Aku
baru saja selesai melakukan rutinitas perburuanku, mengoyak – ngoyak sampah demi
temukan sisa makanan yang dapat kumakan. Perut kenyang membuatku bersemangat
kembali. Akan tetapi, ketika aku hendak melangkah pergi meninggalkan timbunan
sampah, nasib sial malah telah menanti. Musuh lamaku muncul tanpa diduga. Matanya
yang menyala – nyala bagai tersulut api kemarahan menantiku di ujung gang.
Dadaku seketika sesak. Api dari matanya membuat ketakutan seketika menyusup melewati
paru – paruku. Kaki – kakiku bergetar, menahan beribu kecemasan yang melanda.
Kini lengkaplah sudah, aku terpenjara dalam rasa cemas dan takut tuk menghadapinya.
“Hei,
kita bertemu lagi!” pandangan matanya seolah berkata demikian. Kulihat ia
berdiri dengan angkuhnya. Ia menyeringai sembari menatapku lekat – lekat. Api
kemarahan masih tampak jelas dimatanya. Sedangkan aku masih diselimuti gelora
ketakutan. Tapi, dengan sedikit keberanian, kucoba melawan ketakutan itu.
Seribu tenaga kukerahkan tuk pergi menghindarinya. Aku lari terbirit – birit.
“Hei
jangan lari!” suaranya yang khas makin mempercepat irama berlariku. Aku berlari
sekencang – kencangnya tanpa menoleh lagi. Kutahu ia sudah pasti mengejarku
kini. Aku terus berlari tanpa peduli jalanan licin akibat lumpur yang
menggenang di sepanjang gang. Cipratan – cipratan air bercampur lumpur yang
pada akhirnya mengotori wajah dan tubuhku pun tak kupedulikan. Yang kuinginkan
saat ini adalah segera terbebas dari buruannya. Aku tak tahu harus meminta
tolong pada siapa. Meski berteriak sekalipun belum tentu akan ada yang
mendengarkanku. Meski salah satu anggota kawananku melihat kejadian ini, belum
tentu mereka akan menolongku. Bisa jadi niat mereka urung ketika melihat musuh
lama, yakni musuh lama kawanan kami yang mengejarku. Alhasil mereka pasti hanya
menatap ngeri melihat aksi kejar - kejaran ini.
“Hff…
hff.. Hfff..!” nafasku mulai tersenggal – senggal. Tapi aku belum mau menyerah.
Masih ada kesempatanku untuk berlari dan terus berlari meski musuh lamaku itu
tampak tak mau menyerah juga mengejarku.
“Mau
kemana kamu hah?” suara lantangnya semakin dekat saja. Aku berlari semakin
kencang dan lincah. Kuterobos setiap pemukiman disepanjang gang, sampai
akhirnya otakku harus terpaksa berpikir mencari ide, kala kulihat ujung gang
yang kulewati ternyata buntu. “Aduuuh..!” kepalaku mendadak sakit. Tapi untung
saja nasib masih berpihak padaku. Begitu dekat dengan tembok buntu batako yang
kokoh berdiri, kulihat ada lubang kecil disisi ujungnya. Aku rasa tubuhku muat
masuk menerobos kesana. Sementara ia dengan besar tubuh kira – kira empat kali
lipat dari ukuran tubuhku tak mungkin muat memasuki lubang itu. Dengan api kenekatan
yang membara, aku memejamkan mata sembari berlari masuk ke lubang kecil
tersebut.
“Dug..!”
Suara tembok beradu kepala terdengar begitu keras. Aku membuka mata dan meraba
keningku. Ternyata tidak terjadi apa – apa. Aku masih baik – baik saja. Tubuhku
masih utuh. Sementara ini aku aman berada disini. Terowongan gelap beraroma
pesing bercampur aroma sampah menyelamatkanku dari kejaran musuh bebuyutanku. Dari
dalam terowongan aku bisa bernafas lega. Kudengar ia mengaduh kesakitan sembari
berkoar – koar, “Rrrrr!!” Tampak diluar hentakan – hentakan tangannya berusaha
memasuki terowongan kecil tempatku kini bersembunyi. Kukira dia kini benar –
benar mengamuk seolah pertanda ingin berkata kepadaku, “Hey! Lihat saja akan
kutangkap kau!”
