Denpasar
adalah pusat ibukota provinsi Bali. Bila para turis datang ke Bali, mungkin tak
banyak yang tahu tentang kota ini. Mereka lebih mengetahui kawasan Kuta, Ubud
dan Nusa Dua yang memang memiliki pesona alam lebih memikat. Sedangkan Denpasar
berada dalam lingkungan sibuk khas perkotaan, serta sedikit sekali dijumpai
panorama alam yang memikat. Namun, cobalah sesekali telusuri setiap liku jalan
kawasan Jalan Gajah Mada dan sekitarnya. Memang, yang akan kita temui bukanlah
panorama alam memikat, melainkan panorama kehidupan masyarakat yang hidup
didalamnya.
Pada
kawasan Jalan Gajah Mada, sampailah kita pada sebuah pasar. Pasar Badung
namanya. Seperti lazimnya pasar adalah tempat bertemunya para pedagang dan
pembeli, selalu ramai dikunjungi, juga ramai dipenuhi aneka bau – bauan
mengengat indra penciuman. Di pasar Badung, orang dapat membeli aneka
kebutuhan, baik kebutuhan bahan baku sehari – hari maupun kebutuhan sekunder
lainnya seperti pakaian dan alat – alat rumah tangga.
Memasuki
gedung pasar, kita akan disambut oleh tebaran para pedagang sembako yang tengah
asyik menjajakan dagangannya. Di lantai dasar dan lantai 1 ini, jarang sekali
ditemui para pedagang duduk terdiam menunggui pembeli yang datang. Mereka
sangat asyik bercengkrama bersama para pembeli, beradu mulut dalam sebuah aksi
tawar menawar. Kericuhan serta hiruk pikuk ini akan kita temui lebih sering di
pagi hari, bahkan lebih pagi dibandingkan suara kokokan ayam yang baru
terdengar kala mentari bersinar. Pasar sembako memang selalu tak sepi pembeli.
Maka tak heran bila ruangan lantai dasar dan lantai 1 ini tak akan muat
dijejali para pencari rezeki. Untuk mengatasi hal tersebut, maka arena halaman luar
pasar dijadikan alternative sebagai tempat mereka berjualan juga. Dengan
membangun tenda – tenda kecil, maka jadilah lapak – lapak para pedagang yang
selalu bersemangat ini.
Jika
kita menaiki lantai 2 hingga lantai 4, aktifitas pasar tidak akan terlihat di
pagi buta, melainkan terlihat dimulai antara pukul 9 atau 10 pagi waktu
setempat. Di lantai – lantai tersebut, kita akan temui aneka pedagang grosir
pakaian, sandal, sepatu, tas, aksesoris, perabotan rumah tangga, serta peralatan
sembahyang umat Hindu, seperti udeng, kamen, baju kebaya, dan aneka perkakas
upacara lainnya.
Diantara
siang yang mengengat kericuhan pasar makin menyurut. Tak banyak pembeli lalu
lalang datang. Maka, sebagian pedagang sembako akan mulai menutup gerai lapak
mereka. Sementara selain pedagang sembako, pedagan lain tetap beraktifitas
menunggui lapak mereka. Jika kita naik ke lantai 2 hingga 4, maka bersiap –
siaplah ditawari oleh para pedagang disana. “Ayo mampir kesini , Gek! Bli
Bagus.,!” begitulah sapaan khas mereka. Atau bila pembelinya ibu – ibu mereka
menyapa, “Bu, cari apa?”
Menuruni
anak tangga terakhir tepatnya di pintu keluar gedung, kita akan disambut para
pedagang aneka buah – buahan dibawah tenda yang mereka bangun. Kesegaran aneka
buah setidaknya dapat menyejukkan mata dan menggugah tenggorokan yang kering.
Apel, mangga, jeruk, salak, rambutan, anggur hitam meramaikan keranjang –
keranjang besar. Bulir – bulir tubuh kulit aneka buah – buahan tersebut niscaya
menggoyang lidah kita untuk sedikit mencicipinya. “Apel..! Salak..! Mangga..!”
seruan para penjaja buah akan langsung menyambut kita kala melewati gerai –
gerai mereka.
