Wednesday, September 26, 2012

Kepergian Mereka


Kamar bernuansa biru itu kini sepi tiada berpenghuni. Kamar mungil itu kini tak lagi ramai seperti hari biasanya. Di kamar itulah tempat terindah mereka bertiga kala terlelap di malam hari. Di kamar itulah aku bisa lihat mereka bertiga, anak – anak mungilku tidur setelah sepanjang hari bermain. Mereka bertiga sudah aku anggap seperti anak kandungku sendiri. Mereka bertiga belahan jiwaku, penghias hari – hari, temanku dalam kesendirian, temanku dalam kerinduan. Walau sebenarnya mereka bertiga bukanlah anak – anak kandungku sendiri, aku tetap menyayangi mereka. Ibu kandung anak – anak mungilku masih berusia muda. Jadi aku paham mengapa ibu kandung mereka kadang tak peduli apakah mereka sudah makan, sering pergi tanpa pesan tetapi tetap kembali jika sudah lapar. Aku memaklumi ibu muda ini. Ibu yang usianya jauh dibawahku, namun sudah melewati masa – masa kecilnya bersamaku hingga sebesar ini.

Siang ini mentari terik sekali. Aku menjadi malas keluar rumah. Jadi inilah yang aku lakukan kini. Duduk di bibir pintu menghadap kamar mungil mereka, dan mencoba mengenang keberadaan mereka dalam sebuah handphone. Didalam hanphone yang aku pegang kini terdapat puluhan potret wajah anak – anak mungilku. Kupandangi satu per satu wajah – wajah lucu dan imut mereka. Aku begitu menikmati tiap lembar demi lembar aksi dan tingkah laku mereka yang berhasil aku abadikan. Ada berbagai pose yang kadang mengundang tawa. Pose saat mereka tanpa sengaja tertidur diatas kasurku, pose saat mereka berloncatan gembira bermain dengan mainan mereka, hingga pose sadar kamera mereka lakukan layaknya model – model majalah.

Aku akui kerinduan akan hadirnya anak – anak mungilku begitu mendalam. Aku akui kini aku hampa tanpa mereka bertiga. Aku akui kini hatiku terluka menahan tangis. Merindu dalam kenangan. Menagis dalam diam. Perlahan aku tak dapat menahan tangisku. Air mataku tumpah ruah hingga pipi ini basah lagi. Aku pegang mataku yang sudah bengkak. Kelopak mataku sakit. Mungkin warnanya sudah merah muda terlihat. Tangisanku yang keluar perlahan tak dapat kubendung lagi. Kini aku menangis sesegukan, menahan sesak luka didada. Terbayang lagi untaian – untaian kenanganku bersama anak – anak mungilku. Terbayang kembali kisah kepergian mereka yang tak pernah kuduga dan kuterka.

Kakiku gemetar, bibirku tak dapat mengeluarkan suara. Aku hanya dapat pasrah ketika ayah mengantar anak – anakku ke dokter begitu aku tahu keadaannya sangatlah parah. Mereka bertiga muntah – muntah mengeluarkan lendir. Mata mereka melotot kejang. Dengan beribu kegundahan aku coba membelai mereka kedalam pangkuan pergi menuju rumah dokter bersama ayah juga. Ayah menyetir dengan perasaan was – was juga. Jalanan macet membuatku semakin panik. Akupun menggerutu sendiri kenapa disaat genting seperti ini macet selalu menjadi kendala.

Sesampainya di dokter, dua anakku diberi suntikan, sementara satu yang lainnya diinfus karena sudah sangat parah. Kata dokter, nyawanya mungkin tidak dapat tertolong lagi. Aku terduduk lemas begitu mendengar pernyataan dari dokter. Air mataku makin mengalir tanpa terasa. Aku duduk sambil memotret anakku yang kini lemas diatas kasur pasien lengkap dengan infus ditangannya. Beberapa menit kemudian aku makin panik, jeritan tangisku keluar seketika kala kulihat matanya tak lagi terbuka. Salah satu anakku menghembuskan nafas terakhirnya saat itu juga. Ayah berusaha menenangkanku. Walau tampak tenang, aku tahu ada raut kesedihan dalam wajahnya. Aku dan ayah pulang dengan muka kusut pergi membawa dua anakku yang lain beserta mayat anakku yang telah tiada.