“Kresek..! Kresek..!” Spontan aku berbalik
arah menoleh berusaha melihat dalam kegelapan. Perlahan aku melangkah maju
sembari mencium aroma si musuh lamaku yang kutahu masih diluar sana.
“Kresek!
Kresek!’ suara – suara gerakan musuhku makin tercium. Aku beranikan diri
melangkah lebih maju, berdiri tepat dibibir terowongan dan menempel pada
dindingnya. Niatku ingin menjulurkan sedikit kepala ini terhenti oleh perasaan
cemas yang menggelora. Kuurungkan niat kemudian berbalik mundur.
Aku
masih dihantui perasaan takut. Kesempatan bersembunyi didalam terowongan aku
manfaatkan untuk beristirahat sejenak meregangkan tubuh.
“Kreoook!”
perutku lapar kembali. Aku mengais – ngais tanah yang kupijaki mencoba mencari
sisa – sisa makanan yang mungkin tersangkut di terowongan ini. Namun, semua
tampak sia saja, karena baru kusadari aku bukan sedang berdiri diatas tanah,
melainkan diatas suatu benda keras yang tak bisa kukais – kais dengan jemariku.
“Braaak!
“ tiba – tiba aku merasa terowongan kecil ini seperti terguncang. Aku bersiaga,
otakku mulai mencari ide, bagaimana aku bisa keluar dari terowongan ini.
“Haruskah
aku keluar dari pintu yang sama? Wah, sudah pasti ia masih menungguku diluar
sana.”
“Haruskah
aku maju melangkah ke depan? siapa tau ada jalan keluar bila aku terus
berjalan? Sepertinya ini langkah yang tepat.” Aku berpikir sejenak sampai –
sampai tak menyadari ada kilatan berwarna kuning terihat dari lubang
terowongan.
Cahaya
kuning menyala berbentuk runcing tampak menyeramkan tuk dipandang. Aku sudah
menduga cahaya kuning tersebut berasal dari monster hitam legam bermata kuning,
alias musuh lamaku yang sedari tadi berusaha memburuku. Sebuah bola mata kuning
runcing menyala itu menatapku penuh api kebencian. Api yang selalu tersulut
setiap kali kami tak sengaja berpapasan. Sudah berulang kali kawanan monster
besar itu menjadi musuh kawanan kami. Entah bermula dari kawanan mana, dan penyebabnya
apa, kawanan monster besar pemburu dan kawanan kerdil seperti aku ini selalu
tak pernah akur bila bertemu. Bukan apa – apa , kawanan kami yang kerdil
bukannya takut menghadapi kawanan monster besar itu, namun badan kerdil kami
tidak ada apa – apanya bila dibandingkan dengan tubuh raksasa yang dimiliki
kawanan monster.
“Rrrr!”
Geramannya seolah ingin berkata, “hey, kerdil! Tak mungkin kau lepas dariku!
Sudah, menyerah sajalah!”
Aku
diam tak menghiraukan tatapan kebencian dan amarahnya yang tersulut api. Aku
harus berusaha memutar otak tuk segera keluar dari terowongan, berusaha tak
terpancing oleh api kegilaannya memburuku.
“Rrrrr!”
Mana kepiawaianmu? Bisanya pergi kabur dari kejaranku? Kenapa kita tak
bertarung saja?” Mata kuningnya melotot kearahku, api makin memanas di arena
perburuan.
Namun,
sekali lagi aku tak terpancing. Aku meraba dinding terowongan berharap temukan
celah tuk keluar. Aku menyeret kaki – kakiku yang sudah semakin melemas. Saluran
nafasku seakan tercekat. Namun tidak dengan penciumanku. Aku terus berjalan
mengikuti insting indra penciumanku yang lumayan tajam.
“Braaak!
