Raka
sengaja datang terlambat. Begitu tiba, ia melihat sebuah mobil hitam mini
mengkilat terparkir dibawah teduhnya sebatang pohon. Ia jelas tentu mengetahui
siapa pemiliknya. Dayu Lastri telah tiba lebih dulu disana.
Raka
memarkir sepeda motor nyentrik miliknya disebelah mobil Dayu Lastri. Ia
kemudian melepas helm dan sesaat duduk terdiam diatas motor sembari menatap
pesona alam dihadapannya. Tebing – tebing terjal nan tinggi masih tampak
memiliki pesona yang memikat bila bersanding bersama hamparan luas lautan biru
dan gumpalan awan putih langit bumi. Pesona daya tarik nan eksotik karya
ciptaan Tuhan tersebut memang tak pernah hilang dari benak Raka. Tak ada
sedikitpun pesona yang berubah, hanya saja kali itu Raka menemukan pemandangan
lain tidak seperti biasanya. Ia melihat pada gundukan tempat kini ia berdiri
tak lagi dipenuhi rerumputan hijau. Tanah yang ia pijaki kini tampak
kecoklatan, beberapa kursi dan bangku terbuat dari batang – batang pohon hampir
mengisi sebagian hamparan tanah coklat tersebut. Dua buah bangku panjang
diletakkan saling berhadapan. Ditengahnya disisipi sebuah meja berukuran sama
panjang. Sementara beberapa lainnya diletakkan disamping kanan kiri dekat bibir
tebing dan sengaja dihadapkan mengarah ke eksotika pemandangan laut lepas.
Tak
banyak pepohonan tumbuh menjulang disana. Dari bawah pohon tempat ia berdiri
kini, ia bisa melihat pohon berbatang kurus di bibir tebing berteduh sebuah kursi
kayu dibawahnya. Dibalik kursi itu, ia dapat mengenali siapa yang bersandar
disana. Dayu Lastri telah duduk menanti kedangannya.
Raka
memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Ia berjalan gontai meninggalkan
motornya. Pandangannya lurus kedepan. Begitu tiba disamping Dayu Lastri
terduduk, ia hanya berdiri mematung. Lastri yang menyadari kedatangannya lantas
menoleh dan menyapanya, “Raka.” Suara lembut Lastri terdengar menyejukkan
telinganya. Namun Raka tak lantas menyambutnya. Ia enggan berbicara. Matanya
tetap menerawang memandangi hamparan lautan berangkulan bersama awan.
Tatapannya kosong.
“Raka,
duduklah disini, disebelahku.” Pinta Lastri seraya berdiri memegang lengan kiri
Raka. Tapi, Raka tetap tak bergeming. Ditolehnya gadis itu sejenak, lalu
dialihkan pandangannya lagi lurus kedepan.
“Aku
mohon Ka, bicaralah padaku.” Kali ini raut wajah Lastri sedih. Mata Lastri
basah seketika. Raka tak tega melihat gadis yang paling ia sayangi itu
bersedih, sampai pada akhirnya ia menuruti permintaan Lastri.
Raka
telah duduk dengan badan tegak, namun pandangannya masih kosong. Ia tetap
membisu dan tak jua ia beralih melihat wajah Lastri. Dayu Lastri kemudian
perlahan duduk disebelahnya. Kursi yang kini mereka duduki bersama ternyata
menjadi sesak bila diduduki dua orang sekaligus. Maka, mau tak mau ujung lutut
dan paha mereka bersentuhan. Lastri lantas menarik diri lalu kemudian
memutuskan untuk duduk pada salah satu bagian lengan kursi.
“Jangan
pindah! Tetaplah duduk disampingku.” Kata Raka begitu menyadari Lastri telah
berpindah menjauh darinya.
“Tidak
apa – apa. Duduklah dengan leluasa.” Tolak Lastri lembut sembari melemparkan
senyum kepada Raka. Akan tetapi wajah Raka tetap datar. Tak ada balasan senyum
darinya. Pandangannya kembali beralih kedepan.
