“Lepaskan !
Lepaskan aku !” Ia berteriak memberontak. Tubuhnya terbaring diatas sebuah
kasur putih dengan kedua tangan terikat pada dua sisi tiang kasur. Bola matanya
berputar – putar, melotot keluar. Tubuhnya kurus tak tearawat. Bibirnya bergetar
terus menerus berteriak minta dibebaskan. Tangisan dan teriakannya membuatku
sedikit takut berada didekatnya.
“Lepaskan!
Lepaskan aku !” kali ini suaranya mungkin sudah terdengar hingga keluar ruangan
kamar. Api menyala – nyala dari matanya yang kini memerah. Ia menghantam –
hantamkan kedua kakinya ke tiang kasur, berusaha mencoba meloloskan diri dari
ikatan kuat yang melingkar pada pergelangan kedua tangannya.
“Lepaskaaaaaaan..!!
huaaaaa…!”
“Tenang, Bu !
Tenang..!” aku berusaha berbicara lembut kepadanya.
“Sialan!”
Seketika aku
langsung shock mendengarnya. Seorang ibu paruh baya yang tak terurus itu
berseru demikian kepadaku. Aku jelas
tentu mengerti kalimat tersebut bukan ditujukan padaku. Maka dari itu, demi
sebuah tugas dan misi aku tetap tegar menghadapinya. Toh, ini baru hari pertama.
“Ibu, minum obat
dulu ya?” aku tersenyum lembut kepadanya. Senyumanku malah dibalas tawa keras
darinya.
“Hahahaha…! Kau
menyuruhku minum obat?”
Aku mengangguk.
“Kau berusaha
membunuhku dengan obat, keparat..?!”
“Tidak mungkin
Bu” aku menggeleng ketakutan. Kulirik Suster Rina yang berada disampingku
berusaha meminta bantuannya tuk membujuk si ibu.
“Ibu, ayo minum
obat dulu. Nanti dimarahi Tuhan lho..!” suster Rina tersenyum sambil siap
menyendokkan obat ke mulut si ibu.
“Benar, Tuhan
marah?”
“Makanya minum
obat ya? Nanti Tuhan bakal nyuruh Suster Rina buat lepasin ikatan ini.” Suster
Rina mengangkat kepala si ibu dan memasukkan sesendok obat kedalam mulut si
ibu.
Sejenak si ibu
terdiam tak memberontak lagi. Api yang tampak jelas dimatanya tadi seketika
redup disirami bujukan suster Rina.
“Ayo kita
biarkan dia istirahat.” Pinta suster Rina padaku. Kemudian aku dan suster Rina
berbalik pergi dan menutup pintu kamar si ibu. Kulihat si ibu menutup matanya
pelan – pelan sampai akhirnya terpejam.
“Kamu harus
bersabar ya. Ibu Jelita sudah disini lebih dari dua tahun lalu. Dan, kadang –
kadang ingatan tentang masa lalunya yang menyakitkan bangkit kembali. Makanya,
tingkahnya seperti tadi itu.” Suster Rina berusaha menyemangatiku.
“Iya Sus, ini
memang tugaksu. Kalau bukan demi menyelesaikan tesis dari kampus, saya sudah
pergi ganti topik.”
Aku dan suster
Rina berbincang – bincang mengenai ibu Jelita sambil berjalan menuju ruang
kerjanya. Sesampainya di ruang kerja suster Rina, yang merupakan kepala suster
Rumah Sakit, ia memperlihatkan padaku data – data Ibu Jelita.
“Fotocopy data –
data Ibu Jelita, dan pelajarilah! Semoga itu membantu pembuatan tesis materi
kuliahmu.”
“Terima kasih
Suster Kepala.” Kataku sembari tersenyum pada suster Rina.
“Iya sama –
sama.”
Aku berjalan pergi meninggalkan rumah sakit.
Di depan pintu keluar, aku mengambil handphone dari dalam tas. Ketika hendak
menelpon taxi, kupandangi sejenak wallpaper layar handphone milikku. Senyum
simpul wajah Ibu menatapku dengan hangat. Aku membalas tatapannya penuh rindu. “Tenanglah
Ibu, misiku kan segera kutuntaskan!” seruan semangat menggema kedalam pikiran.
Kobarannya menyala – nyala bagai serigala yang siap menerkam mangsa.
**
Esok paginya aku
kembali ke rumah sakit.
“Selamat pagi.!”
Customer Service di lobi depan menyapaku dengan senyuman.
“Pagi.! Suster
Rina sudah datang?” tanyaku sembari membalas senyumnya.
“Oh, sudah.
Silahkan langsung saja ke ruangannya ya, Mbak.”
