Tak pernah bosan rasanya
bekerja di perusahaan ini. Bagaimana tidak, walau pekerjaanku lumayan berat aku
puas mencuri kesempatan mencuri – curi pandang kearahmu. Itu aku lakukan hampir
setiap hari dari selama hari kerja berlangsung. Setiap pagi kesempatan untuk
berpapasan denganmu tak pernah mau aku lewatkan. Maka, begitu tiba di hotel,
aku bergegas melaksanakan tugasku di lobi hotel. Detik – detik pertemuan itu
selalu kunanti dengan harap – harap cemas. Walau pertemuan kita di lobi hanya
berkisar beberapa detik, namun itu bisa mampu mengobati kerinduanku.
Kulihat kau datang melangkah
dengan anggun memasuki lobi hotel. Seperti biasa pakaianmu menunjukkan sisi
feminism yang sangat kental. Seragam hotel kau padu padankan dengan blazer
serta rok pendek selutut ditambah lagi kaki indahmu terbungkus manis oleh high
heels yang membuat tubuhmu semakin jenjang. Bagaimana laki – laki tidak akan
terpesona melihatmu. Tubuh proposional bak kontestan Putri Indonesia, pakaian
yang kau kenakan saat bekerja selalu modis dan menjadi contoh karyawan –
karyawan wanita lainnya, dan rambut panjangmu hitam legam alami tak kau permak
mengikuti mode – mode jaman kini.
Hatiku bergetar setiap kau
lewati lobi hotel sambil sesekali kau sunggingkan senyum kepada karyawan –
karyawan lain yang kebetulan sedang bertugas di lobi. Inilah yang selalu
kunanti di setiap pagi. Melihatmu menebarkan senyum padaku walau aku tahu
senyummu hanyalah senyum ramah tamah terhadap sesama karyawan.
Kesempatan untuk melihatmu
tak begitu saja berakhir di lobi. Aku selalu mencari kesempatan melewati ruang
kerjamu, atau bahkan memasuki ruang kerjamu. Di ruang kerjamu memang bukan
hanya kau sendiri yang ada disitu. Baguslah, itu bisa membuat sikap salah
tingkahku tidak kentara bila berhadapan denganmu. Siang hari sebelum istirahat
berlangsung, kadang salah seorang temanmu atau kau sendiri memintaku untuk
dibuatkan kopi atau teh hangat. Wah, dengan penuh suka cita aku sambut tugasku
itu. Maka, saat sedang membuatkan kopi untukmu dalam hati aku berdo’a, semoga
kopi yang kubuat dengan cinta ini menarik hatimu tuk melihat hatiku, salah
seorang laki – laki pengagum rahasiamu. Haha, ada – ada saja. Terkadang aku
berpikir, mimpi tuk mendapatkanmu hanyalah sekedar khayalan belaka. Buktinya
hingga kini aku hanya dapat melihat indahmu dalam senyum bibir dan tatapan
keramah tamahanmu saja. Ya, sudahlah mungkin ini sudah nasib.
Ada satu hal yang selalu aku
perhatikan darimu. Tampaknya kau adalah wanita pekerja keras yang rajin. Aku
perhatikan kau selalu serius bila ada dihadapan computer. Aku pernah
mempelajari ilmu computer sewaktu SMA, itupun hanya sekedar tau cara mengetik
dan internetan. Tak terpikirkan olehku ternyata banyak program – program lain
dipakai didunia kerja saat ini. Pernah aku sedikit melirik ke layar komputermu,
berharap tau apa yang sedang kau kerjakan. Disitu aku melihat ribuan angka
dalam suatu program yang tak pernah aku ketahui selama ini. Ingin rasanya aku
membantu pekerjaanmu kala kulihat suatu kali dahimu mengerut hingga tiga lapis
bak berusaha memecahkan masalah berat dalam otakmu. Namun apadaya, aku tak
mengerti pekerjaanmu. Aku hanya bisa berdo’a semoga kau menemukan kemudahan
menyelesaikan tugasmu.
