Rintik hujan
menyapu ibu kota. Lalu lalang bus – bus tak sabar mengantri. Berdesak – desakan
melaju perlahan diiringi seruan klakson berderu – deru. Beberapa bus tampak
terlihat baru tiba di pintu masuk. Sementara beberapa bus lainnya bergantian
ngerem lalu melaju melesat bebas melewati pintu keluar. Kepulan asap abu – abu
menghitam diantara rintikan hujan. Asapnya menelusup masuk melewati hidung
kemudian hinggap ke paru – paru. Seketika aku terbatuk – batuk. Segera kututup
hidung dan menahan nafas dalam – dalam, sampai tak kurasakan lagi asap itu menerobos
ke masuk hidungku. “Srfff..!” pelan – pelan aku mengambil nafas lega sembari
menyeruput kopi panas dihadapanku. Aku duduk di kedai kopi menatap siang
berselimutkan hujan. Bersantai sejenak dari pekerjaan yang menguras tenaga. Seperti
biasa, di kedai kopi ini aku selalu menghabiskan waktu istirahat.
“Hey, melamun sampean!”
Bambang menepuk pundakku kemudian ikut duduk disebelahku. Aku tersenyum
melihatnya.
“Mbok, Kopi biasa
yo!.” tanpa ditawari Bambang memesan kopi.
“Siap..!” dengan
centilnya si Ibu – ibu pemilik kedai kopi berkedip.
“Dapat berapa sampean?”
tanyaku basa basi.
“Ya, lumayanlah.
Bisa buat pulang kampung nanti.”
“Alhamdulillah
ya.” Timpalku tanpa gairah.
“Jan, koe
belakangan ini murung terus? Masih kepikiran si Laksmi?” Bambang menatapku
dalam – dalam. Mukanya serius memperhatikanku.
“Sedikit Bang.”
Kataku lirih. Hatiku terluka. Ada sesak menelusup ke dada.
“Kira – kira sebulan
lalu ya?” Tanya Bambang. Aku mengangguk pelan.
“Jani, Jani,
kasihan sekali kawanku ini.” Ia menepuk – nepuk pundakku berusaha menghilangkan
beban kesedihanku. Aku menengadah menatap awan yang semakin kelam berusaha
menahan air mata agar tak tumpah.
“Ini kopimu
Bang. Kalau lihat Jani terus sedih begini, bisa – bisa kedaiku jadi sepi.” Mbok
Made datang membawa kopi pesanan Bambang lalu ikut nimbrung bersama kami.
Siang itu kami
bercerita lagi. Cerita mengenai apa saja. Aku dan kawanku, Bambang biasa
nongkrong disini. Jika lelah menjajakan jualanan masing – masing, kami duduk
bersantai di warung milik Mbok Made. Aku dan Bambang berkenalan di tempat ini.
Tempat dimana kami mencoba mengais rejeki., menawarkan aneka minuman atau
makanan ringan. Ketika bus – bus tiba memasuki terminal, kami bersiap mencegat
para penumpang yang turun, menawarkan dagangan kami. Sebaliknya jika bus – bus
hendak berangkat, kami memasuki satu persatu bus, berjalan melewati setiap
kursi penumpang sambil berkoar – koar mempromosikan dagangan kami. “Minum,
Bu?”, Roti, Pak?”
Perkenalanku dan Bambang berbuah pada percakapan yang menyenangkan. Kami berdua sama – sama bujangan perantau dari pulau seberang. Bambang berasal dari Banyuwangi, sementara aku dari Wonogiri. Merantau demi sesuap nasi di ibukota provinsi Bali itulah misi kami. Kesamaan pendapat dan pikiran membuat kami semakin akrab, sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk patungan menyewa kost – kostan bersama demi penghematan. Disinilah dunia kami. Tak jauh dari tempat kami bekerja sebuah ruang kamar kost berdiri menjadi saksi perjuangan kami. Aku telah menghabiskan setahun perjuanganku, sementara Bambang lebih lama setahun dariku. Bambang telah menjadi kawan dekatku. Begitu banyak kisah Bambang yang kuketahui. Sebaliknya juga begitu banyak kisahku yang diketahui oleh Bambang, termasuk kisahku merenggut cinta Laksmi.
Laksmi, gadis
ayu yang pemberani. Memutuskan merantau dari Semarang setelah lulus SMA.
Beruntung diterima bekerja di kedai kopi Mbok Made.