“Byuuurrrr..!”
terdengar suara deburan ombak menghantam dinding tebing – tebing begitu
dahsyat. Keduanya kini saling terdiam. Raka masih asyik mengacuhkan Lastri,
tenggelam dalam lamunan dukanya. Sementara Lastri tertunduk seraya menghentak –
hentakkan kaki berbalut sepatu flat shoes pada tanah.
“Raka,
maafkan aku.” Lastri kemudian memberanikan diri tuk memulai percakapan lagi.
“Lupakan
saja soal itu.”
“Aku
ingin membicarakan ini denganmu. Tidak bisakah aku mendapatkan maaf darimu?”
“Untuk
apa?” suara Raka tetap datar.
“Agar
hidupku tenang.”
“Bukankan
kini hidupmu sudah tenang dan bahagia? Bukankah kini hidupmu telah bebas
dariku? Jadi buat apa kau butuh maaf dariku?”
“Aku
masih memikirkan tentang dirimu, Ka.” Tak terasa air mata mengalir deras dari
pelupuk mata Lastri. Ia menangis sesegukkan.
“Jangan
menangis dihadapanku!” bentak Raka.
“Maaf.”
Lastri menghapus air matanya dan berusaha tuk berhenti menangis. Tiba – tiba
kemudian Raka berdiri. Ia memegang wajah Lastri dengan lembut. Dihapusnya air
mata Lastri yang mengalir dengan kedua tangannya. Kemudian ia tatap mata merah Lastri
dengan iba, lalu memeluk wajah Lastri kedalam rangkulannya. Lastri semakin
tenggelam dalam tangisnya.
“Aku
memang belum sembuh dari luka. Namun luka belum bisa musnahkan rasa sayangku
terhadapmu. Jadi, berhentilah menangis. Bukankah kau mengajakku ke tempat ini
untuk memperbaiki hubungan kita? Mengenang masa – masa indah dalam balutan
pesona lautan Ayana sebagai saksinya?” Raka memeluk Lastri semakin dalam. Ia
belai rambut hitam legam Lastri yang terurai panjang.
“Ya,
mari kita lakukan itu.” Lastri melepaskan pelukan Raka dan memandang wajahnya.
Raka kemudian tersenyum namun tetap berusaha menahan luka.
Raka
menarik tangan Lastri. Diajaknya Lastri turun menuruni tebing melewati ruas
jalan yang telah disediakan. Jika dahulu ruas jalan menuruni tebing tampak
lebih ekstrim dan terjal, namun kini telah dipersiapkan ruas jalan berupa anak
– anak tangga.
“Tidak
kusangka jalanan ini kini berubah.” Kata Lastri memecahkan keheningan.
“Jadi,
tidak perlu takut lagi, bukan?” timpal Raka.
Mereka
berdua bergandengan tangan, berjalan menuruni anak – anak tangga yang berliku. Di
kanan kiri, bongkahan bebatuan yang terkikis oleh air laut menambah kesan
eksotik panorama. Deburan ombak berkali – kali datang bangkitkan kesan ekstrim bagi
para penakluk tebing terjal Ayana.
“Raka,
bisakah jalan perlahan?” pinta Lastri saat menyadari kakinya kini menjadi
sakit. Flat shoes yang ia kenakan tak sepadan bila diajak berkelana menuruni
anak tangga bebatuan. Raka menghentikan langkahnya. Ia menunduk menatap flat
shoes berpita yang membungkus kaki Lastri, dan kemudian tertawa.
“Hahahaha..,
Lastri, Lastri, memang tak ada yang berubah darimu. Kemanapun tujuan kau pergi,
flat shoes tetap menjadi andalan. Wkwkwwk..!” Raka terbahak – bahak puas
melepas tawanya.
“Auuu!”
Raka mengaduh kesakitan kala Lastri spontan mencubit lengannya.
“Aku
rindu mendengar tawamu lagi.” Perkataan Lastri membungkam tawa Raka.