Semakin
sore, biasanya pada pukul 3 sore keatas, bersiaplah untuk jalan berdesak –
desakan. Karena semakin sore hari, keadaan pasar kembali ricuh. Puluhan orang
datang, baik bertambahnya para pembeli maupun para pedagang, terutama di area
luar pasar. Teriakan para pedagang menambah keramaian langkah – langkah kaki
para pembeli yang ikut berbaur disana. Tidak hanya pedagang buah yang tampak,
melainkan pedagang ayam potong, ikan bakar, daging sapi potong mulai berjualan
kembali. Aktifitas keramaian pasar sore akan berlanjut hingga petang.
Pemandangan
demikian memang sudah biasa. Tapi ada suatu pemandangan berbeda yang akan kita
jumpai. Dikerumunan para pedagang tersebut, ada seorang laki – laki mengenakan
kalung besar nan panjang. Setelah didekati kita akan lihat jika kalung yang ia
kenakan bukanlah kalung biasa. Lingkaran kalung yang menghiasi talinya bukanlah
berupa manik – manik nyentrik, melainkan kumpulan uang kertas robek, berwarna
pudar tampak disana. Si laki – laki akan berseru kepada para calon pembelinya
kira – kira seperti ini, “Yang mau tukar uang! Silahkan.!” Pekerjaan seorang
laki – laki tersebut adalah membeli uang yang sudah tak berwujud lagi dengan
harga murah tentunya dibawah harga nominal yang tertera pada uang tersebut. Ia
kumpulkan uang – uang itu hingga akhirnya bisa ia tukarkan pada bank dengan
nominal yang sesuai pada lembaran uang yang ditukarkan. Ada – ada saja cara
orang mencari rejeki.
Aksi
kreatif para pencari rejeki memang tidak ada habisnya. Jika profesi laki – laki
yang diceritakan diatas tersebut mencari untung dari selisih nominal harga jual
dan beli uang, maka lain halnya dengan cara yang dilakukan oleh jasa pengangkut
barang atau tukang “suwun”. Profesi ini lebih banyak ditemui di pasar saat kita
sedang bertransaksi dengan pedagang. Orang – orang ini datang menghampiri kita
sembari membawa keranjang berukuran besar diatas kepalanya. “Bu, bawa belanjaan
banyak ya? Saya angkut ya?” begitu biasanya mereka menawarkan jasanya. Namun
ironis sekali, ternyata profesi ini banyak dilakoni oleh para gadis – gadis kecil
yang masih belia. Antara salut akan semangat bekerja mereka, atau malah kasihan
melihat aksi mereka yang seharusnya tidak perlu capek bekerja, betapa mirisnya
nasib mereka.
Ada
hal lain juga yang akan kita temui menjelang sore yang semakin padat.
Berjalanlah dan turunlah ke arena basement parkiran khusus mobil yang baru
selesai dibuat. Disana mata kita akan terpana, khususnya bagi wanita pecinta
belanja. Tampak oleh mata ada jejeran para pedagang menggelar tikar, kemudian
duduk sembari menata pakaian yang mereka jual. “Beli ! Ayo Beli ! Harga murah!
Satu kemeja sepuluh ribu saja!” begitu rata – rata teriakan mereka. Wih,
mendengar harga yang ditawarkan murah meriah, bagaimana tidak orang berbondong
– bondong datang ke pasar ini. Istilah lainnya pasar kodok atau pasar pakaian
second.
Jalanlah
perlahan melewati satu persatu lapak pedagang disana. Cari dan temukan aneka
jenis pakaian yang sesuai selera, mulai dari kemeja, celana, rok, jaket, dan
aneka T-shirt. Pandai – pandailah memilih model dan warna. Meski semua adalah
pakaian import bermerek luar negeri, pilihlah dengan teliti. Tapi tetap digaris
bawahi, bahwa tidak semua pakaian bekas yang dijual disini selalu terhindar
dari cacat. Namanya juga pakaian bekas. Dan jangan lupa siap – siap kantong
menjadi jebol. Bila kita tergiur membeli begitu banyak pakaian nanti uang kita
malah habis hanya untuk keperluan baju saja, hehe..
Kawasan Sekitar Pasar
Berdampingan
dengan Pasar Badung juga terdapat sebuah Pasar lainya. Hanya dengan melintas
melewati jembatan disamping wilayah Pasar Badung, maka kita akan tiba di lokasi
Pasar Kumbasari. Pasar ini juga bertingkat, namun tak sebanyak dan seluas
wilayah Pasar Badung.
