Wednesday, December 26, 2012

Rindu dibawah Tebing Ayana


Raka sengaja datang terlambat. Begitu tiba, ia melihat sebuah mobil hitam mini mengkilat terparkir dibawah teduhnya sebatang pohon. Ia jelas tentu mengetahui siapa pemiliknya. Dayu Lastri telah tiba lebih dulu disana.

Raka memarkir sepeda motor nyentrik miliknya disebelah mobil Dayu Lastri. Ia kemudian melepas helm dan sesaat duduk terdiam diatas motor sembari menatap pesona alam dihadapannya. Tebing – tebing terjal nan tinggi masih tampak memiliki pesona yang memikat bila bersanding bersama hamparan luas lautan biru dan gumpalan awan putih langit bumi. Pesona daya tarik nan eksotik karya ciptaan Tuhan tersebut memang tak pernah hilang dari benak Raka. Tak ada sedikitpun pesona yang berubah, hanya saja kali itu Raka menemukan pemandangan lain tidak seperti biasanya. Ia melihat pada gundukan tempat kini ia berdiri tak lagi dipenuhi rerumputan hijau. Tanah yang ia pijaki kini tampak kecoklatan, beberapa kursi dan bangku terbuat dari batang – batang pohon hampir mengisi sebagian hamparan tanah coklat tersebut. Dua buah bangku panjang diletakkan saling berhadapan. Ditengahnya disisipi sebuah meja berukuran sama panjang. Sementara beberapa lainnya diletakkan disamping kanan kiri dekat bibir tebing dan sengaja dihadapkan mengarah ke eksotika pemandangan laut lepas.

Tak banyak pepohonan tumbuh menjulang disana. Dari bawah pohon tempat ia berdiri kini, ia bisa melihat pohon berbatang kurus di bibir tebing berteduh sebuah kursi kayu dibawahnya. Dibalik kursi itu, ia dapat mengenali siapa yang bersandar disana. Dayu Lastri telah duduk menanti kedangannya.

Raka memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Ia berjalan gontai meninggalkan motornya. Pandangannya lurus kedepan. Begitu tiba disamping Dayu Lastri terduduk, ia hanya berdiri mematung. Lastri yang menyadari kedatangannya lantas menoleh dan menyapanya, “Raka.” Suara lembut Lastri terdengar menyejukkan telinganya. Namun Raka tak lantas menyambutnya. Ia enggan berbicara. Matanya tetap menerawang memandangi hamparan lautan berangkulan bersama awan. Tatapannya kosong.


“Raka, duduklah disini, disebelahku.” Pinta Lastri seraya berdiri memegang lengan kiri Raka. Tapi, Raka tetap tak bergeming. Ditolehnya gadis itu sejenak, lalu dialihkan pandangannya lagi lurus kedepan.
“Aku mohon Ka, bicaralah padaku.” Kali ini raut wajah Lastri sedih. Mata Lastri basah seketika. Raka tak tega melihat gadis yang paling ia sayangi itu bersedih, sampai pada akhirnya ia menuruti permintaan Lastri.

Raka telah duduk dengan badan tegak, namun pandangannya masih kosong. Ia tetap membisu dan tak jua ia beralih melihat wajah Lastri. Dayu Lastri kemudian perlahan duduk disebelahnya. Kursi yang kini mereka duduki bersama ternyata menjadi sesak bila diduduki dua orang sekaligus. Maka, mau tak mau ujung lutut dan paha mereka bersentuhan. Lastri lantas menarik diri lalu kemudian memutuskan untuk duduk pada salah satu bagian lengan kursi.
“Jangan pindah! Tetaplah duduk disampingku.” Kata Raka begitu menyadari Lastri telah berpindah menjauh darinya.
“Tidak apa – apa. Duduklah dengan leluasa.” Tolak Lastri lembut sembari melemparkan senyum kepada Raka. Akan tetapi wajah Raka tetap datar. Tak ada balasan senyum darinya. Pandangannya kembali beralih kedepan.

“Byuuurrrr..!” terdengar suara deburan ombak menghantam dinding tebing – tebing begitu dahsyat. Keduanya kini saling terdiam. Raka masih asyik mengacuhkan Lastri, tenggelam dalam lamunan dukanya. Sementara Lastri tertunduk seraya menghentak – hentakkan kaki berbalut sepatu flat shoes pada tanah.
“Raka, maafkan aku.” Lastri kemudian memberanikan diri tuk memulai percakapan lagi.
“Lupakan saja soal itu.”
“Aku ingin membicarakan ini denganmu. Tidak bisakah aku mendapatkan maaf darimu?”
“Untuk apa?” suara Raka tetap datar.
“Agar hidupku tenang.”
“Bukankan kini hidupmu sudah tenang dan bahagia? Bukankah kini hidupmu telah bebas dariku? Jadi buat apa kau butuh maaf dariku?”
“Aku masih memikirkan tentang dirimu, Ka.” Tak terasa air mata mengalir deras dari pelupuk mata Lastri. Ia menangis sesegukkan.
“Jangan menangis dihadapanku!” bentak Raka.
“Maaf.” Lastri menghapus air matanya dan berusaha tuk berhenti menangis. Tiba – tiba kemudian Raka berdiri. Ia memegang wajah Lastri dengan lembut. Dihapusnya air mata Lastri yang mengalir dengan kedua tangannya. Kemudian ia tatap mata merah Lastri dengan iba, lalu memeluk wajah Lastri kedalam rangkulannya. Lastri semakin tenggelam dalam tangisnya.
“Aku memang belum sembuh dari luka. Namun luka belum bisa musnahkan rasa sayangku terhadapmu. Jadi, berhentilah menangis. Bukankah kau mengajakku ke tempat ini untuk memperbaiki hubungan kita? Mengenang masa – masa indah dalam balutan pesona lautan Ayana sebagai saksinya?” Raka memeluk Lastri semakin dalam. Ia belai rambut hitam legam Lastri yang terurai panjang.
“Ya, mari kita lakukan itu.” Lastri melepaskan pelukan Raka dan memandang wajahnya. Raka kemudian tersenyum namun tetap berusaha menahan luka.

