Langit
masih berselimutkan awan gelap. Azan subuh membangunkan tidurku yang lelap. Walau rasa kantuk masih
tetap hinggap, selepas sholat aku pun bersiap – siap. Pakaian dan atribut sudah
lengkap. Balutan T-shirt dan celana panjang telah melekat. Si merah juga sudah
siap. Ia bertenger di teras depan berkilauan penuh semangat. Aku pun tak mau
ketinggalan. Seribu semangat bergelora kian mantap. Bersama si merah aku pun
berangkat. Meluncur menyongsong pagi yang memikat.
Aku
menggayung pedal dengan santai. Lembayung nyanyian penyemangat menyeringai.
Berbait – bait lirik lagu mengalun dari koleksi mp3 yang kusimpan. Menemani
pagiku dalam kedamaian. Menghilangkan sejenak aroma kepenatan.
“Widih..,
pagi – pagi tumben udah keluar?” kata ibu terheran – heran. “Assalamualaikum!”
Aku jawab pertanyaannya dengan salam, sambil lalu melenggang pergi bersama si
merah. Para tetangga yang mulai beraktifitas juga sempat heran menatapku pergi
di pagi buta. Tapi, kemudian mereka tersenyum setelah kusapa.
Aku
dan si merah meliuk – liuk. Melewati jalan yang belum terlalu sibuk. Menyapa
kokokan ayam. Membangkitkan gairahku yang sempat tenggelam.
Tiba
di persimpangan Gajah Mada, jalan kami terhenti sejenak. Kesibukan warga mulai
tercium menyeruak. Ratusan pedagang dan pembeli asyik bercengkrama. Keramaian Pasar
Badung begitu terasa. Suara peluit tukang parkir nyaring terdengar. Para tukang
parkir sibuk mengatur kendaraan yang datang dan pergi. Silih berganti kendaraan
masuk dan keluar dari pintu pasar. Asap kendaraan pun tak terelakan mengganggu
kesunyian suasana pagi yang menghilang. Seperti biasa, suasana pasar makin
ricuh bila banyak orang tak sabar keluar dari kemacetan. Alhasil, suara klakson
semakin menghilangkan suasana pagi yang tenang.
Aroma
pasar begitu menyengat. Aneka bau bercampur aduk menjadi satu. Sayur mayur dan
aneka buah – buahan tampak menyegarkan. Namun, aroma sedapnya nyaris tenggelam
ditutupi aneka bau amis daging hewani dan keringat manusiawi. Untung saja
kemacetan tak menjebak kami begitu lama. Terbebas dari kericuhan pasar dan
problema aneka aromanya, kami melaju lagi hingga menyapa patung Catur Muka. Sesuai
dengan arti namanya, wajah patung ini terdiri dari empat muka yang sama. Letaknya
tepat di bundaran antara jalan Veteran dan jalan Gajah Mada. Dekat dari tempat
si Catur Muka singgah, lukisan hamparan rerumputan dan pepohonan menyambut
sumrigah. Taman Puputan Badung, demikian ia diberi nama. Ia seolah merayu kami
tuk singgah disana. Kami lihat hiruk pikuk taman Puputan Badung juga mulai
bersua. Namun, kami tak lantas tergoda. Kami pun sekedar melintas melewatinya. Kami
pergi mengejar sebuah tujuan sebelum semua sirna.
Kugenjot
pedal lebih cepat. Berusaha menggapai suatu misi agar tak telat. Tak peduli
walau bercucuran keringat. Demi sebuah tujuan yang memikat. Sesekali kuteguk
air dari botol minuman yang kubawa. Lumayanlah, seteguk dua teguk air mampu
mengembalikan semangat yang tiba – tiba mereda.
Lintas
jalan lurus tak berliku mengantarkan kami. Sepanjang jalan Hayam Wuruk seolah
menyemangati. Liku jalanan tampak bersahabat. Sesekali kami bebas meluncur pada
jalanan menurun. Namun tak jarang kami temukan area jalanan naik dengan
kemiringin tajam. Aku menikmati jalan ini sembari bersiul ikuti alunan lagu
yang masih berdendang. Hingga tanpa kusadari, rombongan pecinta sepeda
mengikuti. Mereka melenggang mulus dan akhirnya kami terlewati. Kaki – kaki
jenjang nan kuat mereka mengalahkan kekuatan kaki kurusku. Namun aku tak perlu
kecewa. Langit masih belum terlihat sempurna. Ku kayuh lagi pedal dengan semangat
empat lima. Kami melewati kanan kiri toko – toko dan restaurant yang masih
tutup. Kebisuan ragam bangunan itu seolah menatapku datar. Aku acuhkan tatapan
kebisuannya, kala nyanyian kriuk – kriuk perutku secara tiba – tiba bersorak “lapar”.
Belokan
jalan Hyang Tuah hampir dekat. Begitu juga atap bumi hampir saja terlihat. Semangat
genjotan pedal lagi – lagi kupercepat. Kala tiba di lintasan Hyang Tuah,
senyuman pun mencuat. Aku kayuh alunan pedal perlahan. Bersantai sejenak
menikmati pemandangan. Tampak di kanan – kiri aroma kebun bunga – bunga menyapu
indra penciuman. Pesona aneka tanaman sangat sayang untuk ditinggalkan.
