisa makanan yang dapat kumakan. Perut kenyang membuatku bersemangat kembali. Akan tetapi, ketika aku hendak melangkah pergi meninggalkan timbunan sampah, nasib sial malah telah menanti. Musuh lamaku muncul tanpa diduga. Matanya yang menyala – nyala bagai tersulut api kemarahan menantiku di ujung gang. Dadaku seketika sesak. Api dari matanya membuat ketakutan seketika menyusup melewati paru – paruku. Kaki – kakiku bergetar, menahan beribu kecemasan yang melanda. Kini lengkaplah sudah, aku terpenjara dalam rasa cemas dan takut tuk menghadapinya.

“Hei, kita bertemu lagi!” pandangan matanya seolah berkata demikian. Kulihat ia berdiri dengan angkuhnya. Ia menyeringai sembari menatapku lekat – lekat. Api kemarahan masih tampak jelas dimatanya. Sedangkan aku masih diselimuti gelora ketakutan. Tapi, dengan sedikit keberanian, kucoba melawan ketakutan itu. Seribu tenaga kukerahkan tuk pergi menghindarinya. Aku lari terbirit – birit.

“Hei jangan lari!” suaranya yang khas makin mempercepat irama berlariku. Aku berlari sekencang – kencangnya tanpa menoleh lagi. Kutahu ia sudah pasti mengejarku kini. Aku terus berlari tanpa peduli jalanan licin akibat lumpur yang menggenang di sepanjang gang. Cipratan – cipratan air bercampur lumpur yang pada akhirnya mengotori wajah dan tubuhku pun tak kupedulikan. Yang kuinginkan saat ini adalah segera terbebas dari buruannya. Aku tak tahu harus meminta tolong pada siapa. Meski berteriak sekalipun belum tentu akan ada yang mendengarkanku. Meski salah satu anggota kawananku melihat kejadian ini, belum tentu mereka akan menolongku. Bisa jadi niat mereka urung ketika melihat musuh lama, yakni musuh lama kawanan kami yang mengejarku. Alhasil mereka pasti hanya menatap ngeri melihat aksi kejar - kejaran ini.

“Hff… hff.. Hfff..!” nafasku mulai tersenggal – senggal. Tapi aku belum mau menyerah. Masih ada kesempatanku untuk berlari dan terus berlari meski musuh lamaku itu tampak tak mau menyerah juga mengejarku.

“Mau kemana kamu hah?” suara lantangnya semakin dekat saja. Aku berlari semakin kencang dan lincah. Kuterobos setiap pemukiman disepanjang gang, sampai akhirnya otakku harus terpaksa berpikir mencari ide, kala kulihat ujung gang yang kulewati ternyata buntu. “Aduuuh..!” kepalaku mendadak sakit. Tapi untung saja nasib masih berpihak padaku. Begitu dekat dengan tembok buntu batako yang kokoh berdiri, kulihat ada lubang kecil disisi ujungnya. Aku rasa tubuhku muat masuk menerobos kesana. Sementara ia dengan besar tubuh kira – kira empat kali lipat dari ukuran tubuhku tak mungkin muat memasuki lubang itu. Dengan api kenekatan yang membara, aku memejamkan mata sembari berlari masuk ke lubang kecil tersebut.

“Dug..!” Suara tembok beradu kepala terdengar begitu keras. Aku membuka mata dan meraba keningku. Ternyata tidak terjadi apa – apa. Aku masih baik – baik saja. Tubuhku masih utuh. Sementara ini aku aman berada disini. Terowongan gelap beraroma pesing bercampur aroma sampah menyelamatkanku dari kejaran musuh bebuyutanku. Dari dalam terowongan aku bisa bernafas lega. Kudengar ia mengaduh kesakitan sembari berkoar – koar, “Rrrrr!!” Tampak diluar hentakan – hentakan tangannya berusaha memasuki terowongan kecil tempatku kini bersembunyi. Kukira dia kini benar – benar mengamuk seolah pertanda ingin berkata kepadaku, “Hey! Lihat saja akan kutangkap kau!”

 “Kresek..! Kresek..!” Spontan aku berbalik arah menoleh berusaha melihat dalam kegelapan. Perlahan aku melangkah maju sembari mencium aroma si musuh lamaku yang kutahu masih diluar sana.
“Kresek! Kresek!’ suara – suara gerakan musuhku makin tercium. Aku beranikan diri melangkah lebih maju, berdiri tepat dibibir terowongan dan menempel pada dindingnya. Niatku ingin menjulurkan sedikit kepala ini terhenti oleh perasaan cemas yang menggelora. Kuurungkan niat kemudian berbalik mundur.