Di
sekitar area kawasan pasar Badung lainnya, banyak terdapat aneka toko yang
letaknya sangat dekat dengan lokasi pasar. Kita tinggal berjalan kaki
menelusuri setiap toko yang ada di pinggir – pinggir trotoar jalan. Di
sepanjang jalan Sulawesi, kita akan disambut deretan toko kain. Aneka jenis
kain mulai yang polos hingga bermotif tersedia disini. Rata – rata pemilik toko
kain adalah orang – orang keturunan Arab. Setiap harinya toko kain selalu didatangi
para pembeli, mulai dari orang – orang setempat hingga para turis bule yang
datang dari luar negeri. Walau banyak toko kain berderet – deret, sikut –
menyikut antar pedagang tidaklah berlaku. Bila kita datang ke salah satu toko
kain, sedangkan bahan kain yang kita cari tidak tersedia, maka dengan senang
hati pedagang disana akan memberi refrensi toko lain disebelah – sebelah
mereka. Begitulah persaingan sehat yang sudah ada dan menjadi peraturan para
pedagang kain disini. Kadangkala, antara toko satu dengan toko lainnya, motif
dan warna kain yang mereka jual jarang terlihat sama.
Ketika
menyusuri aneka toko kain yang begitu banyak, sesekali kita akan melihat toko –
toko mebel menyusup diantara toko – toko kain tersebut. Meski tak banyak toko
mebel yang ada, namun kesibukan tetap terlihat kala para pedagang mebel tengah
bertransaksi dengan calon pembelinya.
Sehabis
menyusuri deretan toko kain, tepatnya di dekat area seberang masjid kita akan
langsung disambut oleh para ibu – ibu yang tengah duduk di pinggir trotoar.
Mereka duduk diatas kursi plastik, membawa timbangan kecil, dan biasanya
memakai ikat pinggang yang terlingkar dipinggang mereka. Ikat pinggang mereka
bukan sembarang ikat pinggang biasa. Melainkan sebuah dompet kecil bertali
panjang itulah ikat pinggang mereka. Kalau melihat para pengunjung yang lewat,
mulailah mereka beraksi., “Jual emas, Bu?” begitu tawaran mereka. Biasanya emas
yang dijual kepada ibu – ibu adalah emas tanpa sertifikat sehingga dapat dibeli
dengan harga murah.
Dimana
ada ibu – ibu pembeli emas, disana ada toko – toko emas berjejar. Sepanjang
jalan diseberang masjid, mata kita akan terpukau melihat kilauan emas yang
dijual pada rak – rak berkaca di toko emas. Aneka ragam perhiasan seperti
kalung, gelang, cincin dan anting tersedia disana. Jika ingin membeli emas
batangan juga ada, tinggal pilih saja berapa karat jumlah kadar emas yang ingin
kita miliki. Hehe, jalan – jalan ke toko emas memang menyegarkan mata. Pesona
kilauannya tidak hanya menggoda mata, namun pantas dijadikan invenstasi jangka
panjang yang berharga.
Kuliner
Jalan
– jalan menelusuri pasar dan sekitarnya memang bisa menguras energy dan tenaga.
Alhasil perut menjadi keroncongan dan tenggorokan menjadi kering. Tapi, tenang
saja. Mencari makanan disekitar pasar sangatlah mudah. Berikut beberapa makanan
yang biasa dijumpai di sekitar pasar.
Rujak
Kuah Pindang
Rujak
kuah pindang adalah salah satu makanan khas dari Bali. Rujak adalah makanan
yang terdiri dari aneka irisan buah – buahan yang dimakan bersama campuran
bumbu kuah pindang. Buah – buahan yang biasa digunakan seperti bengkoang,
mangga, papaya, nanas, timun, kedongdong, jambu air, dan sela. Kuah pindang
berasal dari rebusan ikan pindang. Kaldu pindang yang dihasilkan inilah
dijadikan bumbu utamanya. Dalam sebuah ulekan, campuran bumbu terasi, garam,
petsin, dan cabe merah diulek secara merata, baru setelahnya kuah pindang
dicampur dan diaduk bersama racikan bumbu. Terakhir irisan buah – buahan
dimasukan kedalamnya. Rujak kuah pindang pun siap untuk disantap. “Srrppp..!
aroma khas pindang akan terasa saat kita menyeruput sesendok saja. Semakin
pedas rujak semakin dahsyat sensasi memakannya. Mungkin bagi yang tidak suka
mencium aroma pindang, tidak akan suka dengan rujak ini. Namun, rujak kuah
pindang tetap memiliki kelezatan yang khas di lidah – lidah para penggemar
makanan pedas.