“Terima kasih.”
Aku berjalan
menuju ke ruangan suster Rina. Di perjalanan aku berpapasan dengan beberapa
pasien. Mereka bertingkah laku bermacam – macam. Tergambar jelas diwajah
mereka, raut muka keputusasaan dan kesengsaraan yang terbungkus oleh berbagai
aksi pertunjukan.
“Hei, mau kemana
kamu?” seorang perempuan yang kira – kira seumuran denganku menghalangi
jalanku.
“Hei. Saya mau
cari suster Rina.” Jawabku berusaha tersenyum.
“Tidak ada.!
Suster Rina sudah mati.! Kubunuh dia tadi. Hahaha..!!” ia tertawa puas.
“Permisi..!” Aku
kemudian kabur mengambil langkah seribu lari dari hadapannya.
Sesampainya di
ruang kantor Suster Rina, aku langsung mengetuk pintu yang terbuka.
“Pagi Suster.!”
“Pagi Jihan!
Mari masuk!”
“Ini saya
kembalikan data – data ibu Jelita.”
“Iya, terima
kasih.”
“Jadi, sudah
siapkah kamu?”
“Tentu saja
Sus.”
Tiba di depan
pintu kamar ibu Jelita, kami berdua masuk dan menemui ibu Jelita sedang duduk
dengan tatapan kosong diatas sofa.
“Ibu Jelita, apa
kabar?” Suster Rina langsung menghampirinya.
“Haha, suster..!
Suster Rina cantik! Hihi..!” Jelita merangkul lengan suster Rina seraya
mengoyang – goyangkannya.
“Ibu, ada yang
mau kenalan tuh.”
“Siapa?”
“Ini Jihan.
Cantik bukan dia?” Suster Rina memperkenalkanku pada ibu Jelita.
“Halo ibu.!”
Sapaku sembari tersenyum.
“Suster, aku
takuuut..” ibu Jelita merangkul erat lengan suster Rina.
“Tenang ibu,
Jihan gadis baik kok.” Aku merunduk dan menatap lembut matanya.
“Jiaan, anak
baik?” ibu Jelita menatap suster Rina, dan suster Rina membalas pertanyaannya dengan
anggukan pelan.
“Jiaan, anak
baik.” perlahan kedua tangan ibu Jelita menyentuh kedua pipiku.
“Puk, puk..!”
pipiku ditepuk – tepuk perlahan olehnya. Aku tersenyum dan berkata, “Jadi, kita
berteman kan Bu.?”
**
Aku mengajak ibu Jelita berjalan – jalan di
pekarangan rumah sakit. Ibu Jelita duduk diatas kursi roda. Sembari santai
berjalan, sesekali aku mengobrol dengannya.
“Lihatlah Bu, dunia
itu begitu indah. Menghirup udara dibawah pepohonan rindang, menikmati panorama
alam yang begitu memukau. Kupu – kupu dan bunga bercanda dalam kemesraan. Kita
pun kini sedang bersantai menikmatinya.”
“Hihi..!
Hahaha..!” ibu Jelita sudah pasti tak menyimak kalimat panjangku. Ia tertawa –
tawa sendiri sembari menengadah ke langit luas, kemudian tiba – tiba menunduk
sedih. Seketika ia memilin – milin rambut pendeknya yang kusut lalu kemudian
bernyanyi – nyanyi.
“Bukan aku orang
itu! Aku benci kamu!”
Aku
membiarkannya saja. Seharian menghabiskan waktu bersama ibu Jelita membuatku
teringat kembali akan ibuku sendiri. Ada kesedihan mendalam menelusup dalam
diri Ibu Jelita. Sakitnya terpancar dari mimik wajahnya yang tampak depresi.
Jiwanya terganggu. Pikirannya tak menetu. Bayang – bayang masa lalu masih
hinggap sisakan luka. Tetesan air mata seketika menetes dari pipiku. Bayang –
bayang wajah ibu sekilas hinggap dibenakku. Rindu memang selalu terasa. Tapi,
kesedihan mendalam lebih ikut tertanam dilubuk hati. Kupandangi rambut ibu Jelita
yang mulai beruban. Percikan api tiba – tiba menyulut dari dalam diri. Inginku
segera menuntaskan misiku saat ini juga, akan tetapi akal pikiran sehatku
menyiramnya dengan beribu pertimbangan.
“Ibu, tunggu
saja. Misiku sebentar lagi terlaksana.” Kataku dalam hati. Aku pun menghapus
air mataku sambil terus berjalan. Bersama ibu Jelita melewati setiap tikungan
jalan berpetak.