Pembawaan ramah
si Mbok yang asli tinggal di Bali menjadikannya akrab dengan siapa saja
penghuni terminal ini. Pelanggan Mbok Made kebanyakan para lelaki, entah itu
para Bli (sebutan laki – laki di Bali), maupun mas – mas perantau yang
kebanyakan berasal dari Pulau Jawa. Selain Bambang, Mbok Made jugalah saksi
kisah perjuanganku mendapatkan cinta Laksmi.
Nyaris setengah
jam kami bersenda gurau bersama Mbok Made. Kopi kami berdua telah habis tanpa
sisa. Bambang memutuskan untuk kembali bekerja. Kebetulan beberapa bus tengah
siap – siap diisi penumpang.
“Jan, kerja lagi yuk!” ajaknya.
“Ah, koe duluan
aja.” Tolakku.
“Ya, kejar
setoran buat lebaran nanti.”
“Ealaa, lebaran
masih enam bulan lamanya.” Timpalku.
“Alah, koe iki. Yowes,
Aku duluan.” Bambang pamit kepadaku.
“Mbok, ngutang
dulu ya kopi plus roti.” Bambang lanjut pamit ke Mbok Made.
“Naaaaah..”
logat khas Bali Mbok Made keluar seketika.
Bambang berlari
– lari kecil seraya menutup kepalanya dengan handuk kecil. Dibawah rintikan
hujan ia berlari menuju ke tempat deretan bus berisi penumpang singgah. Ada
guratan lelah terpancar dari raut mukanya. Namun semangatnya mengalahkan
lelahnya. Sementara aku masih duduk di kedai Mbok Made.
“Jan, bantu Mbok
sebentar ya.! Jagain warung bentar, Mbok mau mebanten (sembahyang agama
Hindu).”
“Siip Mbok.” aku
menjentikkan jari pertanda setuju.
Mbok Made telah
siap dengan atribut pakaian sembahyang-nya. Memakai kamen serta membawa canang
untuk sesajen. Ia berjalan kearah Pura di areal terminal. Di siang itu Mbok
Made berjalan membawa canang sembari memayungi diri berlindung dari rintik
hujan. Sementara aku tetap duduk, berusaha memayungi diri dari guyuran sedih
yang berkepanjangan.
**
“Laskmi, buatkan
kopi dua ya!” seru Mbok Made sambil memotong – motong sebuntalan janur
dihadapannya.
“Widih Mbok,
siapa itu Laksmi? Anak Mbok ya?” Bambang berceloteh semaunya.
“Bukan. Asisten
Mbok yang baru.” Mbok Made melirik Bambang kemudian lanjut bercengkrama
menekuni pekerjaan membuat canangnya.
“Ini kopinya.”
Suara lembut terdengar menyejukkan telinga. Gadis berpenampilan ayu dengan rambut
panjang terikat kebelakang menyapa aku dan Bambang dengan suguhan kopi panas.
Sontak mata kami berdua terpana menatap pesona gadis manis itu. Warna matanya
hitam kecoklatan, bentuknya bulat. Bulu matanya lentik berkedip – kedip
menempel pada ujung kelopak mata. Bibirnya kecil merah merekah. Rambut
panjangnya tampak hitam legam nan segar. Tinggi tubuhnya rata – rata. Kulitnya
hitam manis khas gadis Indonesia.
“Ini toh
Laksmi.” Bambang menyerobot menggoda.
“Kenalan dong!”
timpalku tak mau ketinggalan.
“Yeee, para
bujang beraksi disini. Jangan mau Mi, gak jamin” cibir si Mbok Made. Laksmi
tersenyum malu - malu kemudian lalu kembali masuk ke dapur.
“Yah, si Laksmi
masuk gara – gara si Mbok.!” Seru Bambang tak terima. Sementara Mbok Made yang
disindir terkekeh – kekeh sembari tetap bekerja dibalik meja kasir.
Di siang yang terik kala itulah aku bertemu
dengan Laksmi. Pesona gadis itu membuat hatiku semakin tertarik berkunjung ke
kedai Mbok Made. Debar menggelora setiap hendak menuju kedai. Ada getar yang lambat
laun menghantam relung – relung hati yang sepi. Meski Bambang sempat tertarik
pada Laskmi, Bambang yang sudah memiliki gadis pujaan akhirnya merelakan Laksmi
untukku. “Biarlah Laksmi untukmu kawan.! Aku tetap setia pada Salma yang
menantiku di Genteng Banyuwangi.” Kata Bambang seraya menatap foto Salma yang
tersemat pada dompet lapuknya. Selapuk jambangnya yang terus tumbuh memenuhi
jakun dan bawah hidungnya.