Pedagang
rujak akan dijumpai di dalam pasar. Salah satunya seorang ibu – ibu yang
berjualan rujak disela – sela pedagang buah. Letak tempat ibu tersebut
berjualan adalah di area luar gedung pasar, tepat diujung dibawah anak – anak tangga.
Tidak hanya rujak kuah pindang yang ia jual, ia juga menyediakan rujak gula
bali, gula pasir, maupun rujak cuka. Tergantung apa selera kita. Yang pasti
kelezatan memakan rujak khas Bali ini dapat kita nikmati hanya dengan
mengeluarkan uang sebesar Rp. 5.000,- saja per porsi.
Mie
Ayam
Mie
ayam adalah salah satu makanan khas Indonesia. Entah dimana asal – usul pertama
kalinya mie ayam berkembang, namun mie ayam tetap menjadi makanan favorit
masyarakat Indonesia. Campuran mie dan ayam dicampurkan dalam kuah beraroma
kaldu sangat pas disajikan dalam keadaan panas. Tinggal diberi kecap, saos dan
sedikit sambal mampu menggoyang lidah para penikmat kuliner.
Lain
halnya dengan ibu – ibu pedagang rujak tadi. Jika ibu tersebut berjualan dari
pagi sampai dagangannya habis ditempat yang sama, maka berbeda dengan dagang
mie ayam keliling yang akan kita jumpai
disini. Biasanya Bapak – bapak penjual mie ayam tersebut terlihat di dekat
parkiran motor dengan gerobak coklatnya hanya pada siang hari. Selebihnya ia
akan berpindah tempat keliling mencari calon pembeli. Kenikmatan mie ayam
keliling di area pasar ini dapat kita nikmati hanya sebesar Rp. 7.000,- saja
per porsi.
Sate
Lilit
Sate
lilit juga termasuk salah satu makanan khas Bali. Daging ikan cincang dibumbui
khas bumbu bali, dicampurkan dengan parutan kelapa, kemudian dililitkan pada tusukkan
bambu. Setelahnya dibakar diatas bara api hingga matang. Barulah sate lilit
ikan ini siap disantap bersamaan racikan sambal mentah khas Bali.
Pedagang
sate lilit lebih banyak kita jumpai dibanding dengan pedagang rujak. Masih
tetap di luar area lapangan pasar, berderet – deret akan tampak jelas tercium
aroma khas sate lilit. Nikmati dan rasakan sensasi khas daging ikan dalam
baluran sambal pedas penggoyang lidah., Hmm, yummy…!
Aneka Jajan Pasar
Jika
tidak ingin makan makanan berat, salah satu alternatif lain adalah mencari
jajanan pasar. Masih di tempat yang sama, akan kita jumpai pedagang ini. Mulai
dari donat, molen, pisang goreng, lumpia, tahu isi, kelepon, hingga bubur ketan
hitam. Semua makanan tersebut dijamin murah dan manjur sebagai pengganjal perut
yang kelaparan.
Aneka
Es
Perut
yang lapar telah terisi penuh, tinggal waktunya menyegarkan tenggorokan yang
terasa haus. Tidak perlu khawatir mencari air mineral dan aneka minuman es
segar disana. Pedagang keliling penjual makanan dan minuman ringan akan dengan
siaga berkeliling mengintai calon pembeli. Selain itu jika ingin minuman khas
Indonesia seperti es kelapa muda maupun es cendol juga tersedia disana.
Sesekali
mengamati dan menelaah kehidupan hiruk pikuk pasar menjadi kegiatan berbeda
selain menikmati panorama alam penyejuk mata. Bila melihat panorama alam adalah
menikmati seni indahnya ciptaan Tuhan, maka mengamati kehidupan masyarakat
adalah seni mempelajari nilai kehidupan manusia didalamnya.
No comments:
Post a Comment