**
Berhari – hari
aku mengunjungi ibu Jelita hingga akhirnya ia mulai terbiasa dengan
kedatanganku. Kami tak canggung tuk berbincang – bincang sembari berjalan – jalan,
atau mengobrol bersamanya di dalam kamar.
Tiba di suatu
hari yang tak terduga.
“Hiks..!
Hiks,,,!” tangis ibu Jelita tiba – tiba. Aku baru saja keluar sebentar untuk
menemui Suster Rina. Tapi, begitu kembali ke kamar Ibu Jelita, aku kaget
melihat ia duduk bersandar disisi tiang kasur sembari menangis.
“Ibu? Ada apa?”
aku langsung panik datang menghampirinya.
“Siiii.. siapa
kamu?” ibu Jelita melihat takut kearahku.
“Aku Jihan, bu.”
Aku mengguncangkan tubuh lemahnya sembari menatap matanya. Wajah ibu Jelita langsung
pucat pasi. Bibirnya gemetar menahan tangis. Ia kemudian merangkul kedua
kakinya sembari terus menatap curiga kearahku.
“Jangan! Pergi
jauh sana! Hiks ! hiks!” ia sedikit berteriak kepadaku. Aku yang tadinya
setengah berjongkok dihadapannya langsung berdiri. Kemudian hendak mengambil
tas selempang milikku yang kultinggalkan tadi diatas sofa. Niatku untuk pergi keluar
dari kamar meninggalkannya terhenti kala kutemui tasku dalam keadaan terbuka. Dompetku
berserakan disamping tas. Aku lantas mengambil dompetku yang juga dalam keadaan
terbuka. Mataku otomatis tertuju pada foto yang kusimpan didalam dompet. “Ibu”
. Wajah itu yang selalu menghiasi hati dan pikiranku. Ibu menjadi penyemangat
hidupku sekaligus pembuka kembali rasa sakit hatiku. Kupandangi sejenak foto
ibu sampai tak terasa air mata mengalir dari sudut – sudut mata.
“Wanita itu.!”
“Ya. Apakah kau
ingat ibu Jelita?” aku lantas menoleh kearah ibu Jelita yang masih terduduk
pasrah di lantai.
“Kkkkk…Kau dan
waaaa.. nitaaaa itu?” ibu Jelita menatapku lekat – lekat. Tatapan matanya tak
percaya hingga membuat bola matanya mencuat. Aku tersenyum seraya berjalan lalu
berjongkok dihadapannya. Kudekatkan mukaku kearah mukanya dan kukeluarkan foto
ibuku dari dalam dompet.
“Lihat, apakah
ada yang kau ingat dari wajah wanita ini?” aku menunjukkan foto ibuku lebih
jelas padanya.
“Tidak! Tidak!”
ia menggeleng – geleng tak percaya.
“Ibu Jelita,
wanita ini adalah ibuku. Wanita yang kau siksa sepanjang hari hingga dia mati
di tanganmu.” aku berbisik kepadanya. Api yang sempat meredup didalam dada
seketika langsung tersulut membentuk beribu percikan yang menyala – nyala.
“Hiks..! hiks!”
ibu Jelita menangis tersedu seraya menutup kedua telinganya.
Tangisan sendu
ibu Jelita rupanya tak meredupkan percikan – percikan api yang menyala. Kilauan
percikannya berubah menjadi satu kesatuan amarah yang telah tersimpan dalam
lubuk hati. Kobaran api amarah dan kebencian seolah menyatu dan tak dapat redup
bahkan oleh tetesan air dari malaikat baik yang sempat bernaung dalam diri.
Benci dan amarah yang tak tertahan membuatku tak banyak berfikir lagi. Aku
mencekik leher ibu Jelita dengan kedua tanganku.
“Jaaangaan!”
teriakan ibu Jelita nyaris tak terdengar.
“Matilah kau!”
aku berseru kecil seraya terus menyumbat aliran pernafasannya tanpa perlawanan.
“Aaa..Maaa..af..!”
hanya kata maaf itu yang tertangkap dari gerak bibirnya sebelum akhirnya ia
benar – benar menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku kemudian
melepaskan peganganku dan duduk menjauh darinya. Kulihat ia tersungkur lemah di
lantai. Aku tersenyum puas. Air mata langsung mengalir deras dari kedua pipiku.
Kudekap foto ibuku erat – erat sembari terus menangis. Antara rindu, derita,
dan bahagia bercampur hinggap di dada.
“Ibu, misiku
telah tuntas. Mantan majikan kejam ibu akhirnya mati juga!” teriakku dalam
hati.
Tangisku semakin
menjadi.
30 January 2013, pk 21.52
Denpasar
BOM CERPEN
No comments:
Post a Comment