Aku masih dihantui perasaan takut. Kesempatan bersembunyi didalam terowongan aku manfaatkan untuk beristirahat sejenak meregangkan tubuh.

“Kreoook!” perutku lapar kembali. Aku mengais – ngais tanah yang kupijaki mencoba mencari sisa – sisa makanan yang mungkin tersangkut di terowongan ini. Namun, semua tampak sia saja, karena baru kusadari aku bukan sedang berdiri diatas tanah, melainkan diatas suatu benda keras yang tak bisa kukais – kais dengan jemariku.

“Braaak! “ tiba – tiba aku merasa terowongan kecil ini seperti terguncang. Aku bersiaga, otakku mulai mencari ide, bagaimana aku bisa keluar dari terowongan ini.
“Haruskah aku keluar dari pintu yang sama? Wah, sudah pasti ia masih menungguku diluar sana.”
“Haruskah aku maju melangkah ke depan? siapa tau ada jalan keluar bila aku terus berjalan? Sepertinya ini langkah yang tepat.” Aku berpikir sejenak sampai – sampai tak menyadari ada kilatan berwarna kuning terihat dari lubang terowongan.

Cahaya kuning menyala berbentuk runcing tampak menyeramkan tuk dipandang. Aku sudah menduga cahaya kuning tersebut berasal dari monster hitam legam bermata kuning, alias musuh lamaku yang sedari tadi berusaha memburuku. Sebuah bola mata kuning runcing menyala itu menatapku penuh api kebencian. Api yang selalu tersulut setiap kali kami tak sengaja berpapasan. Sudah berulang kali kawanan monster besar itu menjadi musuh kawanan kami. Entah bermula dari kawanan mana, dan penyebabnya apa, kawanan monster besar pemburu dan kawanan kerdil seperti aku ini selalu tak pernah akur bila bertemu. Bukan apa – apa , kawanan kami yang kerdil bukannya takut menghadapi kawanan monster besar itu, namun badan kerdil kami tidak ada apa – apanya bila dibandingkan dengan tubuh raksasa yang dimiliki kawanan monster.
“Rrrr!” Geramannya seolah ingin berkata, “hey, kerdil! Tak mungkin kau lepas dariku! Sudah, menyerah sajalah!”

Aku diam tak menghiraukan tatapan kebencian dan amarahnya yang tersulut api. Aku harus berusaha memutar otak tuk segera keluar dari terowongan, berusaha tak terpancing oleh api kegilaannya memburuku.
“Rrrrr!” Mana kepiawaianmu? Bisanya pergi kabur dari kejaranku? Kenapa kita tak bertarung saja?” Mata kuningnya melotot kearahku, api makin memanas di arena perburuan.
Namun, sekali lagi aku tak terpancing. Aku meraba dinding terowongan berharap temukan celah tuk keluar. Aku menyeret kaki – kakiku yang sudah semakin melemas. Saluran nafasku seakan tercekat. Namun tidak dengan penciumanku. Aku terus berjalan mengikuti insting indra penciumanku yang lumayan tajam.
“Braaak! Duk..!” sebuah benda masuk mengguncang terowongan. Kulihat tangan monster legam itu sedikit bisa memasuki terowongan. Dengan sigap aku lompat menerjang dan menggigit tangannya. “Rrrgg..!” Ia mengaduh kesakitan. Aku terus mengigit tangannya supaya ia menyerah. Akan tetapi aku tak mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya. Ternyata tangannya bergoyang – goyang sengaja ia hentakkan keatas, kebawah, kekanan, dan kekiri hingga menyentuh dinding – dinding terowongan. Hal itu membuat tubuhku terang saja terguncang dan bertabrakan dengan dinding terowongan yang keras. “Tidak! Tidaaak!’ aku mengaduh kesakitan. Terpaksa aku melepaskan gigitanku hingga akhirnya tubuhku jatuh terhempas kebawah terbebas dari hantaman tangannya.

“Hfff..! Hff…!” berulang kali aku mengatur nafas. Aku meraba tubuhku. Ada sedikit lecet menghiasi permukaan kulitku. Beberapa bulu rambutku ada yang terlepas, dan beberapa bulu rambut si monster malah tertinggal dikulitku.
“Tap!” Baru saja aku menghela nafas, tangannya sudah menggenggam tubuhku. Cepat – cepat aku memulihkan tenaga berusaha menggigit tangannya keras – keras. Ia akhirnya melepaskanku walau masih sempat mencakar punggungku. Aku pun sontak berlari menjauh.
Darah. Kuraba tubuhku dan kucium aroma darah keluar dari kulit tubuhku. Aku meringis kesakitan. Sempat terlintas ide untuk menyerahkan diri saja kepada si monster, tetapi hati dan tekadku tuk menghindar dari si monster mengalahkan keputusasaan. Aku tetap berjuang sendiri meski harus mati di terowongan ini. Ya, setidaknya jarak pintu masuk terowongan dan tempat kini kutergeletak tak mungkin terjangkau lagi oleh tangan besar si monster. Aku tengkurap, badanku lemas, mulutku komat – kamit berdo’a, dan seketika mataku terpejam.