Duk..!” sebuah benda masuk mengguncang terowongan. Kulihat tangan monster legam
itu sedikit bisa memasuki terowongan. Dengan sigap aku lompat menerjang dan menggigit
tangannya. “Rrrgg..!” Ia mengaduh kesakitan. Aku terus mengigit tangannya
supaya ia menyerah. Akan tetapi aku tak mempertimbangkan konsekuensi
selanjutnya. Ternyata tangannya bergoyang – goyang sengaja ia hentakkan keatas,
kebawah, kekanan, dan kekiri hingga menyentuh dinding – dinding terowongan. Hal
itu membuat tubuhku terang saja terguncang dan bertabrakan dengan dinding
terowongan yang keras. “Tidak! Tidaaak!’ aku mengaduh kesakitan. Terpaksa aku
melepaskan gigitanku hingga akhirnya tubuhku jatuh terhempas kebawah terbebas
dari hantaman tangannya.
“Hfff..!
Hff…!” berulang kali aku mengatur nafas. Aku meraba tubuhku. Ada sedikit lecet
menghiasi permukaan kulitku. Beberapa bulu rambutku ada yang terlepas, dan
beberapa bulu rambut si monster malah tertinggal dikulitku.
“Tap!”
Baru saja aku menghela nafas, tangannya sudah menggenggam tubuhku. Cepat –
cepat aku memulihkan tenaga berusaha menggigit tangannya keras – keras. Ia
akhirnya melepaskanku walau masih sempat mencakar punggungku. Aku pun sontak berlari
menjauh.
Darah.
Kuraba tubuhku dan kucium aroma darah keluar dari kulit tubuhku. Aku meringis
kesakitan. Sempat terlintas ide untuk menyerahkan diri saja kepada si monster,
tetapi hati dan tekadku tuk menghindar dari si monster mengalahkan keputusasaan.
Aku tetap berjuang sendiri meski harus mati di terowongan ini. Ya, setidaknya
jarak pintu masuk terowongan dan tempat kini kutergeletak tak mungkin
terjangkau lagi oleh tangan besar si monster. Aku tengkurap, badanku lemas,
mulutku komat – kamit berdo’a, dan seketika mataku terpejam.
Lima menit kemudian
Aku
membuka mata. Kulihat suasana masih tampak sama. Dugaanku berada di alam lain
tidak terbukti. Bersyukur ternyata aku masih diberi kesempatan hidup. Tubuhku
masih tergeletak di dalam terowongan, masih dalam gelap disinari sebuah
lingkaran kecil cahaya yang menyusup dari pintu masuk terowongan.
Aku
menegakkan kepalaku. Kulihat suasana tampak damai diluar sana. Tak ada lagi guncangan – guncangan, tak ada lagi
tangan si monster yang menyusup kedalam terowongan. Yang ada, hanya aku dalam
terowongan damai. Tampaknya api amarah dan kebencian musuh lamaku itu ciut
karena tak berhasil menangkapku. Ada perasaan bangga akan diriku yang mampu
bertahan hingga detik ini. Maka, untuk memastikan keadaan diluar dalam keadaan
baik dan aman, aku beranikan diri untuk mendekat dan mengintip.
“Hah,!
Mau kemana kau?” Baru saja aku mengeluarkan tubuhku sedikit, si monster yang
ternyata masih menunggu diluar langsung muncul mendekat. “Ciiit!” aku mencicit
ketakutan langsung kabur kembali menjauh dari pintu terowongan. Si monster hendak
measukkan tangannya kembali, namun langsung urung begitu suara majikannya
datang.
“Bolang,
kamu ngapain disini?”
“Meoooong…!”
“Ayo
kita pulang sayang. Jangan merusak pipa saluran rumah orang ya?.”
“Meoong..!”
“Bolang
bandel.!”
“Meooong..!”
Suara
pemilik monster legam tersebut akhirnya menjadi penyelamatku. Si monser legam
bermata kuning dan berkumis tipis itu akhirnya terpaksa pergi dan tak berusaha
memburuku lagi. Si majikan menggendong monster legam dipundaknya. Monster dan
majikannya berjalan pergi meninggalkan terowongan saluran pipa, tempat dimana aku
bersembunyi. Pada saat itulah, aku berjalan maju mendekati pintu terowongan.
Dengan santai aku keluar darisana. Kulihat monster legam menatapku masih dengan
api amarah dan kebencian. Kumisnya naik turun seolah menandakan isyarat mengejekku,
“Sampai ketemu lagi Tikus kerdil!”
22 January 2013, pk 00.10
Denpasar
No comments:
Post a Comment