Friday, September 21, 2012

Nama yang S'lalu Ku Kenang


Ia terbujur kaku di ranjang. Badannya tak dapat bergerak, matanya terbuka keatas menghadap dinding kamar dengan tatapan kosong. Aku berdiri terpaku melihatnya dari luar , tepatnya bersandar di bibir pintu kamar. Ia berada di dalam ruangan kamar kosong yang khusus disediakan untuknya oleh nenekku semenjak ia tak kuat lagi menggerakkan tubuhnya. Aku terdiam melihatnya terkapar tak berdaya diatas kasur dipan. Aku masuk begitu Emak menyuruhku mendekatinya. Aku pegang kulit tubuhnya masih terasa hangat. Namun, ia tak bergerak walau telah kusentuh. Kini aku berada dekat melihatnya. Wajahnya masih tetap sama seperti yang aku kenal selama ini. Namun, tubuhnya kurus berselimutkan sarung milik nenek. Tak lama berselang, salah satu pamanku melipat kedua tangannya diatas perutnya, kemudian menutup kedua matanya. Aku masih berdiri di dekatnya dalam diam. Aku lihat disekelilingku. Semua anggota keluarga besarku telah berkumpul memadati ruangan. Sebagian ada di dalam kamar, sebagian lagi menyebar di luar ruangan. Mereka berlomba menahan isak tangis yang tak terbendung lagi. Emak menangis sesegukan, begitu juga nenek menangis hingga jatuh pingsan berulang kali. Suara tangisan makin kian menggelegar kala kudengar salah seorang bibiku menangis sejadi – jadinya sambil merebahkan diri di lantai. Aku alihkan pandanganku kembali padanya yang kini benar – benar tak bisa aku ajak bicara. Saat itulah air mataku runtuh. Aku tidak menangis keras seperti yang bibiku lakukan tadi. Namun, aku hanya menangis dalam diam sembari mengenang hari – hari yang telah kulewati bersamanya.

Mungkin banyak kepingan hariku bersamanya yang terlewat dalam ingatan. Namun untung saja ada beberapa hal yang selalu aku ingat tentangnya. Salah satu kebiasaannya adalah hobi minum kopi. Sering kali aku diajaknya ke warung kopi di warung langganannya. Disana ia selalu senang berlama – lama menghabiskan waktu bersantai sembari minum kopi bersama teman – temannya. Mungkin sepertinya aku tak pernah absen mengikuti kegiatannya minum kopi, sampai – sampai
setiap aku ikut dengannya, tak mau ketinggalan aku minta dibelikan roti isi mentega ceres yang ada di warung kopi itu. Kopi memang sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Kadangkala aku juga penasaran seperti apa rasa kopi yang selama ini ia minum. Dan pada suatu ketika saat Emak membuatkan kopi untuknya, aku mencoba menyeruput sedikit kopinya. “Ueeks!” rasanya begitu pahit dan aku tak suka. Kata Emak, kopi kesukaannya memang selalu begitu, tanpa gula dan kental. Kopi selalu menjadi menu utama pengisi perutnya. Ia jarang minum air putih, namun paling suka minum kopi satu gelas besar setiap hari.

Ia juga adalah orang yang penyayang. Setiap aku hendak pergi mengaji, ia selalu menggendongku dari rumah sampai ke masjid tempat dimana aku mengaji.  Dengan perasaan senang dan bangga aku kaitkan kakiku ke pinggangnya dan melingkarkan kedua tanganku ke lehernya. Ia akan dengan senang hati berjalan sembari menggendongku hingga tiba di masjid dekat rumahku. Kebiasaan digendong ini menjadikanku anak yang manja. Kadang aku pernah menangis karena tak mau pergi mengaji jika tidak digendong olehnya.

