Pagi itu aku biasa lari pagi. Biasanya aku lari - lari menuju
taman dekat rumah. Tetapi kali ini aku ingin mencoba menelusuri jalan baru.
Maka begitu aku lihat gang perumahan elok nan megah, aku pun berlari menuju
kesitu. Rata - rata perumahan disini besar - besar dan benar - benar tampak
megah. "Wah, betapa nikmatnya jika aku pemilik dari salah satu rumah di
kawasan ini." lamunku dalam hati.
Lima belas menit setelah merasa lelah berlari, aku berhenti
sejenak di salah satu depan rumah megah. Dinding pagarnya bertembokkan marmer cantik
nan berkilauan. Rumah ini terdiri dari dua tingkat bergaya modern bercat hitam
putih. Sembari beristirahat aku terkagum – kagum memandangi rumah ini.
"Praaaaaaaang..!!" Tiba - tiba suara pecahan piring
terdengar keras. Aku mencari sumber suara. Sesaat sunyi seketika. Aku pun acuh
lalu berniat untuk berlari lagi. Baru saja kakiku akan melangkah, tiba - tiba
samar terdengar suara minta tolong.
"Tolooong..!" suara itu terdengar lirih diiringi
tangisan sendu..
"Praaaaaaaanng.. !! Buk...!!" suara itu kini makin
terdengar jelas. Aku dengar lagi dan berjalan perlahan menuju arah sumber
suara. Aku dekatkan telinga di dinding tembok pagar rumah.
"Dasar wanita jalang!! Beraninya kau menasehatiku,
hah?!" seruan suara itu terdengar tepat dari balik gerbang ini.
"Jangan..!! Huaaaaaah!!" suara seorang wanita terdengar
lebih kencang.
Suasana pagi itu begitu sepi. Mungkin tak ada yang tahu suara
kegaduhan yang kudengar karena orang - orang di sekitar perumahan ini tak
pernah saling bertegur sapa. Mereka terkesan cuek bila berpapasan atau bertemu
di jalan. Individualisme sungguh terasa di perumahan mewah ini.
"Gedubraaaaaak..!!!" suara dentuman terdengar begitu
keras. Aku beranikan diri mengintip dari sela - sela bilik pintu pagar. Dari
sana aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di teras rumah itu. Seorang
laki - laki bertubuh kekar tampak nanar menatap seorang wanita yang kini
terkujur lemah di lantai teras. Tubuh wanita itu penuh luka, berdarah - darah.
Sebuah meja bundar terbelah jatuh tepat di sebelah wanita tak berdaya itu.
Sepertinya wanita itu tak bisa berbuat apa - apa. Ia masih bernafas, namun
lemah karena banyak mengeluarkan darah. Tak berselang berapa lama, laki - laki
bertubuh besar itu meminum alkohol yang sedari tadi ia pegang. Matanya merah
memancarkan amarah luar biasa. Ia menikmati tegukan demi tegukan alkohol
sembari menatap wanita dihadapannya.
"Makanya, ini akibatnya jika kau coba mengguruiku..!" Ia
berkata sembari tersenyum sinis pada si wanita.
"Deg." jantungku berdetak melihat peristiwa ini. Kaki
terasa kaku untuk melangkah. Cukup. Cukup sudah yang aku lihat. Mungkin setelah
ini aku harus bergegas pergi lapor ke polisi atau pergi tanpa pura - pura tak
tahu apa yang telah terjadi. Masih dengan pikiran kacau aku bersiap melangkah
berlari. Saat hendak berlari itulah aku terkejut setengah mati.
"Hey..! Siapa disana?" suaranya lantang menakutiku. Aku
berlari ketakutan. Berusaha berlari dengan kencang. Sempat aku menoleh sejenak.
Saat itu kulihat laki - laki itu mengejarku sembari membawa sebuah parang kayu.
Kukerahkan seluruh tenaga, menghindar pergi dari kejaran laki - laki itu.
Aku berbelok meliuk - liuk melewati setiap gerbang rumah - rumah
besar disana. Anehnya, tak ada satu orang pun tampak keluar dari rumah melihat
aksi kejar - kejaran pagi ini. Ah, betapa tak pekanya orang - orang disekitar sini. Padahal saat ini aku butuh pertolongan. Aku berusaha lari sekencang -
kencangnya tanpa peduli bahwa nafasku sebenarnya sudah tersenggal - senggal.
Lelaki itu lebih cepat berlari dari dugaanku. Jaraknya denganku semakin dekat.
Aku tak kuat lagi. Telapak kaki terasa perih. Lutut terkilir sakit sekali.
Seketika aku terjatuh terlentang di tepi jalan. Aku dengar langkah kaki
mendekati tubuhku. Aku tak dapat bernafas. Aku lelah berlari. Dan kini
ketakutanku tak terkendali. Laki - laki itu membalik paksa tubuhku yang
terlentang. Aku berusaha bangkit dan terduduk lemas. Lelaki itu tersenyum
seringai kepadaku. Ia bersiap menghantamku dengan parang kayunya.
"Jangaan..!" seruan dari mulutku tampak parau.
"Saya mohon, Pak!" kataku memelas.
"Mohon apa kamu, Erwin?!"
Lha, aku heran. Kenapa dia tahu namaku?
"Bukan apa - apa." sahutku kemudian.
Ia lalu menjatuhkan parangnya disebelahku dan tiba - tiba menjewer
telingaku dengan keras.
"Aoooooo!!" aku berteriak kesakitan dan mendapati diriku
kini berada di ruangan kelas. Sekejap aku melihat Pak Yusuf, guru Sejarahku
berada disebelahku seraya menjewer telingaku yang kini menjadi merah. Gemuruh
tawa ramai sontak terdengar di seluruh penjuru kelas.
"Ayo berdiri di depan sebagai hukuman.!" perintah Pak
Yusuf padaku.
Masih dengan mata mengantuk aku berjalan lunglai menuju ke depan
kelas. Satu persatu kulihat wajah - wajah senang teman - temanku berbisik -
bisik sembari sesekali menatapku cekikikan.
No comments:
Post a Comment