Lima menit kemudian
Aku membuka mata. Kulihat suasana masih tampak sama. Dugaanku berada di alam lain tidak terbukti. Bersyukur ternyata aku masih diberi kesempatan hidup. Tubuhku masih tergeletak di dalam terowongan, masih dalam gelap disinari sebuah lingkaran kecil cahaya yang menyusup dari pintu masuk terowongan.

Aku menegakkan kepalaku. Kulihat suasana tampak damai diluar sana. Tak ada  lagi guncangan – guncangan, tak ada lagi tangan si monster yang menyusup kedalam terowongan. Yang ada, hanya aku dalam terowongan damai. Tampaknya api amarah dan kebencian musuh lamaku itu ciut karena tak berhasil menangkapku. Ada perasaan bangga akan diriku yang mampu bertahan hingga detik ini. Maka, untuk memastikan keadaan diluar dalam keadaan baik dan aman, aku beranikan diri untuk mendekat dan mengintip.

“Hah,! Mau kemana kau?” Baru saja aku mengeluarkan tubuhku sedikit, si monster yang ternyata masih menunggu diluar langsung muncul mendekat. “Ciiit!” aku mencicit ketakutan langsung kabur kembali menjauh dari pintu terowongan. Si monster hendak measukkan tangannya kembali, namun langsung urung begitu suara majikannya datang.
“Bolang, kamu ngapain disini?”
“Meoooong…!”
“Ayo kita pulang sayang. Jangan merusak pipa saluran rumah orang ya?.”
“Meoong..!”
“Bolang bandel.!”
“Meooong..!”

Suara pemilik monster legam tersebut akhirnya menjadi penyelamatku. Si monser legam bermata kuning dan berkumis tipis itu akhirnya terpaksa pergi dan tak berusaha memburuku lagi. Si majikan menggendong monster legam dipundaknya. Monster dan majikannya berjalan pergi meninggalkan terowongan saluran pipa, tempat dimana aku bersembunyi. Pada saat itulah, aku berjalan maju mendekati pintu terowongan. Dengan santai aku keluar darisana. Kulihat monster legam menatapku masih dengan api amarah dan kebencian. Kumisnya naik turun seolah menandakan isyarat mengejekku, “Sampai ketemu lagi Tikus kerdil!”

22 January 2013, pk 00.10
Denpasar
 

Thursday, January 31, 2013

Hujan Terminal Kota



Rintik hujan menyapu ibu kota. Lalu lalang bus – bus tak sabar mengantri. Berdesak – desakan melaju perlahan diiringi seruan klakson berderu – deru. Beberapa bus tampak terlihat baru tiba di pintu masuk. Sementara beberapa bus lainnya bergantian ngerem lalu melaju melesat bebas melewati pintu keluar. Kepulan asap abu – abu menghitam diantara rintikan hujan. Asapnya menelusup masuk melewati hidung kemudian hinggap ke paru – paru. Seketika aku terbatuk – batuk. Segera kututup hidung dan menahan nafas dalam – dalam, sampai tak kurasakan lagi asap itu menerobos ke masuk hidungku. “Srfff..!” pelan – pelan aku mengambil nafas lega sembari menyeruput kopi panas dihadapanku. Aku duduk di kedai kopi menatap siang berselimutkan hujan. Bersantai sejenak dari pekerjaan yang menguras tenaga. Seperti biasa, di kedai kopi ini aku selalu menghabiskan waktu istirahat.

“Hey, melamun sampean!” Bambang menepuk pundakku kemudian ikut duduk disebelahku. Aku tersenyum melihatnya.
“Mbok, Kopi biasa yo!.” tanpa ditawari Bambang memesan kopi.
“Siap..!” dengan centilnya si Ibu – ibu pemilik kedai kopi berkedip.
“Dapat berapa sampean?” tanyaku basa basi.
“Ya, lumayanlah. Bisa buat pulang kampung nanti.”
“Alhamdulillah ya.” Timpalku tanpa gairah.
“Jan, koe belakangan ini murung terus? Masih kepikiran si Laksmi?” Bambang menatapku dalam – dalam. Mukanya serius memperhatikanku.
“Sedikit Bang.” Kataku lirih. Hatiku terluka. Ada sesak menelusup ke dada.
“Kira – kira sebulan lalu ya?” Tanya Bambang. Aku mengangguk pelan.
“Jani, Jani, kasihan sekali kawanku ini.” Ia menepuk – nepuk pundakku berusaha menghilangkan beban kesedihanku. Aku menengadah menatap awan yang semakin kelam berusaha menahan air mata agar tak tumpah.
“Ini kopimu Bang. Kalau lihat Jani terus sedih begini, bisa – bisa kedaiku jadi sepi.” Mbok Made datang membawa kopi pesanan Bambang lalu ikut nimbrung bersama kami.