Raka menarik tangan Lastri. Diajaknya Lastri turun menuruni tebing melewati ruas jalan yang telah disediakan. Jika dahulu ruas jalan menuruni tebing tampak lebih ekstrim dan terjal, namun kini telah dipersiapkan ruas jalan berupa anak – anak tangga.
“Tidak kusangka jalanan ini kini berubah.” Kata Lastri memecahkan keheningan.
“Jadi, tidak perlu takut lagi, bukan?” timpal Raka.
Mereka berdua bergandengan tangan, berjalan menuruni anak – anak tangga yang berliku. Di kanan kiri, bongkahan bebatuan yang terkikis oleh air laut menambah kesan eksotik panorama. Deburan ombak berkali – kali datang bangkitkan kesan ekstrim bagi para penakluk tebing terjal Ayana.
“Raka, bisakah jalan perlahan?” pinta Lastri saat menyadari kakinya kini menjadi sakit. Flat shoes yang ia kenakan tak sepadan bila diajak berkelana menuruni anak tangga bebatuan. Raka menghentikan langkahnya. Ia menunduk menatap flat shoes berpita yang membungkus kaki Lastri, dan kemudian tertawa.
“Hahahaha.., Lastri, Lastri, memang tak ada yang berubah darimu. Kemanapun tujuan kau pergi, flat shoes tetap menjadi andalan. Wkwkwwk..!” Raka terbahak – bahak puas melepas tawanya.
“Auuu!” Raka mengaduh kesakitan kala Lastri spontan mencubit lengannya.
“Aku rindu mendengar tawamu lagi.” Perkataan Lastri membungkam tawa Raka.
“Ayo lanjut!” Raka mengalihkan perhatian. Ditariknya lagi tangan Lastri sambil lanjut berjalan. Lastri akhirnya terpaksa berjalan lagi sembari menahan sakit.

“Duk..!” Raka melompat setelah sampai dipijakan anak tangga terakhir. Mereka berdua disambut hangat semilir angin yang membangkitkan bulu kuduk roma. Raka dan Lastri masih tetap bergandengan tangan. Diangkatnya tinggi – tinggi tangan Lastri keatas awan sembari menghirup dalam – dalam aroma pantai yang selama ini ia rindukan.
“Hiyaaa..!” Raka berteriak seolah ingin melepaskan penat yang telah bergerumbul dalam pikirannya.
“Hiyaaa..!” Lastri menyusul berteriak.
Raka lalu menarik Lastri untuk berlari ke tepian pantai. Lastri melepaskan sepatunya dan membiarkannya tergeletak diatas pasir. Sementara itu Raka juga melakukan hal yang sama.
“Ayo kita taklukan pantai ini!” teriak Raka seraya menarik tangan Lastri. Mereka pun berlari menuju tepian pantai. Masih dalam genggaman tangan Raka, Lastri mengikuti arah kaki Raka melangkah. Mereka berdua begitu menikmati suasana kali ini. Deburan ombak menjadi irama bagi langkah kaki mereka. Percikan – percikan air laut ikut menjadi bagian dari permainan kaki – kaki nakal mereka. Percikan air yang membasahi wajah dan pakaian mereka sekejap meruntuhkan ketegangan diantara mereka berdua. Suara tawa mereka seolah membangkitkan kembali kenangan – kenangan mereka yang telah lama terputus. Kenangan – kenangan itu mereka rajut kembali dibawah tebing – tebing dalam rayuan pesona pantai Ayana.
“Berhenti, Ka.!” Lastri menghentikan langkahnya sejenak.
“Kenapa?”
“Aku lelah.”
“Baiklah kita istirahat saja.”