“Ayo
lanjut!” Raka mengalihkan perhatian. Ditariknya lagi tangan Lastri sambil
lanjut berjalan. Lastri akhirnya terpaksa berjalan lagi sembari menahan sakit.
“Duk..!”
Raka melompat setelah sampai dipijakan anak tangga terakhir. Mereka berdua
disambut hangat semilir angin yang membangkitkan bulu kuduk roma. Raka dan
Lastri masih tetap bergandengan tangan. Diangkatnya tinggi – tinggi tangan
Lastri keatas awan sembari menghirup dalam – dalam aroma pantai yang selama ini
ia rindukan.
“Hiyaaa..!”
Raka berteriak seolah ingin melepaskan penat yang telah bergerumbul dalam
pikirannya.
“Hiyaaa..!”
Lastri menyusul berteriak.
Raka
lalu menarik Lastri untuk berlari ke tepian pantai. Lastri melepaskan sepatunya
dan membiarkannya tergeletak diatas pasir. Sementara itu Raka juga melakukan
hal yang sama.
“Ayo
kita taklukan pantai ini!” teriak Raka seraya menarik tangan Lastri. Mereka pun
berlari menuju tepian pantai. Masih dalam genggaman tangan Raka, Lastri
mengikuti arah kaki Raka melangkah. Mereka berdua begitu menikmati suasana kali
ini. Deburan ombak menjadi irama bagi langkah kaki mereka. Percikan – percikan
air laut ikut menjadi bagian dari permainan kaki – kaki nakal mereka. Percikan
air yang membasahi wajah dan pakaian mereka sekejap meruntuhkan ketegangan
diantara mereka berdua. Suara tawa mereka seolah membangkitkan kembali kenangan
– kenangan mereka yang telah lama terputus. Kenangan – kenangan itu mereka rajut
kembali dibawah tebing – tebing dalam rayuan pesona pantai Ayana.
“Berhenti,
Ka.!” Lastri menghentikan langkahnya sejenak.
“Kenapa?”
“Aku
lelah.”
“Baiklah
kita istirahat saja.”
Raka
menuntun Lastri berjalan. Mereka berjalan menjauh dari pesisir. Tak jauh dari
sana ada bebatuan yang bisa mereka duduki. Raka turut serta duduk setelah Lastri
duduk terlebih dahulu. Mereka akhirnya duduk berdampingan. Lastri duduk selonjoran
membiarkan kedua kakinya tenggelam dalam timbunan pasir. Sementara Raka duduk
sambil menekuk kedua kakinya. Ia kemudian menatap laut, pikirannya menerawang
lagi.
“Hff,
Sudah lama sekali aku tidak melihat pantai.” Sesal Raka.
“Tak
sempatkah kau disana sesekali pergi ke pantai?”
“Memang
aku telah berkelana ke hampir setiap belahan bumi Eropa, namun tetap saja
pesona pantai disini lebih kurindukan.” Raka menghela nafas. Ada raut kesedihan
terpancar dari sela – sela matanya. Lastri bisa melihat mata Raka kini berair.
“Rakaaaa,
maaf..” Lastri kemudian menggenggam tangannya dengan hangat. Raka membiarkan
saja. Ia tetap lanjut berceloteh.
“Andai
saja aku bukan Made Raka. Andai saja tak ada perbedaan kasta di dunia ini.
Andai saja Aji-mu mau menerimaku.”
“Maaf.”
Lastri lantas menangis sesegukan lagi. Ia tak tahan mendengar keluhan hati
Raka. Laki – laki yang amat ia sayangi itu kini terluka.
“Sudahah.
Semua sudah berlalu. Hmm., lalu bagaimana dia?” Kali ini Raka menoleh menatap
wajah Lastri.
“Dia
?” dahi Lastri mengerut.
“Laki
– laki pilihan Aji-mu.” Sambung Raka.
“Dia
sangat baik.”
“Bahkan
lebih baik dariku?”
“Sama
baiknya denganmu, Ka.”