Selama setahun sudah hariku
di tempat kerja dipenuhi gelora asmara. Hatiku kasmaran. Selalu saja jantungku
berdetak, senyumku mengembang dan mataku seolah berbinar ketika aku melihatmu,
menatapmu, dan tersenyum padamu. Jantungku selalu berdegup saat aku lewat di
ruang kantormu, berusaha mengintip dirimu yang duduk konsen berhadapan dengan
computer. Senyumanmu membuat pipiku merona merah ketika berpapasan denganmu.
Maka dengan segera aku palingkan wajah supaya tak ketahuaan olehmu.Betapa aku
sangat senang akan setiap moment bersamamu. Walau aku tahu kau menganggapnya
hanya pertemuan biasa. Aku tahu, aku hanyalah pegawai biasa bahkan bisa
dibilang pegawai rendahan. Seorang laki – laki lulusan SMA, berbadan tinggi
kurus, namun hanya mampu diterima sebagai Cleaning Service di Hotel berbintang
5 ini. Maka, jadilah aku yang selama ini selalu tak pernah memberanikan diri
membuka percakapan pribadi denganmu mulai mengalami syndrome putus asa. Ingin
melupakan mimpiku tuk menggapaimu.
Rasa putus asa itu aku tunjukan
dengan berusaha menghindari moment – moment pertemuan yang pernah terjadi
sebelum – sebelumnya. Setiap pagi aku berusaha mengulur waktu bertugas di lobi
demi tak melihat kedatanganmu. Bila aku harus melewati ruang kerjamu, aku
berusaha tak mengintip wajahmu. Dan bila salah satu temanmu, atau kau yang
minta dibuatkan kopi atau teh, aku selalu meminta teman sesama CS untuk
mengantarkan minuman itu ke ruang kerjamu. Upaya – upaya itu aku lakukan demi
normalnya kembali hatiku, kosong tanpa dihiasi oleh bayang – bayangmu.
Perasaanku yang kacau balau
itu makin menorehkan luka di hati ini. Masih di tahun yang sama di bulan
ketiga, aku mendengar kau akan pindah ke lain kota. Kau diangkat menjadi Head
Accounting di cabang hotel yang sama namun di kota yang berbeda. Itu berarti,
kesempatanku bertemu denganmu akan benar – benar berakhir sudah.
Hari terakhirmu bekerja di
hotel ini dirayakan kecil – kecilan di sore hari, selepas pulang bekerja. Semua
karyawan hadir berkumpul di aula merayakan hari perpisahan denganmu. Aku juga
termasuk di dalamnya, bahkan aku turut andil mempersiapkan makanan acara
perpisahan. Hatiku kalut, penuh luka, dan penyesalan. Betapa aku kalut nan panik
merayakan kepergianmu yang tak terduga. Betapa hatiku luka dan kecewa akan
menghadapi hari – hari tanpa melihatmu. Betapa aku menyesal karena
belakangan ini aku berusaha menghindari
moment pertemuan – pertemuan kita yang ternyata hari ini adalah hari terakhirku
bisa melihatmu. Menatap indahmu walau hanya dari kejauhan.
Kau berpidato dihadapan para
bos, manager, pimpinan perusahaan dan karyawan – karyawan lainnya. Disitu kau
mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf – staf karyawan yang ada di aula.
Kemudian kau tiba – tiba menangis memandangi orang – orang yang selama ini
bekerja bersamamu. Kau tatapi satu persatu teman – teman dekatmu, hingga para
karyawan rendahan seperti aku ini. Saat giliran kau memandangiku, ada sebuah
getaran lagi yang membuat kakiku tak berkutik. Matamu kini benar – benar
menatapku beberapa menit sembari kau sunggingkan senyum khasmu yang membuatku
terpesona. Aku diam tak berkutik sembari menahan tangisan hati dan berusaha
membalas senyummu walau akhirnya senyum yang keluar dari bibirku terasa kaku. Ah,
betapa bodohnya diriku tak membalas senyumnya dengan tulus.
Itulah hari terakhir aku
melihatnya disini. Di tempat aku bekerja selama ini. Dimana hari – hariku penuh
warna dan bunga penghias hati. Tak akan aku lihat lagi wajah cantiknya, rambut
panjangnya, langkah kakinya, tingkah laku anggun dan ramahnya, serta senyum
manis yang selalu berhasil menyulutkan kobaran semangatku. Selamat tinggal
gadis pujaanku. Aku pengagummu. Dan selamanya hanya akan menjadi pengagum
rahasiamu.
