Friday, March 16, 2012

Penantian Si Gendut



Aku beranjak dari tempat tidur dengan malas. Kutatap diriku di dalam cermin. Tampak sesosok tubuh jangkung berperut tambun disana. Kuusap-usap mata besarku. Dan kusadari betapa kusutnya wajahku kini. Bosan melihat kembaranku, aku pun pergi ke kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, aku selesai mandi. Tubuh dan wajahku menjadi segar. Kukeringkan rambut ikalku dengan handuk. Kemudian kukenakan t-shirt biru berlengan pendek serta celana selutut yang menurutku sangat pantas kukenakan. Aku kembali melihat kembaranku di cermin. Barulah aku tersenyum sumrigah melihatnya.
“Hm, betapa cakepnya diriku.” Pujiku sendiri.
“Tapi sayang, GENDUT!”
suara itu bukan dari mulutku. Melainkan seorang cewek yang kukenal adalah kakakku yang cerewet. Kulihat kakakku itu tengah berada di ujung pintu kamar memperhatikan diriku sembari cekikikan.
“Pergi lo!” dengan galak kuusir dia.
“HAHAHAHA! Si gendut marah ni ye!” Ia pun pergi dengan tawaan penuh kepuasan.
Aku kembali memandangi kembaranku. Kuelus-elus perut tambun yang menempel di tubuhku. Memang benar, gendut sekali diriku. Tapi, aku tak menyesal dilahirkan dengan badan besar. Biar gendut, wajahku tak jelek-jelek amat. Buktinya, sekarang aku telah memiliki seorang pacar. Seorang cewek manis, imut dan baik pula. Betapa beruntungnya diriku.
Mengenang dirinya, kok perutku bernyanyi ya? Lho, apa hubungannya? Memang tidak ada hubungannya. Jadi, tidak perlu terlalu dipikirkan. Pikirkanlah apa yang akan kumakan sekarang demi menenangkan jeritan perutku yang tiba-tiba saja muncul.
Aku berjalan ke dapur. Sesampainya disana, tak tampak penghuni diatas meja makan. Segera kuberalih membuka kulkas. Dan betapa kecewanya diriku. Ternyata kulkas pun tak berpenghuni. Hanya ada sebotol air dan sebuah apel bertenger disana. Daripada tidak makan apapun, apel dari kulkas berpindah ke mulutku tanpa sisa. Namun, apel tak sanggup menenangkan jeritan perutku.
Lama terdiam duduk diatas sofa, jeritan perutku tak kunjung mereda. Bersamaan dengan itu, sebuah ide mampir ke otakku. Aku menelpon dia.
Setelahnya, aku kembali duduk di sofa. Namun kali iini aku ditemani gitar kesayanganku. Sambil menunggunya, kupetik gitar dan kulantunkan lagu.
“Telah lama kutunggu hadirmu disini..”
“Menunggu siapa ndut?” kalimat itu bukanlah sederet bait lagu Ada Band yang ingin kunyanyikan. Tapi, itu adalah kalimat ejekan dari pengganggu. Siapa lagi kalau bukan kakak cerewet itu. Kupelototi dia. Ia malah cuek dan pergi tingglkan ruang tamu. Baguslah, sekarang aku bisa melanjutkan nyanyianku yang tertunda.
“Jreeeeeng!!!” petikan gitar terakhir menggema ketika satu buah lagu Ada Band telah kumainkan. Bosan duduk, aku bangkit berjalan menuju pintu. Dari balik tabir, kulihat keadaan di luar rumah. Tak terlihat siapa pun. Dia yang kutunggu belum tiba. Hatiku mengeluh.”Kenapa dia lama sekali?” Padahal perutku…? Ah, kenapa lagi perutku? Tunggulah perut, sebentar lagi dia datang.” Gumamku sendiri.
Kuputuskan untuk bermain gitar lagi.
“Kumenanti seorang..”
“Menanti siapa ndut?” Lagi-lagi nyanyianku tertunda oleh kedatangan seorang pengganggu. Seorang wanita. Dia mamaku yang baru tiba di rumah setelah pergi berbelanja.
“Mama ini mengganggu aja!” sahutku. Mama hanya tersenyum sambil lalu meninggalkanku di ruang tamu.