“Jadi,
kini kau telah menyukainya?”
Lastri
menganguk kecil. Hati Raka panas. Pisau yang telah tertancap dihatinya kini tertusuk
lebih dalam lagi. Raka terdiam. Suara ombak terdengar kian menghantam keras
tebing – tebing bebatuan. Walau sering dihantam ombak, meski kian lama
terkikis, tebing – tebing masih tetap berdiri kokoh. Tebing itu seolah
menggambarkan hati Raka. Walau serbuan luka yang kian membahana, meski hatinya
kian rapuh, ia masih mampu tuk berusaha tegar.
“Raka,
kapan kau berlayar lagi?” Keheningan yang sejenak tadi tercipta pecah oleh
pertanyaan Lastri.
“Sebulan
lagi liburanku berakhir.” Kata Raka sambil tersenyum.
“Raka,
tiba – tiba badanku tak enak.”
Raka
memperhatikan wajah Lastri pucat pasi dalam sekejap.
“Ada
apa Lastri?” wajah Raka ikut pucat.
“Hueeks!”
Lastri memuntahkan isi perutnya. Pasir – pasir halus yang tadinya bersih kini
bercampur kotor.
“Ayo
kita pulang!” Raka lantas berlari mengambil sepatu mereka berdua yang
tergeletak tak jauh dari tempat mereka duduk. Raka memakai sepatunya kembali,
begitu juga dengan Lastri. Mereka berjalan naik kembali keatas. Pelan – pelan Raka
menuntun Lastri berjalan.
“Hueeks..!”
ditengah perjalanan, lagi – lagi Lastri muntah – muntah. Raka berhenti sejenak
dan memijat – mijat urat lehernya.
Tak
sampai lima menit mereka tiba di tujuan. Mereka berjalan perlahan menuju tempat
parkiran.
“Sudah
berapa bulan, Las?”
“Dua
bulan.”
“Hehe,
tidak kusangka secepat ini.” Raka mengumbar senyum paksa.
“Masih
terluka kah hatimu?” Lastri berpaling melihat Raka.
“Ayo!
Cepat pulang!” Raka lantas mengalihkan muka.
“Tidak
apa sendirian menyetir?” sambung Raka.
“Tidak
apa – apa. Tenang saja.” Jawab Lastri seraya mengedipkan mata.
Sampai
didepan mobilnya Lastri berhenti dan bertanya lagi. “Hmm, Kita tetap
berteman?.” Tanyanya penasaran.
“Iya.
Teman.” Jawab Raka datar.
Lastri
masuk kedalam mobilnya. Sementara Raka berdiri diambang kaca pintu mobil.
“Tidak
langsung pulang?” Tanya Lastri heran.
“Silahkan
duluan Las.”
“Sampai
jumpa Ka.”
Raka
melambaikan tangan pada Lastri. Ditatapnya mobil mini hitam itu meluncur pergi.
Sampai badan mobil tak terlihat lagi, ia masih berdiri disitu, mematung seorang
diri. Bulir – bulir air mata tak ia rasakan kini telah merembes membasahi kedua
pipi. Semenit kemudian ia lantas berlari hingga tepat mencapai bibir tebing. Jantungnya
spontan berdegup kencang. Ia lihat bongkahan batu sebesar genggaman tangan
bertenger disana. Ia lantas kemudian menendang keras – keras batu tersebut
hingga tercebur jatuh kedalam lautan. “Pluk!” suara batu tercebur nyaris tak
terdengar tertutupi oleh suara deras ombak. Ia harap batu tersebut tenggelam di
dasar lautan paling dalam. Sedalam harapannya tuk menenggelamkan lukanya yang
terdalam.
***
Ket :
Sebutan
“Aji” berarti Bapak atau Ayah.
Perbedaan
kasta masih berlaku bagi sebagian masyarakat di Bali. Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering
menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan.
Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya
dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta
yang bermasalah kadang masih terjadi. (sumber: http://imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/)
No comments:
Post a Comment