Selain penyayang, ia adalah seorang pekerja keras. Ia adalah seorang pedagang sate. Profesi pedagang sate memang menjadi profesi favorite di kampung perumahanku yang hampir seluruh penduduknya adalah suku Madura. Ia berjualan di pinggir jalan dekat kantor Polisi. Disanalah ia menghabiskan harinya untuk bekerja mencari uang. Pagi – pagi saat orang hendak berangkat ke kantor, ia berjalan kaki mendorong gerobak satenya dengan kedua tangannya. Perjalanan dari rumah ke kantor polisi lumayan jauh, namun ia tetap dengan gigih mendorong gerobaknya hingga sampai tujuan. Aku memang tidak tahu bagaimana capeknya berjalan dengan mendorong gerobak. Aku memang tidak tahu bagaimana tanggannya yang cekatan mengipas – ngipas sate dalam bara api untuk para pembelinya. Dan aku juga tidak tahu seberapa besar beban di pundaknya merasuki pikiran dalam kesehariannya. Namun aku hanya tahu ia selalu ceria menggendongku ke masjid, mengajakku menemaninya minum kopi, dan ia sama sekali tak pernah menunjukkan rasa marah, kesal, atau bosan bila aku di dekatnya. Ia selalu menghiburku bila aku menangis. Ia selalu mengembangkan senyumnya bila aku ketauan berbuat jahil atau nakal kepadanya. Dan ia tak pernah marah jika aku tak mau menuruti perintahnya.  Begitulah dia. Tak pernah sedikitpun tangannya mencubit pahaku seperti apa yang pernah Emak lakukan padaku jika aku berkelakuan nakal. Betapa aku bahagia dan merasa aman berada disampingnya.

Seiring berjalannya waktu, ia tak lagi berjualan di pinggir jalan. Kali itu ia dan Emak berjualan bersama di sebuah kantin PLN. Masih dengan menu sate kambing, ia dan Emak bekerja bersama dengan suka cita. Dari berjualan di kantin itu , ia tak hanya mendapatkan lebih banyak rejeki dan pelanggan, akan tetapi dari sikap ramah dan suka berbaur, ia juga menemukan banyak teman. Dari tukang pemasang kabel, cleaning service, tukang kebun hingga pegawai.

Kadangkala, setiap pulang dari sekolah karena bosan diam di rumah bersama pembantu aku minta ikut ke kantin. Disana aku tidak ikut membantu pastinya. Aku hanya diam duduk melihat ia, Emak , dan beberapa pembantu menyiapkan makanan untuk para pembeli. Aku bagaikan putri pengawas yang duduk diam memperhatikan.

Masa kecilku bersamanya sangatlah berjalan lancar dan sempurna. Hari – hariku diwarnai tangisan nakal juga tawa bahagia. Hingga suatu ketika semua menjadi berubah kala ia tak sanggup lagi menghindar dari penyakit. Saat itu, Emak terpaksa bekerja sendirian bersama para pembantu  tanpa didampingi olehnya. Ia tak sanggup lagi berdiri. Badannya hanya mampu pasrah terlentang diatas ranjang rumah sakit. Secara bergantian setiap anggota keluargaku menjaganya di rumah sakit, tak terkecuali Emak yang berjaga setelah pulang berjualan. Penyakit yang diderita olehnya sudah sangat parah. Usianya kala itu terbilang muda. Tetapi, penyakit gagal ginjal menyerang siapa saja tanpa mengenal usia, bahkan usia 40 tahunan sekalipun. Aku baru mengetahui bahwa penyakit yang dideritanya itu akibat dari kebiasaannya minum kopi dan jarang minum air putih. Cuci darah yang menghabiskan banyak biaya mungkin membuatnya sungkan merepotkan banyak orang. Hingga pada akhirnya, ia bersikeras memutuskan untuk dirawat di rumah saja. Keluarga pun menyetujui permintaannya. Ia dibawa kembali pulang ke rumah, tidur di tempat biasa menjalani hari seperti biasa meskipun hanya bisa terbaring lemah.

