Aku beranjak dari tempat tidur dengan malas.
Kutatap diriku di dalam cermin. Tampak sesosok tubuh jangkung berperut tambun
disana. Kuusap-usap mata besarku. Dan kusadari betapa kusutnya wajahku kini.
Bosan melihat kembaranku, aku pun pergi ke kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, aku selesai mandi.
Tubuh dan wajahku menjadi segar. Kukeringkan rambut ikalku dengan handuk.
Kemudian kukenakan t-shirt biru berlengan pendek serta celana selutut yang
menurutku sangat pantas kukenakan. Aku kembali melihat kembaranku di cermin.
Barulah aku tersenyum sumrigah melihatnya.
“Hm, betapa cakepnya diriku.” Pujiku sendiri.
“Tapi sayang, GENDUT!”
suara itu bukan dari mulutku. Melainkan seorang cewek yang kukenal adalah kakakku yang cerewet. Kulihat kakakku itu tengah berada di ujung pintu kamar memperhatikan diriku sembari cekikikan.
suara itu bukan dari mulutku. Melainkan seorang cewek yang kukenal adalah kakakku yang cerewet. Kulihat kakakku itu tengah berada di ujung pintu kamar memperhatikan diriku sembari cekikikan.
“Pergi lo!” dengan galak kuusir dia.
“HAHAHAHA! Si gendut marah ni ye!” Ia pun
pergi dengan tawaan penuh kepuasan.
Aku kembali memandangi kembaranku.
Kuelus-elus perut tambun yang menempel di tubuhku. Memang benar, gendut sekali
diriku. Tapi, aku tak menyesal dilahirkan dengan badan besar. Biar gendut,
wajahku tak jelek-jelek amat. Buktinya, sekarang aku telah memiliki seorang
pacar. Seorang cewek manis, imut dan baik pula. Betapa beruntungnya diriku.
Mengenang dirinya, kok perutku bernyanyi ya?
Lho, apa hubungannya? Memang tidak ada hubungannya. Jadi, tidak perlu terlalu
dipikirkan. Pikirkanlah apa yang akan kumakan sekarang demi menenangkan jeritan
perutku yang tiba-tiba saja muncul.
Aku berjalan ke dapur. Sesampainya disana,
tak tampak penghuni diatas meja makan. Segera kuberalih membuka kulkas. Dan
betapa kecewanya diriku. Ternyata kulkas pun tak berpenghuni. Hanya ada sebotol
air dan sebuah apel bertenger disana. Daripada tidak makan apapun, apel dari
kulkas berpindah ke mulutku tanpa sisa. Namun, apel tak sanggup menenangkan
jeritan perutku.
Lama terdiam duduk diatas sofa, jeritan
perutku tak kunjung mereda. Bersamaan dengan itu, sebuah ide mampir ke otakku.
Aku menelpon dia.
Setelahnya, aku kembali duduk di sofa. Namun
kali iini aku ditemani gitar kesayanganku. Sambil menunggunya, kupetik gitar
dan kulantunkan lagu.
“Telah lama kutunggu
hadirmu disini..”
“Menunggu siapa ndut?” kalimat itu bukanlah
sederet bait lagu Ada Band yang ingin kunyanyikan. Tapi, itu adalah kalimat
ejekan dari pengganggu. Siapa lagi kalau bukan kakak cerewet itu. Kupelototi
dia. Ia malah cuek dan pergi tingglkan ruang tamu. Baguslah, sekarang aku bisa
melanjutkan nyanyianku yang tertunda.
“Jreeeeeng!!!” petikan gitar terakhir
menggema ketika satu buah lagu Ada Band telah kumainkan. Bosan duduk, aku
bangkit berjalan menuju pintu. Dari balik tabir, kulihat keadaan di luar rumah.
Tak terlihat siapa pun. Dia yang kutunggu belum tiba. Hatiku mengeluh.”Kenapa
dia lama sekali?” Padahal perutku…? Ah, kenapa lagi perutku? Tunggulah perut,
sebentar lagi dia datang.” Gumamku sendiri.
Kuputuskan untuk bermain gitar lagi.
“Kumenanti seorang..”
“Menanti siapa ndut?” Lagi-lagi nyanyianku
tertunda oleh kedatangan seorang pengganggu. Seorang wanita. Dia mamaku yang
baru tiba di rumah setelah pergi berbelanja.
“Mama ini mengganggu aja!” sahutku. Mama
hanya tersenyum sambil lalu meninggalkanku di ruang tamu.
