Sunday, December 9, 2012

Mengejar Pagi



Langit masih berselimutkan awan gelap. Azan subuh membangunkan  tidurku yang lelap. Walau rasa kantuk masih tetap hinggap, selepas sholat aku pun bersiap – siap. Pakaian dan atribut sudah lengkap. Balutan T-shirt dan celana panjang telah melekat. Si merah juga sudah siap. Ia bertenger di teras depan berkilauan penuh semangat. Aku pun tak mau ketinggalan. Seribu semangat bergelora kian mantap. Bersama si merah aku pun berangkat. Meluncur menyongsong pagi yang memikat.
Aku menggayung pedal dengan santai. Lembayung nyanyian penyemangat menyeringai. Berbait – bait lirik lagu mengalun dari koleksi mp3 yang kusimpan. Menemani pagiku dalam kedamaian. Menghilangkan sejenak aroma kepenatan.
“Widih.., pagi – pagi tumben udah keluar?” kata ibu terheran – heran. “Assalamualaikum!” Aku jawab pertanyaannya dengan salam, sambil lalu melenggang pergi bersama si merah. Para tetangga yang mulai beraktifitas juga sempat heran menatapku pergi di pagi buta. Tapi, kemudian mereka tersenyum setelah kusapa.
Aku dan si merah meliuk – liuk. Melewati jalan yang belum terlalu sibuk. Menyapa kokokan ayam. Membangkitkan gairahku yang sempat tenggelam.
Tiba di persimpangan Gajah Mada, jalan kami terhenti sejenak. Kesibukan warga mulai tercium menyeruak. Ratusan pedagang dan pembeli asyik bercengkrama. Keramaian Pasar Badung begitu terasa. Suara peluit tukang parkir nyaring terdengar. Para tukang parkir sibuk mengatur kendaraan yang datang dan pergi. Silih berganti kendaraan masuk dan keluar dari pintu pasar. Asap kendaraan pun tak terelakan mengganggu kesunyian suasana pagi yang menghilang. Seperti biasa, suasana pasar makin ricuh bila banyak orang tak sabar keluar dari kemacetan. Alhasil, suara klakson semakin menghilangkan suasana pagi yang tenang.
Aroma pasar begitu menyengat. Aneka bau bercampur aduk menjadi satu. Sayur mayur dan aneka buah – buahan tampak menyegarkan. Namun, aroma sedapnya nyaris tenggelam ditutupi aneka bau amis daging hewani dan keringat manusiawi. Untung saja kemacetan tak menjebak kami begitu lama. Terbebas dari kericuhan pasar dan problema aneka aromanya, kami melaju lagi hingga menyapa patung Catur Muka. Sesuai dengan arti namanya, wajah patung ini terdiri dari empat muka yang sama. Letaknya tepat di bundaran antara jalan Veteran dan jalan Gajah Mada. Dekat dari tempat si Catur Muka singgah, lukisan hamparan rerumputan dan pepohonan menyambut sumrigah. Taman Puputan Badung, demikian ia diberi nama. Ia seolah merayu kami tuk singgah disana. Kami lihat hiruk pikuk taman Puputan Badung juga mulai bersua. Namun, kami tak lantas tergoda. Kami pun sekedar melintas melewatinya. Kami pergi mengejar sebuah tujuan sebelum semua sirna.
Kugenjot pedal lebih cepat. Berusaha menggapai suatu misi agar tak telat. Tak peduli walau bercucuran keringat. Demi sebuah tujuan yang memikat. Sesekali kuteguk air dari botol minuman yang kubawa. Lumayanlah, seteguk dua teguk air mampu mengembalikan semangat yang tiba – tiba mereda.
Lintas jalan lurus tak berliku mengantarkan kami. Sepanjang jalan Hayam Wuruk seolah menyemangati. Liku jalanan tampak bersahabat. Sesekali kami bebas meluncur pada jalanan menurun. Namun tak jarang kami temukan area jalanan naik dengan kemiringin tajam. Aku menikmati jalan ini sembari bersiul ikuti alunan lagu yang masih berdendang. Hingga tanpa kusadari, rombongan pecinta sepeda mengikuti. Mereka melenggang mulus dan akhirnya kami terlewati. Kaki – kaki jenjang nan kuat mereka mengalahkan kekuatan kaki kurusku. Namun aku tak perlu kecewa. Langit masih belum terlihat sempurna. Ku kayuh lagi pedal dengan semangat empat lima. Kami melewati kanan kiri toko – toko dan restaurant yang masih tutup. Kebisuan ragam bangunan itu seolah menatapku datar. Aku acuhkan tatapan kebisuannya, kala nyanyian kriuk – kriuk perutku secara tiba – tiba bersorak “lapar”.
Belokan jalan Hyang Tuah hampir dekat. Begitu juga atap bumi hampir saja terlihat. Semangat genjotan pedal lagi – lagi kupercepat. Kala tiba di lintasan Hyang Tuah, senyuman pun mencuat. Aku kayuh alunan pedal perlahan. Bersantai sejenak menikmati pemandangan. Tampak di kanan – kiri aroma kebun bunga – bunga menyapu indra penciuman. Pesona aneka tanaman sangat sayang untuk ditinggalkan.