Selera untuk melanjutkan permainan gitar musnahlah. Aku beranjak dari sofa ke luar rumah. Di teras depan, kuputuskan untuk duduk bersantai. Mataku mengawasi lingkungan sekitar rumahku. Bukan mengawasi lingkungan penuh sampah. Melainkan mengawasi orang-orang yang lewat di depan rumah. Berharap dia yang kunanti cepat datang. Oh, kenapa dia lama sekali? Gawat! Diriku bisa lemas menantinya.
Sembari mengawasi, tanpa diduga bayangan dirinya muncul. Wajahnya yang manis, lembut dan mempesona. Oh, betapa nikmat memanadangnya. Membayangkan dirinya saja, perutku setengah terobati. Apalagi kalau…?
“Ye! Si gendut malamun!” teguran kakak membuyarkan bayangan tentang dirinya.
“Kenapa sih?” tanyanya lagi seraya duduk di sampingku. Aku masih membisu sembari melirik kearahnya.
“Plak!!!” dia memukul kepalaku.
“Sialan!” spontan kupegang kepalaku.
“Kamu nunggu siapa?”tanpa rasa bersalah ia bertanya lagi.
“Aku menunggu..” Kalimatku terputus ketika kulihat dia berdiri tersenyum padaku di depan pagar rumahku.
“Aha! Ternayata menunggu cewekmu!” sahut kakak sambil berjalan untuk membukakan pagar. Aku langsung panik dengan kedatangan cewekku. Segera kuperbaiki rambutku yang acak-acakan. Kemudian aku berdiri menyambutnya dan mempersilahkan dia masuk. Dan akhirnya kini kami duduk di ruang tamu ditemani kakakku.
“Kamu cewek si gendut?” kakak langsung membuka percakapan. Cewekku tersenyum sembari menggangguk. Melihat senyumnya perutku berbunyi lagi. Gawat! Gawat!
“Kenalin, aku kakak si gendut.” Sambung kakak sambil berjabatan tangan dengan cewekku.
“Tau gak? Dia menantimu sampe mukanya kusut tuh!” kakak mulai berceloteh lagi.
“Hah? Aku kan gak bilang mau kemari?” sahut cewekku sambil melirik kearahku.
“Lho, tadi kamu bilang menunggu cewekmu? Hayo! Cewek yang mana nih?” celotehan kakak makin menggila membuat raut wajah senang cewekku berubah mengerut.
“Aduuuuh, kakak ini! Bukan itu…! Aku itu…” Sebelum kututaskan kalimatku, cewekku berdiri dengan marah. “Aku pulang aja!”
“Sebentar! Kamu duduk dulu! Kita tunggu bareng, siapa sebenarnya yang kunanti.” Mohonku padanya.
“Ok!” dengan masih menyimpan amarah ia duduk kembali.
Lima menit…
Sepuluh menit…
Tak kunjung tiba juga yang kunanti. Sementara itu, kami hanya membisu. Dan semenit kemudian, kakakku yang tadinya keluar menuju taman depan menghampiriku. “Ndut, ada pesan pizza?”
“Nah, ini yang kunanti!” seruku pada cewekku. Aku langsung ke depan gerbang menghampiri si pengantar pizza.
“Sorry mas! Saya kesasar.” Kata mas pengantar pizza.
Aku menyodorkan beberapa lembar uang padanya. Kemudian kupelototi pizza yang terbungkus kardus ditanganku. Spontan kelima indraku gembira. Mataku membelak melihatnya. Hidungku membaui aroma lezatnya. Kullitku tak sabar meraba tubuhnya yang empuk. Mulutku tak kuasa ingin segera mengunyah. Dan telingaku tak sabar ingin mendengar setiap sobekan pizza yang akan kumakan.
Sesampainya aku berjalan ke ruang tamu, ku letakkan sekotak pizza besar diatas meja. Kubuka bungkusnya dan segera kulahap pizza itu. Oh, betapa nikmatnya! Kelima indraku terobati sudah.
“Mau?” aku menawari cewekku. Cewekku tersenyum geli melihat tingkahku.
“Nah, kakak sok tau! Ini nih yang kunanti dari tadi!” kataku sembari terus mengunyah. Kakak tersenyum jahil seraya mengambil pizzaku tanpa izin.





No comments:

Post a Comment