Selera untuk melanjutkan permainan gitar
musnahlah. Aku beranjak dari sofa ke luar rumah. Di teras depan, kuputuskan
untuk duduk bersantai. Mataku mengawasi lingkungan sekitar rumahku. Bukan
mengawasi lingkungan penuh sampah. Melainkan mengawasi orang-orang yang lewat
di depan rumah. Berharap dia yang kunanti cepat datang. Oh, kenapa dia lama
sekali? Gawat! Diriku bisa lemas menantinya.
Sembari mengawasi, tanpa diduga bayangan
dirinya muncul. Wajahnya yang manis, lembut dan mempesona. Oh, betapa nikmat
memanadangnya. Membayangkan dirinya saja, perutku setengah terobati. Apalagi
kalau…?
“Ye! Si gendut malamun!” teguran kakak
membuyarkan bayangan tentang dirinya.
“Kenapa sih?” tanyanya lagi seraya duduk di
sampingku. Aku masih membisu sembari melirik kearahnya.
“Plak!!!” dia memukul kepalaku.
“Sialan!” spontan kupegang kepalaku.
“Kamu nunggu siapa?”tanpa rasa bersalah ia
bertanya lagi.
“Aku menunggu..” Kalimatku terputus ketika
kulihat dia berdiri tersenyum padaku di depan pagar rumahku.
“Aha! Ternayata menunggu cewekmu!” sahut
kakak sambil berjalan untuk membukakan pagar. Aku langsung panik dengan
kedatangan cewekku. Segera kuperbaiki rambutku yang acak-acakan. Kemudian aku
berdiri menyambutnya dan mempersilahkan dia masuk. Dan akhirnya kini kami duduk
di ruang tamu ditemani kakakku.
“Kamu cewek si gendut?” kakak langsung membuka
percakapan. Cewekku tersenyum sembari menggangguk. Melihat senyumnya perutku
berbunyi lagi. Gawat! Gawat!
“Kenalin, aku kakak si gendut.” Sambung kakak
sambil berjabatan tangan dengan cewekku.
“Tau gak? Dia menantimu sampe mukanya kusut
tuh!” kakak mulai berceloteh lagi.
“Hah? Aku kan gak bilang mau kemari?” sahut
cewekku sambil melirik kearahku.
“Lho, tadi kamu bilang menunggu cewekmu?
Hayo! Cewek yang mana nih?” celotehan kakak makin menggila membuat raut wajah
senang cewekku berubah mengerut.
“Aduuuuh, kakak ini! Bukan itu…! Aku itu…”
Sebelum kututaskan kalimatku, cewekku berdiri dengan marah. “Aku pulang aja!”
“Sebentar! Kamu duduk dulu! Kita tunggu
bareng, siapa sebenarnya yang kunanti.” Mohonku padanya.
“Ok!” dengan masih menyimpan amarah ia duduk
kembali.
Lima menit…
Sepuluh menit…
Tak kunjung tiba juga yang kunanti. Sementara
itu, kami hanya membisu. Dan semenit kemudian, kakakku yang tadinya keluar
menuju taman depan menghampiriku. “Ndut, ada pesan pizza?”
“Nah, ini yang kunanti!” seruku pada cewekku.
Aku langsung ke depan gerbang menghampiri si pengantar pizza.
“Sorry mas! Saya kesasar.” Kata mas pengantar
pizza.
Aku menyodorkan beberapa lembar uang padanya.
Kemudian kupelototi pizza yang terbungkus kardus ditanganku. Spontan kelima
indraku gembira. Mataku membelak melihatnya. Hidungku membaui aroma lezatnya.
Kullitku tak sabar meraba tubuhnya yang empuk. Mulutku tak kuasa ingin segera
mengunyah. Dan telingaku tak sabar ingin mendengar setiap sobekan pizza yang
akan kumakan.
Sesampainya aku berjalan ke ruang tamu, ku
letakkan sekotak pizza besar diatas meja. Kubuka bungkusnya dan segera kulahap
pizza itu. Oh, betapa nikmatnya! Kelima indraku terobati sudah.
“Mau?” aku menawari cewekku. Cewekku
tersenyum geli melihat tingkahku.
“Nah, kakak sok tau! Ini nih yang kunanti
dari tadi!” kataku sembari terus mengunyah. Kakak tersenyum jahil seraya
mengambil pizzaku tanpa izin.
No comments:
Post a Comment