Siang itu kami bercerita lagi. Cerita mengenai apa saja. Aku dan kawanku, Bambang biasa nongkrong disini. Jika lelah menjajakan jualanan masing – masing, kami duduk bersantai di warung milik Mbok Made. Aku dan Bambang berkenalan di tempat ini. Tempat dimana kami mencoba mengais rejeki., menawarkan aneka minuman atau makanan ringan. Ketika bus – bus tiba memasuki terminal, kami bersiap mencegat para penumpang yang turun, menawarkan dagangan kami. Sebaliknya jika bus – bus hendak berangkat, kami memasuki satu persatu bus, berjalan melewati setiap kursi penumpang sambil berkoar – koar mempromosikan dagangan kami. “Minum, Bu?”, Roti, Pak?”

Wednesday, December 26, 2012

Rindu dibawah Tebing Ayana


Raka sengaja datang terlambat. Begitu tiba, ia melihat sebuah mobil hitam mini mengkilat terparkir dibawah teduhnya sebatang pohon. Ia jelas tentu mengetahui siapa pemiliknya. Dayu Lastri telah tiba lebih dulu disana.

Raka memarkir sepeda motor nyentrik miliknya disebelah mobil Dayu Lastri. Ia kemudian melepas helm dan sesaat duduk terdiam diatas motor sembari menatap pesona alam dihadapannya. Tebing – tebing terjal nan tinggi masih tampak memiliki pesona yang memikat bila bersanding bersama hamparan luas lautan biru dan gumpalan awan putih langit bumi. Pesona daya tarik nan eksotik karya ciptaan Tuhan tersebut memang tak pernah hilang dari benak Raka. Tak ada sedikitpun pesona yang berubah, hanya saja kali itu Raka menemukan pemandangan lain tidak seperti biasanya. Ia melihat pada gundukan tempat kini ia berdiri tak lagi dipenuhi rerumputan hijau. Tanah yang ia pijaki kini tampak kecoklatan, beberapa kursi dan bangku terbuat dari batang – batang pohon hampir mengisi sebagian hamparan tanah coklat tersebut. Dua buah bangku panjang diletakkan saling berhadapan. Ditengahnya disisipi sebuah meja berukuran sama panjang. Sementara beberapa lainnya diletakkan disamping kanan kiri dekat bibir tebing dan sengaja dihadapkan mengarah ke eksotika pemandangan laut lepas.

Tak banyak pepohonan tumbuh menjulang disana. Dari bawah pohon tempat ia berdiri kini, ia bisa melihat pohon berbatang kurus di bibir tebing berteduh sebuah kursi kayu dibawahnya. Dibalik kursi itu, ia dapat mengenali siapa yang bersandar disana. Dayu Lastri telah duduk menanti kedangannya.

Raka memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Ia berjalan gontai meninggalkan motornya. Pandangannya lurus kedepan. Begitu tiba disamping Dayu Lastri terduduk, ia hanya berdiri mematung. Lastri yang menyadari kedatangannya lantas menoleh dan menyapanya, “Raka.” Suara lembut Lastri terdengar menyejukkan telinganya. Namun Raka tak lantas menyambutnya. Ia enggan berbicara. Matanya tetap menerawang memandangi hamparan lautan berangkulan bersama awan. Tatapannya kosong.