**
“Laksmi, nanti
malam kan malam minggu nih, jalan yuk sama Abang!” godaku di terik siang.
“Eh, malam ini
ya? Waduh, sayang sekali Laksmi ada kursus.”
“Kursus apa Mi?”
“Menjahit.”
“Kok malam –
malam kursusnya?”
“Ia. Kalau pagi
sampai sore kan disini kerja.”
“Oh iya ya.
Emang dimana kursusnya? Abang anter ya?”
“Hehe, geli
disuruh panggil Abang ke Mas Jani.”
“Biar lebih
mesra gitu?”
“Ada – ada aja.
Ogah ah!” Laskmi membuang muka kembali melayani para penikmat kopi.
Kebetulan Mbok
Made tak ada. Jadi tak kusia – siakan kesempatan yang ada. Beberapa pengunjung
kedai tersenyum – senyum melihat tingkahku menggodai Laksmi. “Haha, Mas,
ditolak ni ye..!” Mukaku merah padam. Malu dan grogi langsung menyetrum
sanubari.
**
Hari demi hari
kulewati tanpa pernah lupa singgah di kedai kopi. Setiap istirahat aku selalu
menyempatkan diri berkunjung ke kedai Mbok Made. Tepatnya mengunjungi Laksmi
yang selalu ada disitu. Kadang memesan kopi. Kadang hanya nongkrong duduk menyapa
Mbok Made.
“Mbok, apa
kabar?”
“Ye, tumben
tanya kabar? Ada maunya nih, hayo!”
“Gak Mbok, mau
numpang duduk disini boleh?”
“Numpang duduk
atau mau tebar pesona sama Laksmi?” Laksmi yang tengah menyajikan kopi langsung
menoleh ketika namanya disebut – sebut.
“Hai, Laksmi!”
aku melambaikan tangan padanya. Ia tersenyum manis kepadaku. Senyumnya seketika
menyetrum hatiku. Seperti ada kilatan – kilatan tanda cinta mengelilingi keningku.
“Mbok bentar
lagi tutup. Jadi, kamu gak bisa lama – lama disini.”
“Loh, kok gitu
Mbok?”
“Mbok ada acara.
Keluarga Mbok ada yang nikah. Jadi pulang cepat.”
“Wah, Laksmi
habis ini bebas toh?” aku sengaja mengeraskan suara supaya terdengar oleh
Laksmi.
“Memangnya kamu
gak kerja?”
“Gampang Mbok.”
“Tapi, Laskmi
mau gak?” Mbok Made menoleh kearah Laskmi.
“Apa Mbok?”
Laskmi yang sibuk menyeduh kopi mengangkat wajahnya menatap Mbok Made.
“Ini, Jani mau
ajak kencan kamu selepas kita tutup siang ini.”
“Oala.. Hihihi..
Pantang menyerah dia.” Laksmi terkekeh puas menguji tekadku.
“Demi cinta Mi.”
mataku berkedip menggoda.
“Mau gak Mi?”
tanyaku tak menyerah. Tak ada jawaban darinya. Laksmi tersenyum penuh makna. Ia
mengangkat bahu, matanya bergerak – gerak ke kanan ke kiri kemudian masuk ke
dapur membawa cangkir – cangkir kopi yang telah kosong.
Yes. Aku
berhasil mengajak Laksmi kencang siang itu. Aku meninggalkan daganganku
sejenak. Kutitipkan daganganku pada Bambang. “Bang, aku pergi dulu yo!” bisikku
padanya. Kutinggalkan Bambang yang tengah duduk menghisap rokok di pinggiran
jalan pintu masuk loket. Ia mengacungkan jempol kearahku yang kini telah duduk
berboncengan bersama Laksmi. “Greeng..!” aku memacu sepeda motorku yang masih
kredit itu keluar dari terminal. Membawa makhluk cantik bernama Laksmi.
Membawanya bersama cintaku yang kian lama berdikari.
Mulai hari itu
aku dan Laksmi mulai mendekatkan diri. Cintaku makin mengembang disana sini.
Setiap seminggu sekali aku mengajaknya berkeliling. Menikmati panorama tengah
kota. Berjalan di pinggiran taman kota menjelang pagi. Menikmati segelas es
cendol sore hari di depan terminal. Mengajaknya menjajaki kota Denpasar, ke
berbagai pusat perbelanjaan maupun pasar tradisional.
“Mas Jani,
ternyata disini malah banyakan orang Jawa ya yang berdagang.” Laksmi berbicara
sembari mengaduk – aduk es cendol.
“Ia Mi. Disini
lebih banyak orang jawa yang berdagang. Kata si Bambang, kalau Idul Fitri udah
datang, Bali jadi sepi.”