Tak
sampai lima menit berlalu, traffic light bersiap menyambut kami. Ujung lintasan
Hyang Tuah berganti melepaskan kami. Membawa kami menerobos By Pass Ngurah Rai.
Lurus melintas arena parkiran dekat pantai.
Pesona
pantai Sanur Bali mulai tampak nyata. Keindahannya sungguh menyegarkan mata. Aku
bawa si merah naik melintasi gerombolan pasir. Tuk berhenti didekat pesisir. Langit
kini menyapa para pengelana. Ia merangkul mentari tuk tersenyum bersama. Menampakkan
diri dalam lukisan indah dunia. Menyongsong awal hari dalam balutan pesona.
Suara
deburan ombak tiba – tiba datang. Ia merayuku tuk bertandang. Menyelam berpelukan
bersama bebatuan dan karang. Mengalahkan dinginnya air yang menantang. Aku
geletakkan si merah diatas pasir. Kulepaskan sandal jepitku, kemudian berlari
meninggalkan pesisir. Menyeburkan diri menerima rayuan ombak. Bergabung bersama
gerombolan anak. Kawanan anak – anak itu terbahak – bahak. Mereka bercanda
bersama. Pandai juga mereka berenang. Dengan lincahnya mereka berlomba mengejar
ombak. Berguling – guling dalam pelukan ombak, lalu membiarkan tubuh mereka
terhempas ke pesisir pantai.
Disisi
lain aku juga melihat kawanan anak lainnya. Mereka bermain di pinggir kapal yang
berlabuh. Bukan kapal besar seperti Fery di Gilimanuk. Namun jenis kapal jukung
dan kapal boat yang menjadi arena
permainan. Terkadang mereka asyik bergelantungan dibibir kapal atau sekedar melompat
indah dari atas badan kapal.
Aku
tetap berendam menjamu sang ombak dibawah sinar matahari. Ombak tak henti – hentinya
merangkul tubuhku dengan mesra. Mentari seolah tak ketinggalan ikut menyambutku
penuh ceria. Kehangatannya lenyapkan hawa dingin yang kini sirna.
Semakin
mentari meninggi, semakin banyak orang datang singgah disini. Aktifitas mereka
pun beragam. Seorang nenek - nenek duduk menenggelamkan kaki di pasir putih.
Seorang lelaki bule berlarian di semenanjung tepi pantai dengan bertelanjang
kaki. Sekumpulan keluarga asyik menggelar tikar sembari mengeluarkan bekal
pribadi. Sepasang sejoli asyik berendam di tepi sembari bercanda saling
mencipratkan air ke wajah masing – masing. Oh, tingkah sepasang sejoli itu
membuatku iri. Tapi tetap saja tak dapat dipungkiri bahwa rayuan ombak mampu
menggoda para penikmat pagi. Sebagian dari mereka lebih banyak memilih menceburkan
diri.
Mentari
tampaknya sudah mulai terik. Aku putuskan untuk berhenti bermain ombak. Aku
berenang ke bibir pantai. Keluar dari arena permainan, tubuhku malah terasa
menggigil. Tetesan – tetesan air keluar dari pori – pori T-shirt dan celana panjang
yang kukenakan. Aku berjalan perlahan menghampiri si merah. Kutemukan ia masih
terkulai pasrah. Aku menegakkannya setelah kukenakan sandal jepit yang
kuletakkan disebelahnya. Aku menuntun si merah hingga perbatasan jalan setapak.
Kulihat
para pedagang di pinggir pantai mulai membuka lapak. Berbagai pernak – pernik
aksesoris dan pakaian khas Bali mereka jual. Seruan – seruan pedagang terdengar
menawarkan barang. Namun aku menolak sembari terus melenggang.
Kriuk
– kriuk nyanyian perutku lagi – lagi muncul tanpa terduga kala melewati seorang
ibu – ibu pedagang jagung bakar. Hasrat ingin makan pun berkoar. Aku
menghampirinya dan memesan satu buah. Si ibu mempersilahkanku tuk duduk diatas
batu yang bertenger disamping alat pemanggang. Sementara si merah kuberdirikan
disisi lain sebelahku. Tubuhku yang
tadinya masih menggigil akhirnya tertolong oleh hawa panas bara api dari alat
pemanggang.
“Pedas
Manis , Gus?” si Ibu hendak memolesi jagungku yang selesai dibakar. Aku
mengangguk, lalu merogoh kantong celana yang basah. Dari kantong celana
panjangku aku mengeluarkan selembar uang. Selembar uang lima ribuan basah itu
kuserahkan pada si ibu.
“Ini
kembaliannya, Gus!” lantas si Ibu memberiku selembar uang dua ribuan.
“Suksma,
Bu.”
Masih
diatas batu, aku duduk sembari menikmati jagung bakar. “Nyess!” Panas menyambar
kala jagung bakar kugigit dan kukunyah pelan – pelan. Aroma jagung berlumur
saus pedas manis berhasil menghentikan nyanyian kriuk – kriuk perutku ini.
