Hari raya Idul Fitri kala itu adalah hari yang paling kutunggu -
tunggu. Hari dimana kesempatanku bertemu orang tuamu, mempererat jalinan
silaturrahmi yang telah kita rajut selama beberapa tahun belakangan ini.
Jalinan kisah kita semenjak kita bertemu di masa SMA. Betapa lucu dan senangnya
bila kuingat kenangan - kenangan SMA kita dulu. Bagaikan sepasang sejoli Galih
dan Ratna, kita menikmati masa - masa itu penuh romansa. Sebenarnya rasa
minder pernah membelenggu dihati. Waktu itu, kau primadona yang selalu menjadi
buah bibir anak - anak lelaki. Wajahmu cantik nan rupawan. Kau terkenal baik ,
ramah dan pintar. Dan nampaknya kau tak pernah menorehkan tinta merah pada
catatan guru BP.
Rasa takut dan tak percaya diri mengahantui kala aku dan kawan -
kawan lelaki sempat membuat kesepakatan yang berkaitan denganmu. Maaf, kala itu
demi arti sebuah pertemanan aku terpaksa setuju dengan kesepakatan itu. Sebuah
kesepakatan yang bisa dibilang sebuah taruhan. Taruhan mendekati dan
mendapatkan cintamu yang terkenal tak pernah terlihat bergandengan dengan
lelaki manapun. Jika salah satu dari kami berhasil, jadilah kami yang kalah
taruhan tak diperbolehkan mandi dalam seminggu. Sedangkan yang menang berhak
ditraktir selama seminggu itu juga. Maka, jadilah aku yang ikut - ikutan
terpaksa ikut pertarungan. Selain karena memang menyukai dirimu, sesungguhnya
imbalan traktiran sangat menggiurkan. Maklumlah, aku besar dan terlahir dari
keluarga serba kekurangan. Untuk naik angkot dan makan seharian pun selalu pas
- pasan bahkan lebih banyak kekurangan. Hehe.. Tidak pantaslah jika aku
dibandingkan dengamu. Kau terlahir dan besar dari keluarga serba berkecukupan.
Setiap hari kau diantar jemput dengan mobil pribadi. Pakaianmu rapi. Parasmu
cantik nan penuh keanggunan.
Semua teman telah berusaha mendekatimu, namun mereka tak pernah
datang membawa berita menggembirakan. Tibalah saat giliranku yang maju ke arena
pertarungan. Walau hati sempat ciut dan deg - degan, imbalan traktiran lebih
kuat terngiang - ngiang. Jadilah aku mendekatimu dengan penuh kepolosan. Aku
pura - pura minta bantuan. Minta bantuan memecahkan soal pelajaran. Hingga
lambat laun saling berkenalan, kita menjadi sering belajar barengan. Rasa itu
makin timbul tak terkirakan. Kala itu, aku tak kuasa menahan gejolak rasa yang
berkoar - koar. Pada akhirnya, aku putuskan untuk membuat sebuah pengakuan.
Deklarasi rasa suka yang telah aku pendam. Kau tersenyum kepadaku usai aku
nyatakan. Membuat jantung berdentum tak karuan. Kemudian kau dengan santai
berkata bahwa kau juga menyukaiku. Bagimu, aku terlihat apa adanya. Anak lelaki
sederhana nan polos penuh kejujuran. Mendengar kau sebutkan kata
"kejujuran", semakin hati ini merasa bersalah dan penuh penyesalan.
Akhirnya, aku ceritakan semua tentang taruhan, dan juga rasa terhadapmu adalah
kebenaran. Begitu hal itu kuucapkan, kukira kau akan marah. Akan tetapi, kau
malah tertawa memandangiku yang penuh penyesalan. Kau berkata bahwa kau sudah
tahu tentang apa yang aku dan kawan- kawan rencanakan. Kau sengaja diam
membiarkan hingga pada akhirnya semua terbongkar dari mulutku yang saat itu
pasang wajah kebingungan. Fuiih, betapa lega hati ini, karena permintaan maafku
kau kabulkan. Cintaku pun kau sambut dengan kehangatan. Duniaku kala itu benar
- benar kasmaran.