“Dagangnya pada
mudik semua.”
“Benar sekali.”
“Trus, penduduk
asli disini kebanyakan kerja kantoran begitu?”
“Hm, sepertinya
begitu. Rata – rata banyak yang menjadi pegawai negeri atau swasta. Banyak juga
tuh yang menjadi tuan tanah.”
“Maksudnya?”
“Orang yang
memiliki kekayaan berupa tanah. Seperti Mbok Made. Beritanya dia punya tanah
berupa kost – kostan disamping rumahnya. Kamu memangnya belum pernah ke rumah
Mbok Made toh?”
“Belum. Laksmi
taunya warung Mbok aja.”
“Hm.. Mbok Made
terlihat memang orang berada. Tapi kenapa dia masih mau ya panas – panasan
berjualan di terminal?” lanjut Laksmi penasaran.
“Mas Jani juga
pernah Tanya ke Mbok. Katanya ia gak betah duduk diam menunggui kost –
kostannya. Lebih baik dia bekerja disini. Bersama usaha yang telah ia rintis
sejak muda dulu.”
“Wah, wanita –
wanita Bali memang ulet ya. Buat canang untuk sembahyang sendiri, pandai menari
pula.”
“Apa? Mbok Made
bisa nari?”
“Ye, gak
percaya? Ketika masih gadis ia sering diajak pentas menari dikalangan banjar
perkampungan rumahnya.
Begitulah
obrolan – obrolan kami mengalir begitu saja. Berdiskusi mengenai penduduk Bali.
Mengagumi panorama kotanya akan jejeran patung – patung bernilai seni yang
selalu tampak terlihat pada bundaran – bundaran jalan besar. Terheran – heran
melihat kebanyakan bangunan yang berjejar tak pernah lebih dari dua lantai
seperti kota – kota besar lainnya, contohnya Surabaya. Memprotes aneka polusi
berupa debu dan asap yang mencemari lingkungan kota. Laksmi selalu tak mau menceritakan kehidupan
pribadinya. Sempat beberapa kali aku bertanya mengenai kehidupannya, tak
sedikitpun ada kesempatan itu. Laksmi selalu mengalihkan pembicaraan. Berbicara
mengenai hal – hal lain tentang pengetahuan dunia baru yang ia pijaki. Aku
menjadi semakin penasaran dengannya. Gadis pemikat hatiku itu menyimpan misteri
yang mungkin harus aku kuak secara perlahan.
**
“Siang Laksmi.!”
Untuk kesekian kalinya aku hadir memenuhi kedai Mbok Made. Kali ini Bambang
juga ikut bersamaku. Laksmi tersenyum membalas sapaanku.
“Mbok Made,
pesan rujak besik (satu) nah.”
Bambang sok – sok-an berbahasa Bali. Disamping menjual kopi, Mbok Made juga
menyajikan aneka jajan Bali dan juga makanan khas bernama “rujak”.
“Naaah. Kude
misi tabia?” (berapa isi cabai?)
“Hah, apa Mbok?”
Tanya Bambang bingung.
“Ye, kirain
lancar.. Dua atau tiga cukup?” Mbok Made memperlihatkan cabai kecil di meja
tempatnya menaruh ulekan.
“Dua Mbok. Kamu
mau Jan?” Tanya Bambang padaku.
“Au, kuahnya
rasa pindang.”
“Eala, namanya
juga rujak kuah pindang. Enak tau! Sensasi aroma khas pindang rasanya gimanaaa
gitu.”
“Laksmi! Buat
rujak ya untuk Mas Bambang. Mbok mau sembahyang dulu.”
“Wah, Laksmi
bisa buat rujak kuah pindang sekarang?” tanyaku terheran – heran.
“Iya dong,
Laksmi cepat belajarnya.” Laksmi memuji diri sendiri.
Aku penasaran
dengan cara membuat rujak kuah pindang. Aku menengok menjulurkan leher ke meja
tempat Laksmi meracik bumbu rujak. Dengan saksama kulihat Laskmi beraksi.
Terasi, garam, petsin, serta dua batang cabai kecil merah diulek bersamaan
hingga merata. Setelahnya Laksmi menuang dua sendok sayur kuah pindang dalam
panci kecil yang diletakkan tepat disebelah ulekan.
“Buahnya apa Mas
Bambang?”
“Mangga dan
papaya.” Bambang ikut melirik memperhatikan meja meracik rujak.
Tak sampai
semenit kemudian sepiring rujak tersaji dimuka Bambang. Aku bergidik menatap
piring berisi rujak.