Tak sampai lima menit berlalu, traffic light bersiap menyambut kami. Ujung lintasan Hyang Tuah berganti melepaskan kami. Membawa kami menerobos By Pass Ngurah Rai. Lurus melintas arena parkiran dekat pantai.
Pesona pantai Sanur Bali mulai tampak nyata. Keindahannya sungguh menyegarkan mata. Aku bawa si merah naik melintasi gerombolan pasir. Tuk berhenti didekat pesisir. Langit kini menyapa para pengelana. Ia merangkul mentari tuk tersenyum bersama. Menampakkan diri dalam lukisan indah dunia. Menyongsong awal hari dalam balutan pesona.
Suara deburan ombak tiba – tiba datang. Ia merayuku tuk bertandang. Menyelam berpelukan bersama bebatuan dan karang. Mengalahkan dinginnya air yang menantang. Aku geletakkan si merah diatas pasir. Kulepaskan sandal jepitku, kemudian berlari meninggalkan pesisir. Menyeburkan diri menerima rayuan ombak. Bergabung bersama gerombolan anak. Kawanan anak – anak itu terbahak – bahak. Mereka bercanda bersama. Pandai juga mereka berenang. Dengan lincahnya mereka berlomba mengejar ombak. Berguling – guling dalam pelukan ombak, lalu membiarkan tubuh mereka terhempas ke pesisir pantai.
Disisi lain aku juga melihat kawanan anak lainnya. Mereka bermain di pinggir kapal yang berlabuh. Bukan kapal besar seperti Fery di Gilimanuk. Namun jenis kapal jukung dan  kapal boat yang menjadi arena permainan. Terkadang mereka asyik bergelantungan dibibir kapal atau sekedar melompat indah dari atas badan kapal.
Aku tetap berendam menjamu sang ombak dibawah sinar matahari. Ombak tak henti – hentinya merangkul tubuhku dengan mesra. Mentari seolah tak ketinggalan ikut menyambutku penuh ceria. Kehangatannya lenyapkan hawa dingin yang kini sirna.
Semakin mentari meninggi, semakin banyak orang datang singgah disini. Aktifitas mereka pun beragam. Seorang nenek - nenek duduk menenggelamkan kaki di pasir putih. Seorang lelaki bule berlarian di semenanjung tepi pantai dengan bertelanjang kaki. Sekumpulan keluarga asyik menggelar tikar sembari mengeluarkan bekal pribadi. Sepasang sejoli asyik berendam di tepi sembari bercanda saling mencipratkan air ke wajah masing – masing. Oh, tingkah sepasang sejoli itu membuatku iri. Tapi tetap saja tak dapat dipungkiri bahwa rayuan ombak mampu menggoda para penikmat pagi. Sebagian dari mereka lebih banyak memilih menceburkan diri.
Mentari tampaknya sudah mulai terik. Aku putuskan untuk berhenti bermain ombak. Aku berenang ke bibir pantai. Keluar dari arena permainan, tubuhku malah terasa menggigil. Tetesan – tetesan air keluar dari pori – pori T-shirt dan celana panjang yang kukenakan. Aku berjalan perlahan menghampiri si merah. Kutemukan ia masih terkulai pasrah. Aku menegakkannya setelah kukenakan sandal jepit yang kuletakkan disebelahnya. Aku menuntun si merah hingga perbatasan jalan setapak.
Kulihat para pedagang di pinggir pantai mulai membuka lapak. Berbagai pernak – pernik aksesoris dan pakaian khas Bali mereka jual. Seruan – seruan pedagang terdengar menawarkan barang. Namun aku menolak sembari terus melenggang.
Kriuk – kriuk nyanyian perutku lagi – lagi muncul tanpa terduga kala melewati seorang ibu – ibu pedagang jagung bakar. Hasrat ingin makan pun berkoar. Aku menghampirinya dan memesan satu buah. Si ibu mempersilahkanku tuk duduk diatas batu yang bertenger disamping alat pemanggang. Sementara si merah kuberdirikan disisi lain  sebelahku. Tubuhku yang tadinya masih menggigil akhirnya tertolong oleh hawa panas bara api dari alat pemanggang.
“Pedas Manis , Gus?” si Ibu hendak memolesi jagungku yang selesai dibakar. Aku mengangguk, lalu merogoh kantong celana yang basah. Dari kantong celana panjangku aku mengeluarkan selembar uang. Selembar uang lima ribuan basah itu kuserahkan pada si ibu.
“Ini kembaliannya, Gus!” lantas si Ibu memberiku selembar uang dua ribuan.
“Suksma, Bu.”
Masih diatas batu, aku duduk sembari menikmati jagung bakar. “Nyess!” Panas menyambar kala jagung bakar kugigit dan kukunyah pelan – pelan. Aroma jagung berlumur saus pedas manis berhasil menghentikan nyanyian kriuk – kriuk perutku ini.