Sunday, December 9, 2012

Mengejar Pagi



Langit masih berselimutkan awan gelap. Azan subuh membangunkan  tidurku yang lelap. Walau rasa kantuk masih tetap hinggap, selepas sholat aku pun bersiap – siap. Pakaian dan atribut sudah lengkap. Balutan T-shirt dan celana panjang telah melekat. Si merah juga sudah siap. Ia bertenger di teras depan berkilauan penuh semangat. Aku pun tak mau ketinggalan. Seribu semangat bergelora kian mantap. Bersama si merah aku pun berangkat. Meluncur menyongsong pagi yang memikat.
Aku menggayung pedal dengan santai. Lembayung nyanyian penyemangat menyeringai. Berbait – bait lirik lagu mengalun dari koleksi mp3 yang kusimpan. Menemani pagiku dalam kedamaian. Menghilangkan sejenak aroma kepenatan.
“Widih.., pagi – pagi tumben udah keluar?” kata ibu terheran – heran. “Assalamualaikum!” Aku jawab pertanyaannya dengan salam, sambil lalu melenggang pergi bersama si merah. Para tetangga yang mulai beraktifitas juga sempat heran menatapku pergi di pagi buta. Tapi, kemudian mereka tersenyum setelah kusapa.
Aku dan si merah meliuk – liuk. Melewati jalan yang belum terlalu sibuk. Menyapa kokokan ayam. Membangkitkan gairahku yang sempat tenggelam.
Tiba di persimpangan Gajah Mada, jalan kami terhenti sejenak. Kesibukan warga mulai tercium menyeruak. Ratusan pedagang dan pembeli asyik bercengkrama. Keramaian Pasar Badung begitu terasa. Suara peluit tukang parkir nyaring terdengar. Para tukang parkir sibuk mengatur kendaraan yang datang dan pergi. Silih berganti kendaraan masuk dan keluar dari pintu pasar. Asap kendaraan pun tak terelakan mengganggu kesunyian suasana pagi yang menghilang. Seperti biasa, suasana pasar makin ricuh bila banyak orang tak sabar keluar dari kemacetan. Alhasil, suara klakson semakin menghilangkan suasana pagi yang tenang.
Aroma pasar begitu menyengat. Aneka bau bercampur aduk menjadi satu. Sayur mayur dan aneka buah – buahan tampak menyegarkan. Namun, aroma sedapnya nyaris tenggelam ditutupi aneka bau amis daging hewani dan keringat manusiawi. Untung saja kemacetan tak menjebak kami begitu lama. Terbebas dari kericuhan pasar dan problema aneka aromanya, kami melaju lagi hingga menyapa patung Catur Muka. Sesuai dengan arti namanya, wajah patung ini terdiri dari empat muka yang sama. Letaknya tepat di bundaran antara jalan Veteran dan jalan Gajah Mada. Dekat dari tempat si Catur Muka singgah, lukisan hamparan rerumputan dan pepohonan menyambut sumrigah. Taman Puputan Badung, demikian ia diberi nama. Ia seolah merayu kami tuk singgah disana. Kami lihat hiruk pikuk taman Puputan Badung juga mulai bersua. Namun, kami tak lantas tergoda. Kami pun sekedar melintas melewatinya. Kami pergi mengejar sebuah tujuan sebelum semua sirna.
Kugenjot pedal lebih cepat. Berusaha menggapai suatu misi agar tak telat. Tak peduli walau bercucuran keringat. Demi sebuah tujuan yang memikat. Sesekali kuteguk air dari botol minuman yang kubawa. Lumayanlah, seteguk dua teguk air mampu mengembalikan semangat yang tiba – tiba mereda.
Lintas jalan lurus tak berliku mengantarkan kami. Sepanjang jalan Hayam Wuruk seolah menyemangati. Liku jalanan tampak bersahabat. Sesekali kami bebas meluncur pada jalanan menurun. Namun tak jarang kami temukan area jalanan naik dengan kemiringin tajam. Aku menikmati jalan ini sembari bersiul ikuti alunan lagu yang masih berdendang. Hingga tanpa kusadari, rombongan pecinta sepeda mengikuti. Mereka melenggang mulus dan akhirnya kami terlewati. Kaki – kaki jenjang nan kuat mereka mengalahkan kekuatan kaki kurusku. Namun aku tak perlu kecewa. Langit masih belum terlihat sempurna. Ku kayuh lagi pedal dengan semangat empat lima. Kami melewati kanan kiri toko – toko dan restaurant yang masih tutup. Kebisuan ragam bangunan itu seolah menatapku datar. Aku acuhkan tatapan kebisuannya, kala nyanyian kriuk – kriuk perutku secara tiba – tiba bersorak “lapar”.
Belokan jalan Hyang Tuah hampir dekat. Begitu juga atap bumi hampir saja terlihat. Semangat genjotan pedal lagi – lagi kupercepat. Kala tiba di lintasan Hyang Tuah, senyuman pun mencuat. Aku kayuh alunan pedal perlahan. Bersantai sejenak menikmati pemandangan. Tampak di kanan – kiri aroma kebun bunga – bunga menyapu indra penciuman. Pesona aneka tanaman sangat sayang untuk ditinggalkan.
Tak sampai lima menit berlalu, traffic light bersiap menyambut kami. Ujung lintasan Hyang Tuah berganti melepaskan kami. Membawa kami menerobos By Pass Ngurah Rai. Lurus melintas arena parkiran dekat pantai.