Aku kemudian hidup seperti biasa. Usiaku yang masih belia tidak menjadikan penyakit yang dideritanya menjadi beban pikiranku. Yang aku tahu kini ia telah kembali ke rumah dan aku bisa melihatnya sepanjang hari. Aku bermain seperti anak – anak biasanya tanpa peduli bagaimana perasaannya menahan sakit. Tanpa peduli bagaimana perasaan Emak melihat kondisinya. Sikap manjaku pun tak berubah. Begitu tidak pedulinya sikapku sempat aku terkejut atas perilakunya terhadapku suatu ketika. Saat itu aku masuk ke kamarnya dan hendak mencari Emak untuk meminta uang seratus rupiah. Aku berniat membeli jajan kesukaanku. Ternyata Emak tak ada. Yang ada hanya dia yang sedang duduk bersandar pada bantal diatas kasur. Sikap cengeng dan ketidaksabaranku membuatku berteriak memanggil Emak. “Emaaaak, minta uang..!!!” seruku kemudian. “Plak.!!” Sejurus kemudian tamparan keras mendarat dipipiku. Aku memegang sebelah pipiku dan melihat kearahnya sambil menangis. Matanya mengisyaratkan kalau ia sedang marah. Aku hanya bisa menangis sejadi – jadinya dengan rasa tak percaya sembari keluar dari kamarnya. Itu adalah pertama kalinya aku menangis karena perbuatannya. Dan itu juga terakhir kalinya ia menamparku sepanjang hidupnya. Karena esok pagi harinya ia minta tinggal di rumah nenek yang tak jauh, hanya berjarak lima rumah dari rumahku . Ada sedikit kesedihan dalam hati saat ia pindah ke rumah nenek. Sempat terlintas dibenakku apa karena aku penyebabnya ia ingin di rumah nenek. Entahlah saat itu aku hanya diam dalam sedih, namun tak mengurungkan niatku untuk melanjutkan aktifitasku bermain – main kembali.

Siang hari setelah lelah bermain, salah seorang bibiku menyuruhku segera pergi ke rumah nenek. Tergesa – gesa disuruhnya aku cepat menuju rumah nenek. Aku pun terbawa suasana dan berlari. Sesampainya di rumah nenek, aku hanya terpana memandang semua keluarga berkumpul duduk sembari berangkulan. Aku masih tak mengerti hingga akhirnya kini tepat berada disebelahnya dalam tangis. Ia adalah orang yang sering kusebut Bapak sepanjang hidupku. Ia adalah suami dari Emakku. Bapak kandungku yang selalu menjadi temanku, pelindungku, penghiburku, dan penghias hati dan hari –hariku di masa kecil. Kebersamaanku dengan Bapak bisa dibilang sangatlah singkat. Allah SWT hanya memberikan kesempatan kami melewati hari – hari sampai di masa ini. Masa ketika baru pertengahan aku duduk di kelas 1 SD. Masa ketika aku ingin mulai berbagi kehidupan sekolah baruku dengannya. Dan juga masa ketika aku belum mengerti arti sebuah kehilangan.

Enam belas tahun lalu tepatnya aku terakhir kali melihatnya. Ia dikuburkan berdekatan dengan makam kakek. Di pemakaman umum itulah aku saksikan jasadnya terkubur dalam diam. Setelah para peziarah yang datang berdo’a untuk mengantarkan kepergiannya , satu per satu orang – orang pergi meninggalkannya tak terkecuali aku. Aku berjalan sembari sesekali melihat kembali ke arah makamnya. Bunga – bunga yang memenuhi makamnya masih terlihat segar diatas  tanah yang basah. Disitulah tempat peristirahatan terakhirnya. Dan disitu pulalah namanya terlukis dalam goresan cat hitam dalam sebuah batu nisan. Nama yang selalu aku kenang. Nama yang tak pernah lepas dari nama belakangku hingga kini.

Setelah kejadian saat terakhir kali melihatnya, aku tidaklah mengalami rasa sedih yang berkepanjangan. Di hari – hari berikutnya aku terbiasa hidup tanpanya. Tidak ada lagi yang mengajakku pergi ke warung kopi. Tidak ada lagi yang menggendongku pergi mengaji. Dan tidak ada lagi orang yang kusebut dengan panggilan “Bapak”.

No comments:

Post a Comment