Berakhirnya pertarungan itu pun menambahkan keuntungan. Selain
benar - benar mendapat cinta sungguhan, imbalan traktiran seminggu pun siap ada
digenggaman. Kawan - kawan pada kebingungan. Bukan kebingungan akan mentraktir
dan tak mandi selama seminggu, namun tentunya kebingungan tak percaya akan
diriku yang paling diragukan.
Haha. Aku selalu mengenang masa - masa itu dengan kegembiraan.
Awal jalinan kita terjalin akibat sebuah taruhan. Tak kusangka hingga kini dua
tahun setelah lulus sekolah jalinan itu masih tetap berlanjut menjadi aneka
rangkaian cerita. Kau kini masih mengenyam pendidikan di kampus. Masih tetap
cantik dengan wajah tirus. Serta rambut panjang yang selalu terurus. Sedangkan
aku telah bekerja, terpaksa mengubur mimpi kuliah yang telah pupus. Masih
dengan tubuh kurus. Rambut ini pun makin gondrong tak terurus. Walau demikian,
kita selalu menjaga jalinan itu. Cintaku makin melambung mengikuti perjalanan
waktu. Hingga akhirnya pada hari yang Fitri itu, aku beranikan diri memantapkan
cintaku. Berangkat menuju rumahmu, berniat berkenalan jauh dengan kedua orang
tuamu. Bukan, sebenarnya bukan untuk meminangmu. Untuk hal itu aku belum siap,
baik secara moril maupun materiil. Kau tahu kan pekerjaanku hanyalah sales
biasa. Yang berkeliling mengantarkan pesanan di gerai - gerai supermarket. Kau
tahu gajiku tak seberapa. Maka, belumlah kuputuskan ke tingkat itu untuk
meminangmu.
Segala persiapan matang telah aku siapkan. Mulai dari pakaian
hingga kendaraan. Baju koko baru telah aku beli. Baju warna putih itu aku beli
hasil dari membobol tabungan. Celana panjang hitam koleksi lama akhirnya
menjadi pasangan baju koko putih baruku. Dengan semangat dan senyum sumrigah
aku siap berangkat. Aku keluar berpamitan kepada kedua orang tua dan keluar
menuju pekarangan. Disitu sudah menanti jagoan merah beroda dua yang sengaja
aku pinjam dari pamanku. Maklumlah, gajiku belum sanggup membeli motor seperti
ini. Alhasil, demi sebuah pencitraan yang baik dimata calon mertua, hehe,
terpaksa motor itu kupinjam. Walau hanya motor butut ceketer dengan bunyi yang
tak bisa dibilang merdu kala dihidupkan.
Perjalanan Garut menuju Jakarta sungguh menambah tantangan. Si
jagoan merah butut menemaniku dalam perjalanan. Meski keringat bercucuran, debu
dan angin menerpa berterbangan, tapi hati ini selalu dirundung kerinduan.
Semangat serta senyum mengalahkan semua rintangan. Perjalanan Garut - Jakarta
tak terasa walau jalan penuh kemacetan. Tepat di hari raya itu aku benar -
benar datang ke kampung halamanmu. Datang membawa cinta dalam penuh
harapan.
Perasaan deg - degan makin menciut ke permukaan. Badan ini penuh
keringat. Wajah ini penuh rasa cemas. Gemetar kakiku ketika tiba di depan pintu
rumahmu. Kau menyuruhku duduk di sofa. Aku pun duduk dalam kecemasan. Ini
pertama kalinya aku akan berkenalan resmi dengan kedua orang tuamu. Aku
bertanya kepadamu dimana orang tuamu, karena kini hatiku semakin cemas. Kau
berkata, orang tuamu di dalam. Oh, aku makin penasaran dan gemetar tak karuan.
Sementara itu, kau hanya diam tertunduk tanpa menatapku. Selang tak sampai lima
menit kemudian, kau tiba - tiba menangis tersedu - sedu. Menangis dihadapanku
dengan muka penyesalan.
"Maafin aku ya?." katamu sambil menangis sesegukan.