Sunday, October 28, 2012

Kota Impian



Senyum sumrigah terpancar dari bibir ini kala melihat reka ulang video sebulan lalu.. Ada kerinduan dalam diri ingin mengulang peristiwa itu. Rindu berjalan sembari memotret setiap sudut walau tubuh peluh bermandikan keringat. Ada goresan peristiwa disana.  Perjalanan yang dulu hanya tersirat dalam impianku. Dan sebulan lalu, impian itu akhirnya ku gapai. Impian yang akhirnya terwujud dan awal mula aku memulai sebuah perjalanan baru ke negeri tetangga bersama kedua sahabatku.

Singapore. Bagi sebagian penduduk Indonesia Singapore sudah menjadi tradisi tempat kunjungan wisata yang patut dikunjungi. Dahulu, aku hanya bisa melihat negara itu dari suatu acara reality show di TV. Dulu, aku hanya melihat liputan artis - artis berlibur di Singapore. Dan dengan segenap syukur kepada - Nya, alhamdulillah aku sudah pernah singgah di negeri itu.

16 feb 2012 lalu tak akan terjadi tanpa sebuah tindakan nekad kami bertiga. Tak banyak yang tahu, demi mendapatkan tiket pesawat yang murah, kami memesannya setahun sebelum keberangkatan. Entah tepatnya di bulan apa, yang aku tahu di tahun 2011 silam impian itu bermula.

Anita, sahabatku yang paling rajin nyasar mengubek - ubek dunia maya tanpa sengaja melirik sebuah iklan tiket pesawat murah. Masuklah ia ke website air asia yang selalu rutin mengeluarkan tiket promo. Diliriknya harga tiket promo Denpasar - Singapore seharga Rp 99.000,- nalurinya tak percaya, namun tanpa berpikir lagi ia pun menginformasikan itu kepadaku dan Aan melalui sms.

Spontan terlonjak kaget kegirangan mencuat dari dalam diriku. Aku segera mengunjungi website air asia untuk memastikan. Kegirangan makin teraut dalam wajahku. Tak kuasa menahannya, aku lanjutkan untuk mencoba memesan tiket. Prosedur pengisian sudah kuisi, namun langkahku terhenti pada proses terakhir. Gubrak, hanya bisa melakukan pembayaran via credit card..!! Oala.. Tabungan hanya ratusan perak, boro - boro credit card?? " keluhku sendiri. Sembari sejenak berfikir mencari solusi, tak butuh berapa lama aku terfikir kepada kakakku, Brother Syam. Ya, dia bisa membantuku.

Esoknya, akhirnya aku mendapat ijin restu dari brother untuk memakai credit card-nya dan uang pengganti akan aku transfer dari rekening kami bertiga nantinya.
"www.airasia.com" langsung ku ketik pada alamat browser begitu laptop terhubung modem. Serangkaian prosedur pemesanan seperti kemarin telah ku lengkapi dan sesampainya pada prosedur pembayaran aku kirimkan pesan kepada kedua sahabatku. "Bismillah, sekarang aku pesan tiketnya". Semenit kemudian balasan sms dari keduany tiba.
Anita : "bismillah berangkat !"
Aan : "bismillah singapore !"
Sentuhan terakhir Aku klik "OK" dan berhasil. Jantungku berdegup kencang seketika. Hatiku bercampur aduk antara senang, cemas, tak menyangka dan tak yakin. Namun, diantara rasa tersebut yang paling meluap adalah rasa senangku. Tak ingin kupendam kesenangan ini sendiri, maka ku bagi dengan kedua sahabatku yang telah menanti dalam peraduan mereka di rumah masing - masing. Ku kirimkan berita itu melalui sms.
"Tiket Denpasar - singapore 16 feb 2012 pukul 06.30 am. singapore - denpasar 19 feb 2012 pukul 11.00 pm"
Setelahnya, mataku yang sudah lima watt tak dapat tertutup tergantikan oleh setoreh khyalan - khayalan akan singapore yang terlukis dalam atap kamarku. Insomnia hingga menjelang subuh. Hff..

Eurofia cengar cengir Sebagai bentuk ketidak percayaan akan kenekatan kami terus bergulir selama seminggu ke depan. Kala kami bertiga berkumpul kami selalu berkhayal apa dan bagaimana di singapore. Tak lupa pula, setiap hari Kami selalu bertanya pada mbah google mengenai info hotel, tempat - tempat wajib dikunjungi, dan lain sebagainya tentang kota singa tersebut.

Singkat cerita tahun 2012 pun tiba. Bulan Januari datang begitu cepat. Hujan mendominasi cuaca Bali kala itu. Seperti hujan yang terus menghiasi hari - hari di Bali, begitu juga perasaan kami. Curahan, luapan tak percaya bulan yang ditunggu hampir tiba. Sindrome kegalauan makin menjadi kala rencana pembuatan paspor yang awalnya di bulan oktober 2011 tertunda hingga mendekati Januari 2012.

