Tuesday, November 13, 2012

Penonton Abadi

Aku adalah penonton abadi. Yang tak pernah lewatkan peristiwa - peristiwa seperti ini. Menatap lalu lalang keramain dan keributan yang sering terjadi. Setiap hari bahkan hampir sepanjang waktu, duniaku selalu berulang begini. Suara - suara keributan selalu saja berbunyi. Suara - suara kendaraan mereka yang datang silih berganti. Mereka yang dengan seenaknya berebut saling mendahului. Mereka yang dengan rasa tak sabaran menekan klakson berkali - kali. Tak sabaran menanti jalan yang tak pernah sepi. Tanpa peduli keberadaanku yang selalu berdiri disini. 

Asap mengepul keluar dari knalpot - knalpot kendaraaan yang melintas. Asap - asap itu perlahan melekat menyisakan bekas. Debu - debu jalanan pun tak mau ketinggalan ikut terlibat. Dengan gampangnya debu mengikuti tiupan angin yang berhembus, kemudian terbang kearah tubuhku. Hasil akhirnya, beginilah tubuhku kini. Tampak kumal dan kucel. Dipolesi kumpulan debu yang menggumpal. Dihiasi bekas asap yang menghitam berjuntal - juntal.

Lihatlah sekarang diriku yang tak terawat. Tak ada yang peduli dengan keadaanku. Bahkan Pemerintah pun tak kunjung jua prihatin padaku. Padahal aku ini bisa dibilang kembaran salah satu pahlawan nasional negeri ini. Padahal jasa pahlawan itu kudengar sangat dihargai. Namun pada kenyataannya ya seperti ini. Si kembaran sosok pahlawan negeri terlantar berlumuran debu dan asap. Bahkan kini mulai tumbuh jamur serta lumut yang perlahan tumbuh disana - sini. Ah, andai saja aku bisa berteriak. Aku ingin berhenti menjadi penonton sejati. Menghindar dari peristiwa kemacetan ini. Aku ingin pergi beranjak dari tempat ini. Pensiun menjadi patung di bundaran jalan ini. Sesosok patung yang mungkin tak dapat dikenali lagi. Sesosok patung yang sebenarnya benci keramaian ini. Sesosok patung yang lebih senang bila ditempatkan di museum yang selalu sepi.

No comments:

Post a Comment