Pagi itu aku termenung
seorang diri ketika hendak menaruh tas ranselku di loker. Saat itulah
terbelesit kembali bayangan wajahnya dalam otakku. Tak terasa ada buliran air
mata mengalir di pipi kananku. Segera aku hapus dan bergegas mengunci loker.
Kemudian aku pergi berlari mengambil perkakas kerjaku menuju lobi hotel.
*********************************************************************************
Tak pernah bosan rasanya bekerja di
perusahaan ini. Bagaimana tidak, walau pekerjaanku lumayan menguras otak aku
puas mencuri kesempatan mencuri – curi pandang kearahmu. Itu aku lakukan hampir
setiap hari dari Senin hingga Sabtu, selama hari kerja berlangsung. Setiap pagi
kesempatan untuk berpapasan denganmu tak pernah mau aku lewatkan. Maka, begitu
tiba di hotel, memasuki lobi hotel aku
selalu melihatmu ada disitu melakukan tugasmu. Detik – detik pertemuan itu
selalu kunanti dengan harap – harap cemas. Walau pertemuan kita di lobi hanya
berkisar beberapa detik, namun itu bisa mampu mengobati kerinduanku.
Kulihat kau dengan salah tingkah
tersenyum menyapaku. Seperti biasa kau selalu nampak mempesona dengan tubuhmu
yang tinggi berisi. Wajahmu yang lumayan tampan tetap membuatku terpesona walau
pekerjaanmu hanyalah tukang bersih - bersih. Mungkin ada banyak wanita yang terpesona
melihatmu. Tubuh proposional bak model majalah, rambut plontosmu semakin
menunjukkan sisi kharismatik seorang pria.
Hatiku bergetar setiap aku lewati
lobi hotel sambil mencuri kesempatan untuk menyapamu lewat senyumku. Inilah
yang selalu kunanti di setiap pagi. Melihatmu di dekat jendela kaca, melakukan
pekerjaanmu sembari membalas senyumku dengan malu – malu.
Kesempatan untuk melihatmu tak
begitu saja berakhir di lobi. Aku selalu mencari kesempatan jika kau memasuki
ruang kerjaku. Di ruang kerjaku memang bukan hanya aku sendiri yang ada disitu.
Baguslah, itu bisa membuat sikap salah tingkahku tidak kentara bila berhadapan
denganmu. Siang hari sebelum istirahat berlangsung, kadang salah seorang
temanku atau aku sendiri memintamu untuk dibuatkan kopi atau teh hangat. Betapa
gembiranya hatiku saat kau keluar masuk ruang kerjaku kala itu. Haha, ada – ada
saja. Terkadang aku berpikir, mimpi tuk mendapatkanmu hanyalah sekedar khayalan
belaka. Buktinya hingga kini aku hanya dapat melihat indahmu dalam pesona
ketampananmu dan tatapan keramah tamahanmu saja. Ya, sudahlah mungkin ini sudah
nasib.
Ada satu hal yang selalu aku
perhatikan darimu. Tampaknya kau adalah pria pekerja keras yang rajin. Aku
perhatikan pekerjaanmu selalu bersih dan rapi. Kau juga
pria yang ramah. Semua orang suka bila dibuatkan minuman olehmu, tak terkecuali
aku.
Selama setahun sudah hariku di
tempat kerja dipenuhi gelora asmara. Hatiku kasmaran. Selalu saja jantungku
berdetak, senyumku mengembang dan mataku seolah berbinar ketika aku melihatmu,
menatapmu, dan tersenyum padamu. Jantungku selalu berdegup saat kau melewati ruang kerjaku. Aku tahu kau selalu
berusaha mengintip diriku yang duduk konsen berhadapan dengan computer. Kadang
tak sengaja aku melihat pipimu merona merah ketika berpapasan denganku. Kau pun
langsung memalingkan wajahmu dengan salah tingkah. Betapa aku sangat senang
akan setiap moment bersamamu. Walau aku tahu kejadiannya selalu begitu. Mungkin
kau malu. Aku pun sebenarnya malu. Aku tahu, kau hanyalah pegawai biasa bila
dibandingkan dengan jabatanku. Seorang gadis dengan jabatan Senior Accountant
di hotel berbintang 5, yang lambat laun menyukaimu. Maka, jadilah aku hanya diam tak berbuat sesuatu.