Pertengahan Januari, aku dan Anita akhirnya membuat paspor. Serangkaian perjuangan bangun pagi hanya untuk ke kantor Imigrasi dari Nusa Dua menuju Denpasar, Anita lakukan selama tiga hari. Beruntunglah aku yang tinggal tak jauh dari kantor imigrasi, hanya Lima belas menit perjalanan.

Proses pembuatan pasporku dan Anita berjalan lancar. Namun sayang, tidak begitu yang terjadi pada Aan. Proses pembuatan paspornya mengalami banyak kendala saat wawancara berlangsung di kantor imigrasi.
"Mbak, ini kok nama orang tua di akte dan di KK beda ya?" sesosok Lelaki masih muda dengan rambut plontosnya mengintrogasi Aan.
"oh, saya tinggal sama kakek saya Pak." jawab Aan santai.
"Tapi di Kk ditulis status anak, wah ini harus ada surat keterangan dari catatan sipil" tegas Pak plontos itu padanya.
"Tolong bawa surat keterangan itu segera ya! Baru kemudian saya proses." lanjutnya lagi.
"Baik Pak." Aan hanya pasrah tertunduk lesu keluar dari ruang wawancara.

Esoknya Aan bergegas menuju kantor catatan sipil sepagi mungkin. Pukul setengah delapan ia  disana disambut bentakan Pak petugas yang telah tiba. "Catatan sipil hanya membuat Kartu Keluarga, tidak ada namanya surat keterangan seperti ini !" serunya sembari menunjuk surat keterangan yang dibawa Aan. Keributan adu argumen pun terjadi antara pak petugas dengan Aan hingga akhirnya Aan pulang ambil langkah seribu tinggalkan kantor sipil dengan muka tertekuk. "Il, tak usah menyusul ke kantor sipil" ketikan kalimat sms dari Aan masuk ke hp ku. Ada perasaan was-was dalam diri ketika membacanya. Oh, apalagi ini.

Sore harinya, Aan yang sudah siap dengan surat keterangan pernyataan yang telah direvisi bergegas menuju rumah Pak camat.
"Mbak, besok pagi sekali datang ke kantor ya, cap stempelnya ada di kantor."
Baru saja tiba, dengan terpaksa Aan harus pulang membawa harapaan akan esok semuanya berjalan lancar.

Pagi sekali dengan beribu keyakinan dan semangat ia datang ke kantor camat. Semangat yang timbul tadi hilang sekejap ketika petugas menyuruhnya datang keesokan hari lagi karena Pak camat sedang berada di rumah sakit. "Pak Camat sepertinya terserang DB, baru semalam di RS. "Gubrak! Ada - ada saja Pak camat.. Hrrr..! " keluhnya dalam hati.

Esoknya kembali ia menemui Pak Camat, dan berhasil mendapatkan tanda tangan orang - orang terkait. Tidak hanya tanda tangan camat, ketua banjar dan ketua lurah beserta cap stempel masing - masing kantor pun ikut nangkring di surat pernyataan tersebut. "Akhirnya.." ia menghela nafas lega.

"Tinggal menunggu keputusan Pak botak imigrasi esok." katanya padaku ketika aku menemaninya makan omelet dan serabi saat petang hari di warung kaki lima Jalan sudirman.

"jiaaaah!! Perjuangan benar - benar belum berakhir di tangan Pak Botak. Serangakaian adegan perdebatan yang terjadi akhirnya membuahkan hasil "Baik Mbak, silahkan ambil paspornya minggu depan."
Aan keluar dengan penuh rasa syukur dan bergembira.

Sorenya, kami bertiga berkumpul. Aku sudah tak sabar menunggu cerita perdebatan secara langsung dari mulut Aan.
"rrrgh, ingin rasanya aku kasih Pak botak itu coklat sebagai rasa terima kasih telah menyusahkanku."
"Jiaaah, disangka kau naksir lagi sama Pak Botak itu!" seruan Anita membahana diiringi tawa kami bertiga.

Dua minggu sebelum hari H, eurofia kembali hadir. Senang, gembira, dan deg-degan akan ketidaksabaran ingin segera kesana. Galau, risau dan bingung harus membawa Baju apa dan berapa banyak. Alhasil, rencana membawa hanya satu Koper untuk Baju kami bertiga sirna.   Kami akhirnya membawa koper sendiri - sendiri.

15 feb 2012 pukul setengah sebelas di pagi hari menjelang siang, aku sudah siap pamit pada Ibunda. Aan menjemputku dengan motor maticnya menuju rumahnya. Rencana kami naik taxi dari rumah Aan menuju rumah Anita batal. Taxi langgananku terpaksa menurunkan kami di halte bus Sarbagita karena harus ganti oli.