Raka menuntun Lastri berjalan. Mereka berjalan menjauh dari pesisir. Tak jauh dari sana ada bebatuan yang bisa mereka duduki. Raka turut serta duduk setelah Lastri duduk terlebih dahulu. Mereka akhirnya duduk berdampingan. Lastri duduk selonjoran membiarkan kedua kakinya tenggelam dalam timbunan pasir. Sementara Raka duduk sambil menekuk kedua kakinya. Ia kemudian menatap laut, pikirannya menerawang lagi.
“Hff, Sudah lama sekali aku tidak melihat pantai.” Sesal Raka.
“Tak sempatkah kau disana sesekali pergi ke pantai?”
“Memang aku telah berkelana ke hampir setiap belahan bumi Eropa, namun tetap saja pesona pantai disini lebih kurindukan.” Raka menghela nafas. Ada raut kesedihan terpancar dari sela – sela matanya. Lastri bisa melihat mata Raka kini berair.
“Rakaaaa, maaf..” Lastri kemudian menggenggam tangannya dengan hangat. Raka membiarkan saja. Ia tetap lanjut berceloteh.
“Andai saja aku bukan Made Raka. Andai saja tak ada perbedaan kasta di dunia ini. Andai saja Aji-mu mau menerimaku.”
“Maaf.” Lastri lantas menangis sesegukan lagi. Ia tak tahan mendengar keluhan hati Raka. Laki – laki yang amat ia sayangi itu kini terluka.
“Sudahah. Semua sudah berlalu. Hmm., lalu bagaimana dia?” Kali ini Raka menoleh menatap wajah Lastri.
“Dia ?” dahi Lastri mengerut.
“Laki – laki pilihan Aji-mu.” Sambung Raka.
“Dia sangat baik.”
“Bahkan lebih baik dariku?”
“Sama baiknya denganmu, Ka.”
“Jadi, kini kau telah menyukainya?”
Lastri menganguk kecil. Hati Raka panas. Pisau yang telah tertancap dihatinya kini tertusuk lebih dalam lagi. Raka terdiam. Suara ombak terdengar kian menghantam keras tebing – tebing bebatuan. Walau sering dihantam ombak, meski kian lama terkikis, tebing – tebing masih tetap berdiri kokoh. Tebing itu seolah menggambarkan hati Raka. Walau serbuan luka yang kian membahana, meski hatinya kian rapuh, ia masih mampu tuk berusaha tegar. 

“Raka, kapan kau berlayar lagi?” Keheningan yang sejenak tadi tercipta pecah oleh pertanyaan Lastri.
“Sebulan lagi liburanku berakhir.” Kata Raka sambil tersenyum.
“Raka, tiba – tiba badanku tak enak.”
Raka memperhatikan wajah Lastri pucat pasi dalam sekejap.
“Ada apa Lastri?” wajah Raka ikut pucat.
“Hueeks!” Lastri memuntahkan isi perutnya. Pasir – pasir halus yang tadinya bersih kini bercampur kotor.
“Ayo kita pulang!” Raka lantas berlari mengambil sepatu mereka berdua yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka duduk. Raka memakai sepatunya kembali, begitu juga dengan Lastri. Mereka berjalan naik kembali keatas. Pelan – pelan Raka menuntun Lastri berjalan.
“Hueeks..!” ditengah perjalanan, lagi – lagi Lastri muntah – muntah. Raka berhenti sejenak dan memijat – mijat urat lehernya.

Tak sampai lima menit mereka tiba di tujuan. Mereka berjalan perlahan menuju tempat parkiran.
“Sudah berapa bulan, Las?”
“Dua bulan.”
“Hehe, tidak kusangka secepat ini.” Raka mengumbar senyum paksa.
“Masih terluka kah hatimu?” Lastri berpaling melihat Raka.
“Ayo! Cepat pulang!” Raka lantas mengalihkan muka.
“Tidak apa sendirian menyetir?” sambung Raka.
“Tidak apa – apa. Tenang saja.” Jawab Lastri seraya mengedipkan mata.
Sampai didepan mobilnya Lastri berhenti dan bertanya lagi. “Hmm, Kita tetap berteman?.” Tanyanya penasaran.
“Iya. Teman.” Jawab Raka datar.
Lastri masuk kedalam mobilnya. Sementara Raka berdiri diambang kaca pintu mobil.
“Tidak langsung pulang?” Tanya Lastri heran.
“Silahkan duluan Las.”
“Sampai jumpa Ka.”
Raka melambaikan tangan pada Lastri. Ditatapnya mobil mini hitam itu meluncur pergi. Sampai badan mobil tak terlihat lagi, ia masih berdiri disitu, mematung seorang diri. Bulir – bulir air mata tak ia rasakan kini telah merembes membasahi kedua pipi. Semenit kemudian ia lantas berlari hingga tepat mencapai bibir tebing. Jantungnya spontan berdegup kencang. Ia lihat bongkahan batu sebesar genggaman tangan bertenger disana. Ia lantas kemudian menendang keras – keras batu tersebut hingga tercebur jatuh kedalam lautan. “Pluk!” suara batu tercebur nyaris tak terdengar tertutupi oleh suara deras ombak. Ia harap batu tersebut tenggelam di dasar lautan paling dalam. Sedalam harapannya tuk menenggelamkan lukanya yang terdalam.

*** Ket :
Sebutan “Aji” berarti Bapak atau Ayah.
Perbedaan kasta masih berlaku bagi sebagian masyarakat di Bali.  Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. (sumber: http://imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/)

No comments:

Post a Comment