“Glek.” Sehabis membabat habis sebuah jagung bakar, aku meneguk air yang masih tersisa dari botol minuman. Lumayan, sarapan pagi hari ini cukup mengenyangkan. Aku berdiri dan bersiap menaiki si merah.
Aku menapaki jalan setapak bersama si merah melawan arus jalan berbeda. Jika saat datang kami melewati parkiran, namun saat hendak pulang kami akan melewati ruas jalan belakang hotel. Di arena semenanjung pantai Sanur memang dekat dengan kawasan hotel bali Beach. Menurut sejarah yang kudengar, hotel ini merupakan hotel berbintang pertama di Bali. Bangunan hotel menjulang tinggi. Nuansa biru mendominasi tampilan luar gedung. Bangunan tampak belakang sengaja dibuat senyaman mungkin bagi para tamu yang hendak melihat langsung pesona pantai. Di pinggir pantai belakang hotel disediakan kursi panjang beratapkan tenda yang sengaja ditancapkan diatas pasir. Para bule yang suka berjemur bisa bersantai selonjoran kaki sehabis berenang atau sekedar duduk – duduk sembari membaca buku.
Melewati hotel, kami disambut puluhan warga beragama Hindu yang sedang mengadakan ritual sembahyang. Jalan kami terpaksa terhenti karena jalan setapak kini dipenuhi banyak orang. Aku mengalah membiarkan para pejalan lewat lebih dulu. Pada saat itulah, kuperhatikan aktifitas Sembahyang mereka. Para wanita membawa banten atau bisa juga disebut canang. Banten merupakan sesajen persembahan untuk para dewa – dewa menurut kepercayaan umat Hindu. Yang wanita mengenakan kebaya dan kamen, sedangkan yang pria mengenakan kemeja, kamen beserta udeng di kepala. Mereka duduk bersimpuh menghaturkan canang. Aroma wangi dupa tercium menusuk hidung. Mereka berdo’a di arena luar pesisir pantai dipimpin oleh seorang Pedanda. Lantunan mantra do’a mereka terdengar merdu seperti nyanyian kidung.
Ketika jalanan agak lenggang, aku kemudikan si merah kembali. Kami pergi tinggalkan suasana khidmat Sembahyang warga, namun tidak demikian dengan aroma dupa yang kini masih melekat di indra penciuman.
Aku melewati toko - toko yang menjual pernak – pernik lagi, juga warung – warung penjual makanan. Tiba di depan salah satu warung penjual rujak, aku dihadang oleh seekor anjing. Tampilannya tampak kusuh. Kulitnya bergelambir tak terawat. Tubuhnya kurus ceking berwarna abu – abu kusam. Matanya melotot menatapku. Lidahnya menjulur keluar. Taring giginya tajam menambah kesan horror seekor anjing liar. Ia menatapku lekat – lekat seolah bersikap awas terhadapku. “Guuk! Guk!.. Guk!” lolongannya nyaring terdengar mengagetkanku. Sontak nyaliku langsung ciut dan menghentikan laju si merah. “Guk.. Guk!” suaranya tambah kencang mengagetkanku. “Sssst!” kataku lirih seraya menempelkan ujung jari telunjuk kemulutku. “Guk!” ia berlari mendekatiku dengan muka garang. Sontak aku banting si merah ke tanah, lantas kabur berlari berbalik arah. Si anjing menggonggong semakin lantang. Aku terus berlari sambil menoleh sedikit ke belakang. Kulihat si anjing semakin asyik menggodaku. “Minggir! Minggir!” Entah kenapa aku bersorak menerobos orang – orang yang sedang berjalan. Tak peduli lagi aku dengan si merah yang kutinggalkan. Aku malah makin mempercepat laju kakiku dari kejaran. Meski sempat kurasakan otot – otot kaki kurusku terasa kejang – kejang, suara gonggongan si anjing masih saja terdengar dari belakang.  
“Jamil..!” tiba – tiba saja aku mendengar namaku disebut – sebut.
“Hey, Jamil.!” Seruannya makin kencang.
“Plak!” Kepalaku rasanya terbentur sesuatu yang empuk.
“Plak!” kali ini alunannya makin keras. Kepalaku langsung pusing. Mataku menyipit menatap seseorang yang tiba – tiba langsung berada tepat didepan mukaku. Wajahnya sangat mirip denganku. Hanya saja kepalanya plontos berambut gersang.
“Jamiiil..! Bangun Mil..!” saudara kembarku kini berseru lagi tepat di telingaku.
“Iya bawel..!” sergapku.
Aku beranjak dari tempat tidur dengan malas. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 10.00 WITA. Tak kusangka aku tidur begitu lama. Rencana olahraga pagi akhirnya tak terlaksana. Mengejar pagi hanya tinggal mimpi belaka. Oh, pagiku yang hilang. Pagiku yang terbuang.

No comments:

Post a Comment