Malam harinya tanpa disangka ayah mengejutkanku dengan berita duka lagi. Satu lagi anakku tiada, menyusul kepergian satu anakku yang lebih dulu tiada. Tangisanku kembali merebak. Ibu kandung dari mereka ikut memandangi mereka dalam diam dan penuh rasa pasrah.

Pagi harinya aku sudah tak bisa berkata apa – apa. Keadaan anakku yang masih bertahan terakhir ini semakin parah. Ia terbatuk – batuk dengan keras. Tubuhnya yang sudah kurus semakin menciut. Aku lihat ia sambil menangis berharap ia dapat menahan sakitnya. Lambat laun batuknya hilang. Ia terduduk lemas dengan nafas tersengal – sengal hingga akhirnya ia tak bernafas lagi. Deruan tangisku makin menggila. Aku tak hiraukan para tetanga datang mengerubuti dan bertanya – Tanya. Aku hanya menangis sembari mengendong anakku. Ibuku datang menghampiriku dan berkata, “Sudahlah Nduk..”. Sementara ayah hanya diam ikut memandangi. Samar – samar aku lihat mata ayah memerah. Air mata kecil kini mengalir menyusuri kedua pipinya.

Kematian ketiga anakku memang tak dapat terhindarkan. Acara pemakaman mereka terlaksana di pagi tadi. Wajar saja tangisanku hingga siang ini tak kunjung mereda. Apalagi jika aku kunjungi kembali tiga makam yang terjejer rapi, semakin merindulah hati ini. Rindu akan tingkah laku mereka, rindu akan kenakalan mereka, rindu tidur bersama mereka, rindu pulang ke rumah untuk menemui mereka. Kini aku yang daritadi hanya duduk di bibir pintu dekat kamar mereka, berusaha berdiri menuju kamarku. Aku ingin merebahkan diri beristirahat di dalam kamarku. Namun, begitu tiba di kamar, terkenang kembali tentang anak – anakku yang paling suka tidur siang diatas ranjangku. Aku belai kasurku seolah membayangkan membelai ketiga anakku yang sedang tertidur. Aku seperti orang yang putus asa, curahan tangis kian menggelora. 

Masih dalam bayangan mereka, aku lihat ketiga kalung yang pernah kukaitkan ke leher mereka berada diatas meja. Kupandangi ketiga kalung itu, lalu aku ambil dan kudekap dalam pelukanku. Untuk kesekian kalinya tangisanku tak terbendung juga.

Hampir seharian aku habiskan hariku dalam tangis. Hingga kemudian kuputuskan untuk berhenti menangis. Aku berusaha menghirup nafas dalam – dalam dan mengeluarkannya perlahan. Setelahnya aku melangkahkan kaki keluar sembari melihat lagi kamar mereka. Ya, sudah seharusnya aku berbesar hati menerima cobaan ini. Kepergian ketiga anak – anak mungilku sudah merupakan takdir Allah SWT yang tak dapat dipungkiri. Aku harus ikhlas menerima semua ini. 

Biarlah kamar itu menjadi bagian dari kisah hidupku bersama mereka. Biarlah kalung – kalung ini aku simpan sebagai bentuk dari adanya sebuah kehidupan mereka. Dan biarlah aku belajar menjalani hidup tanpa mereka yang kusayang.

Aku regangakan tanganku sembari bergumam pada Melati yang kini ikut berdiri disebelahku sembari menatap kamar bekas ketiga anaknya. “Semoga Mawar, Manis dan Unyil bahagia disana ya Mel?.” Aku tersenyum pada Melati dan tampaknya Melati setuju dengan ucapanku karena setelah aku berkata demikian, dia menimpaliku dengan sebuah jawaban.. “Meong..”

Aku gendong Melati diatas bahuku. Mukanya memelas pasrah sambil berseru lagi. “Meoooooooooooooong….!!” Wah, tampaknya Melati lapar kini.

No comments:

Post a Comment