Peluh keringat telah membasahi tubuh. Aku dan Aan duduk menanti Bus Sarbagita dengan dua koper kami. Tak lama berselang Bus besar berwarna biru bergambar karikatur lelaki memakai udeng di kepala dan bunga jepun di telinga itu tiba. Ada nafas lega yang tercurah kala kami berada di dalam bus. AC dan tempat duduk nyaman sedikit menghilangkan peluh keringat akibat cuaca panas Bali. Sarbagita melaju dengan lancar dan cepat melintas by pass menuju Nusa Dua..

"Mbak mbak, maaf ya terpaksa harus turun disini. Ada KTT jadi jalan lurus ke halte depan di tutup." Mbak kernet Sarbagita menurunkan kami di tempat yang tak semestinya. Hff, apa lagi ini !

Kami turun sembari menyeret koper masing - masing. "Sekarang kita jalan menuju halte itu ya!". Aku menganga pasrah sembari berjalan beriringan dengan koper berat ini.
"Ya, lumayan training dulu sebelum jadi backpacker." kataku berusaha menghibur diri. "Ini mah, bukan backpacker ya kalau membawa koper begini." lanjutku lagi.
"Backpacker ala koper." sahut Aan.
Begitulah, kami berceloteh sembari terus berjalan dengan bawaan berat hingga akhirnya tiba di halte terdekat tuk menunggu jemputan sukarela dari sahabat kami, Anita.

Malam tiba. Kami berada di rumah Anita. Sengaja kami menginap di rumahnya karena esok kita berangkat pagi buta dan kebetulan jarak rumah Anita lebih dekat dari bandara. "coba lihat gedung itu kawan tinggi sekali !" Aan berseru menunjuk sebuah gedung Bank di seberang rumah Anita.
"Yeah, santai Mbak, besok kita lihat gedung tinggi sungguhan!" seruku.

Sesuai dugaan, malam tak dapat membuat kami tertidur pulas. Aku tahu, kami resah, galau ceria menghadapi detik - detik keberangakatan kami.

Kira - kira hanya sejam aku dapat tertidur nyenyak. Alaram dari handphone berbunyi terpaksa membangunkan kami. Pukul 3 pagi. Kami harus bergegas sampai di Bandara paling tidak jam 4 subuh. wow..

Benar saja, setelah tiba di Bandara dengan antaran sukarela dari ayah Anita, kami sudah lihat beberapa orang telah berada disana sebelumnya.
"Eits, bukannya ini dosen kita dulu! " Anita berbisik seraya melihat ke arah depan kami. Tiga laki - laki yang ku kenal adalah mantan dosen - dosen kami benar - benar ada disini bersama kami. Mereka bertiga bersama dengan 2 orang wanita yang tak kukenal. "tak berniatkah kita menyapa mereka?" tanyaku iseng. "Ah, males, gengsi...! Itu dosen telah membuatku menangis waktu ujian dulu." kata Anita enggan.
"wkwkwk.. !" kami pun cuek tak menyapa dan langsung pergi ngeloyor ke counter air asia.

Pukul 06.30 kami sudah berada di tempat duduk masing - masing. Anita dan Aan duduk di depanku. Disampingku duduk seorang Ibu paruh baya yang baik hati meminjamkanku pulpen saat pengisian data keberangakatan.

"Nguiiiiing....!" suara khas pesawat saat terbang mendesir di telingaku. Ini bukan pertama kalinya bagiku naik pesawat. Namun, aku hanya meramaikan suasana kegalauan dan kenorakan Aan dan Anita yang baru pertama kalinya naik pesawat.. "Wah, hup! Lihatlah keluar jendela! Kita di negeri awan kawan!" seruku sembari mendekatkan wajahku di sela kursi mereka. Mulailah aku dan Aan berimajinasi melihat keluar jendela dengan gumpalan awan sebagai topik utamanya. Sementara Anita hanya tekun melihat ke depan tak ingin menikmati ketinggian di sepanjang perjalanan kami. Lambat laun suara - suara pengkhayal hilang tergantikan oleh hening yang melanda jiwa - jiwa kami. Suasana penerbangan yang tenang walau kadang terasa goyang naik turun ketika menembus awan membuat kami tertidur. Pulas nan damai.

Dua jam berlalu. Kapten pilot berkoar dari speakernya memperingatkan penumpang bahwa pesawat hampir tiba mendarat di landasan. Aku tak ingin melewatkan pemandangan kota Singapore dari atas pesawat. "wow! Gedung - gedung, mobil - mobil yang berjalan dan pepohonan tampak terlihat serba mini bak rancangan miniatur arsitek.

"jeeesss!" Mendaratlah pesawat air asia. "welcome to Changi Airport!" bisikku kegirangan.