"Iya, lah ini kan lebaran. Udah pasti kita saling memaafkan
kok." kataku mengiyakan
"Pokoknya maafin aku Jang, " lagi - lagi kau berkata
sembari menangis. Tangismu semakin deras membasahi kedua pipi lembutmu.
"Kenapa kok sampai nangis begini Ma?" tanyaku heran.
Kau pun mencium tanganku sambil terus berurai air mata. Aku elus
kepalamu yang kini terbalut kerudung.
"Sudahlah, jangan berlebihan seperti ini." kataku
menenangkan.
"Maaf, kita harus berpisah. Orang tuaku menjodohkanku dengan
laki - laki pilihan mereka." katamu terbata - bata seraya menahan tangis.
"Deg!" jantungku remuk bagai tertancap sebuah kapak
besar. Namun aku tetap bertahan, badanku tak goyah, tangisku tak tumpah. Aku
hanya diam menanggapi.
"Bagaimana ini?" Kau bertanya seraya menatapku.
Aku diam lagi.
"Haruskah aku ikut pergi bersamamu? Bawa aku pergi..!"
seruan kecil suaramu seolah menunjukkan bahwa kau ingin memberontak. Tangisanmu
makin menjadi. Air matamu keluar hingga tanganku ikut basah.
"Jangan. Kasihan orang tuamu, Ma. Kamu tahu aku belum siap
materi jika kita membina rumah tangga. Jadi, patuhilah mereka."
Kau diam dalam tangis.
Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya perasaanku
sangatlah kecewa. Hatiku terkoyak hingga membuat ragaku lemas. Tak sampai sejam
aku berada disitu. Duduk memandangimu di rumah kedua orang tuamu yang mewah. Hingga
pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
"Imas, maafin aku jika selama ini pernah menyakitimu. Mungkin
ini terakhir kali kita bertemu. Semoga hidup Imas bahagia ya. Salam juga buat
kedua orang tuamu. Maaf aku tak bisa lama - lama dan bertemu dengan
mereka."
Aku bersalaman denganmu dan bergegas berbalik arah keluar dari
rumahmu.
"Jajang, tak bolehkah kau bawa aku pergi?" pintamu lagi
masih dalam tangisan.
Aku hanya menggeleng dan pergi sembari ucapkan salam.
Keluar dari rumahmu, aku langsung menghidupkan si jagoan merah butut
dan mengenakan helm. Aku gas motor itu pergi melenggang tinggalkan rumahmu.
Hatiku sakit nan kecewa luar biasa. Pikiranku kacau nan kalut. Kepala bagai
tertimpa bom atom yang berjejalan. Sakit hati memicu tangis hati. Tangis hati
yang tertahan dari tadi akhirnya kini tumpah ruah. Air mata mengalir deras
mengucur membasahi pipi, berlanjut hingga terhapus terbawa angin kala dalam
perjalananku menuju rumah. Itulah pertama kalinya aku menagis karena seorang
gadis. Selamat tinggal Imas.. Selamat tinggal cinta pertamaku..
Kugapai hatimu
karena sebuah taruhan..
Kugapai
cintamu meski sempat ada penyesalan..
Memepermainkanmu
memasuki pertarungan..
Namun kau
tetap menyambutku dalam keceriaan..
Kau gadis
pertamaku..
Penghias hati
disela – sela hidupku..
Kau cinta
pertamaku..
Penyemangat
diri hidup yang semu..
Jalinan cinta
terwujud dalam sebuah cerita..
Jalinan cinta
mengalun bagai lirik dan irama..
Meski kau dan
aku berbeda..
Cinta tetaplah
sama..
Namun, cinta
itu berubah menjadi mimpi..
Ketika kau tak
sanggup lagi..
Demi sebuah
bakti..
Kau harus ku relakan
pergi..
Tak ku sangka
cinta kita tak abadi..
Tak ku sangka
alunan itu tak terdengar lagi..
Cinta kita
berlari pergi..
Mengiris pedih
bagai digergaji..
Inilah akhir
sebuah pertarungan..
Pertarunganku
berakhir dalam kesedihan..
Menutup cerita
dalam kenangan..
Menyisakan
luka yang tak terlupakan..
No comments:
Post a Comment