“Srrff..!”
Bambang menyeruput rujak begitu nikmatnya.
“Enak.?”
Tanyaku.
“Coba aja.”
“Udah pernah.
Ogah ah. Hiii..” aku berpaling dari piring rujak Bambang menoleh ke muka
Laksmi. Gadis itu tersenyum membalas pandanganku. Ada rona merah tampak jelas
dipipinya. Hatiku lansung berdendang. Nyanyian cinta tiba – tiba berkumandang.
**
Pagi yang cerah
membawaku bersemangat bekerja kembali. Meski sudah setiap hari bertemu Laksmi,
semangat mengawali hari selalu tak pernah sirna dari hati. Ingin kucepat –
cepat sampai di terminal. Menyongsong pagi bertemu dewi sembari berkerja siap
disengat terik mentari.
Aku naik bus
yang sebentar lagi pergi. Seperti biasa menawari makanan dan minuman ringan
kepada calon pembeli.
“Minum, Bu!
Roti..! Roti! Permen! Permen!” begitu teriakku.
“Laksmi?”
tanyaku heran begitu melihatnya duduk di sudut pojok kursi penumpang bus.
Mukanya kali itu tampak pucat. Ada benjolan besar menutupi matanya. Tampak
terlihat jelas sekali bekas tangisan memenuhi matanya.
“Eh, Mas Jani.”
“Kamu mau pergi
kemana?”
“Balik ke
Semarang Mas.”
“Kok mendadak?”
tanyaku penasaran.
“Ia. Udah bilang
kok ke Mbok Made.”
“Ada apa toh kok
bengkak matanya?”
“Gak apa – apa
Mas.”
“Cepat balik
ya!” aku tersenyum padanya.
“Hm, kayaknya
bakal lama baliknya. Atau mungkin gak balik lagi.” Kata – kata Laksmi seketika
menyambar hatiku.
“Kok gitu?” aku
menatap matanya lekat – lekat. Air mata yang tertahan kelopak mata akhirnya tak
tertampung, tumpah mengalir deras. Pemandangan ini sontak menarik perhatian
para penumpang lain.
“Sebentar lagi
siap berangkat. Yang mau belanja silahkan.!” Kernet bus bersorak sembari
meminta tiket para pengunjung.
“Laksmi. Ada
apa?”
“Anakku sakit parah
Mas. Ibuku sudah tua. Aku harus menjaganya, Mas.”
“Jadi kamu sudah
berkeluarga?” aku ternganga. Tak kuasa menahan sambaran – sambaran yang merobek
hatiku lagi.
“Janda, Mas.”
Laksmi menahan tangisnya lagi.
“Mas, cepat turun. Bus mau berangkat.” Kernet
bus memperingatkanku.
“Laksmi, HP-mu
mana?”
Aku memencet
nomor HP-ku pada layar HP-nya.
“Mi, ini nomor
Mas Jani. Simpan ya! Kabar – kabari Mas ya!” pintaku padanya. Aku kemudian
berjalan keluar menuruni tangga pintu keluar bus.
Aku diam menatap
bus yang ditumpangi Laksmi. Kulihat dari baik jendela Laksmi menghapus air
matanya sembari menatapku. Aku melambaikan tangan padanya. Ia balas dengan
senyuman.
**
Sejak saat itu
aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Laksmi pergi tanpa kabar lagi. Ia tak
pernah mengabariku sekalipun hingga sebulan ini. Rintik – rintik hujan berubah
seketika membanjiri terminal kota. Hujan seolah ikut bersua menambah deritaku.
Mbok Made yang telah usai melakukan ritual sembahyangnya kembali lagi ke
warungnya.
“Jan, makasih ya
udah ditunggui.” Mbok Made tersenyum padaku.
“Iya Mbok. Sama
– sama.”
“Kopi gratis deh
gak usah bayar.”
“Makasih Mbok.
Aku langsung pulang ya?”
“Lho, hujan
lebat gini mau pulang? Gak nunggu reda?”
“Gak Mbok.! Gak
apa – apa.”
Aku berlari
menerobos hujan lebat menuju tempat motorku terparkir sembari membawa dagangan.
Sekilas Bambang memangilku dalam deru hujan. Tak kutoleh dia. Aku terus berlari
berusaha melapangkan hati. Membawa pergi segala tangis hati dibawah guyuran
hujan terminal kota.
Setingnya di terminal Ubung kah? Jaan sajan.... :D
ReplyDeletehehe.. iya sista.. Iseng" aja buat cerita.. ;)
Delete