Rasa putus asa itu aku tunjukan
dengan berusaha menghindari moment – moment pertemuan yang pernah terjadi
sebelum – sebelumnya. Setiap pagi aku berusaha untuk tak melihat kearahmu
ketika berjalan melewati lobi. Namun tetap saja hatiku tak kuasa menahannya.
Selalu saja aku menoleh kearah tempat biasa kau membersihkan jendela. Hatiku
selalu kecewa pada akhirnya kau ternyata tak ada disitu. Saat sedang di ruang
kerja, aku selalu mengintip keluar pintu. Memang aku melihatmu, tapi tak
seperti biasanya, aku tak lagi memergokimu melihat kearahku. Kau hanya lewat
cuek begitu saja. Dan bila salah satu temanku, atau aku yang minta dibuatkan
kopi atau teh, kau selalu meminta teman sesama CS untuk mengantarkan minuman
itu ke ruang kerjaku. Sejak saat itu aku berpikir, ya sudahlah mungkin kau
sudah melupakanku.
Perasaanku yang kacau balau itu
makin menorehkan luka di hati ini. Masih di tahun yang sama di bulan ketiga, aku
dipindahkan ke lain kota. Aku diangkat menjadi Head Accounting di cabang hotel
yang sama namun di kota yang berbeda. Memang aku senang akhirnya prestasiku
dihargai dengan dianugerahi jabatan ini. Namun itu berarti kesempatanku bertemu
denganmu akan benar – benar berakhir sudah.
Hari terakhirku bekerja di hotel
ini dirayakan kecil – kecilan di sore hari, selepas pulang bekerja. Semua
karyawan hadir berkumpul di aula merayakan hari perpisahan denganku. Kau juga
termasuk di dalamnya, bahkan kau turut andil mempersiapkan makanan acara
perpisahan. Hatiku kalut, penuh luka, dan penyesalan. Betapa aku kalut nan
panik merayakan kepergianku yang tak terduga. Betapa hatiku luka dan kecewa
akan menghadapi hari – hari tanpa melihatmu. Betapa aku menyesal karena aku tak
duluan saja ungkapkan perasaanku kepadamu. Tak terbayang ternyata hari ini
adalah hari terakhirku bisa melihatmu. Menatap indahmu walau hanya dari
kejauhan.
Aku berpidato dihadapan para bos,
manager, pimpinan perusahaan dan karyawan – karyawan lainnya. Disitu aku
mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf – staf karyawan yang ada di aula. Aku
tak kuasa menahan tangis, memandangi orang – orang yang selama ini bekerja
bersamaku. Aku tatapi satu persatu teman – teman dekatku, dan para karyawan lain
tak terkecuali dirimu. Saat giliran aku memandangimu, ada sebuah getaran lagi
yang membuat kakiku tak berkutik. Matamu kini benar – benar menatapku beberapa
menit sembari aku sunggingkan senyum kepadamu. Tapi, kau diam tak berkutik sembari
membalas senyumanku dengan terpaksa. Ah, sejujurnya aku kecewa dengan balasan
senyum kakumu itu.
Itulah hari terakhir aku melihatnya
disini. Di tempat aku bekerja selama ini. Dimana hari – hariku penuh warna dan
bunga penghias hati. Tak akan aku lihat lagi wajah tampannya, rambut plontosnya,
tubuh tingginya, tingkah laku yang sopan dan ramahnya, serta sikap salah
tingkahnya yang selalu berhasil menyulutkan kobaran semangatku. Selamat tinggal
lelaki pujaanku. Aku pengagummu. Dan selamanya hanya akan menjadi pengagum
rahasiamu.
Pagi itu aku termenung seorang diri
ketika melangkah memasuki ruang kerjaku. Saat itulah terbelesit kembali
bayangan wajahnya dalam otakku. Tak terasa ada buliran air mata mengalir di
pipi kananku. Segera aku hapus dan bergegas memulai pekerjaanku. Aku buka
komputer dan mulai dengan tugas baruku. Tugas dan tanggung jawab yang lebih
berat di meja kerja di ruang kerja baru.
No comments:
Post a Comment