“Glek.”
Sehabis membabat habis sebuah jagung bakar, aku meneguk air yang masih tersisa
dari botol minuman. Lumayan, sarapan pagi hari ini cukup mengenyangkan. Aku
berdiri dan bersiap menaiki si merah.
Aku
menapaki jalan setapak bersama si merah melawan arus jalan berbeda. Jika saat
datang kami melewati parkiran, namun saat hendak pulang kami akan melewati ruas
jalan belakang hotel. Di arena semenanjung pantai Sanur memang dekat dengan
kawasan hotel bali Beach. Menurut sejarah yang kudengar, hotel ini merupakan
hotel berbintang pertama di Bali. Bangunan hotel menjulang tinggi. Nuansa biru
mendominasi tampilan luar gedung. Bangunan tampak belakang sengaja dibuat
senyaman mungkin bagi para tamu yang hendak melihat langsung pesona pantai. Di
pinggir pantai belakang hotel disediakan kursi panjang beratapkan tenda yang
sengaja ditancapkan diatas pasir. Para bule yang suka berjemur bisa bersantai
selonjoran kaki sehabis berenang atau sekedar duduk – duduk sembari membaca
buku.
Melewati
hotel, kami disambut puluhan warga beragama Hindu yang sedang mengadakan ritual
sembahyang. Jalan kami terpaksa terhenti karena jalan setapak kini dipenuhi
banyak orang. Aku mengalah membiarkan para pejalan lewat lebih dulu. Pada saat
itulah, kuperhatikan aktifitas Sembahyang mereka. Para wanita membawa banten
atau bisa juga disebut canang. Banten merupakan sesajen persembahan untuk para
dewa – dewa menurut kepercayaan umat Hindu. Yang wanita mengenakan kebaya dan
kamen, sedangkan yang pria mengenakan kemeja, kamen beserta udeng di kepala. Mereka
duduk bersimpuh menghaturkan canang. Aroma wangi dupa tercium menusuk hidung. Mereka
berdo’a di arena luar pesisir pantai dipimpin oleh seorang Pedanda. Lantunan
mantra do’a mereka terdengar merdu seperti nyanyian kidung.
Ketika
jalanan agak lenggang, aku kemudikan si merah kembali. Kami pergi tinggalkan
suasana khidmat Sembahyang warga, namun tidak demikian dengan aroma dupa yang
kini masih melekat di indra penciuman.
Aku
melewati toko - toko yang menjual pernak – pernik lagi, juga warung – warung penjual
makanan. Tiba di depan salah satu warung penjual rujak, aku dihadang oleh
seekor anjing. Tampilannya tampak kusuh. Kulitnya bergelambir tak terawat.
Tubuhnya kurus ceking berwarna abu – abu kusam. Matanya melotot menatapku.
Lidahnya menjulur keluar. Taring giginya tajam menambah kesan horror seekor
anjing liar. Ia menatapku lekat – lekat seolah bersikap awas terhadapku. “Guuk!
Guk!.. Guk!” lolongannya nyaring terdengar mengagetkanku. Sontak nyaliku
langsung ciut dan menghentikan laju si merah. “Guk.. Guk!” suaranya tambah
kencang mengagetkanku. “Sssst!” kataku lirih seraya menempelkan ujung jari
telunjuk kemulutku. “Guk!” ia berlari mendekatiku dengan muka garang. Sontak
aku banting si merah ke tanah, lantas kabur berlari berbalik arah. Si anjing
menggonggong semakin lantang. Aku terus berlari sambil menoleh sedikit ke
belakang. Kulihat si anjing semakin asyik menggodaku. “Minggir! Minggir!” Entah
kenapa aku bersorak menerobos orang – orang yang sedang berjalan. Tak peduli
lagi aku dengan si merah yang kutinggalkan. Aku malah makin mempercepat laju
kakiku dari kejaran. Meski sempat kurasakan otot – otot kaki kurusku terasa
kejang – kejang, suara gonggongan si anjing masih saja terdengar dari belakang.
“Jamil..!”
tiba – tiba saja aku mendengar namaku disebut – sebut.
“Hey,
Jamil.!” Seruannya makin kencang.
“Plak!”
Kepalaku rasanya terbentur sesuatu yang empuk.
“Plak!”
kali ini alunannya makin keras. Kepalaku langsung pusing. Mataku menyipit
menatap seseorang yang tiba – tiba langsung berada tepat didepan mukaku.
Wajahnya sangat mirip denganku. Hanya saja kepalanya plontos berambut gersang.
“Jamiiil..!
Bangun Mil..!” saudara kembarku kini berseru lagi tepat di telingaku.
“Iya
bawel..!” sergapku.
Aku
beranjak dari tempat tidur dengan malas. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul
10.00 WITA. Tak kusangka aku tidur begitu lama. Rencana olahraga pagi akhirnya
tak terlaksana. Mengejar pagi hanya tinggal mimpi belaka. Oh, pagiku yang
hilang. Pagiku yang terbuang.
No comments:
Post a Comment