Wednesday, December 26, 2012

Mengenal Pasar dan Kehidupannya



Denpasar adalah pusat ibukota provinsi Bali. Bila para turis datang ke Bali, mungkin tak banyak yang tahu tentang kota ini. Mereka lebih mengetahui kawasan Kuta, Ubud dan Nusa Dua yang memang memiliki pesona alam lebih memikat. Sedangkan Denpasar berada dalam lingkungan sibuk khas perkotaan, serta sedikit sekali dijumpai panorama alam yang memikat. Namun, cobalah sesekali telusuri setiap liku jalan kawasan Jalan Gajah Mada dan sekitarnya. Memang, yang akan kita temui bukanlah panorama alam memikat, melainkan panorama kehidupan masyarakat yang hidup didalamnya.
Pada kawasan Jalan Gajah Mada, sampailah kita pada sebuah pasar. Pasar Badung namanya. Seperti lazimnya pasar adalah tempat bertemunya para pedagang dan pembeli, selalu ramai dikunjungi, juga ramai dipenuhi aneka bau – bauan mengengat indra penciuman. Di pasar Badung, orang dapat membeli aneka kebutuhan, baik kebutuhan bahan baku sehari – hari maupun kebutuhan sekunder lainnya seperti pakaian dan alat – alat rumah tangga.
Memasuki gedung pasar, kita akan disambut oleh tebaran para pedagang sembako yang tengah asyik menjajakan dagangannya. Di lantai dasar dan lantai 1 ini, jarang sekali ditemui para pedagang duduk terdiam menunggui pembeli yang datang. Mereka sangat asyik bercengkrama bersama para pembeli, beradu mulut dalam sebuah aksi tawar menawar. Kericuhan serta hiruk pikuk ini akan kita temui lebih sering di pagi hari, bahkan lebih pagi dibandingkan suara kokokan ayam yang baru terdengar kala mentari bersinar. Pasar sembako memang selalu tak sepi pembeli. Maka tak heran bila ruangan lantai dasar dan lantai 1 ini tak akan muat dijejali para pencari rezeki. Untuk mengatasi hal tersebut, maka arena halaman luar pasar dijadikan alternative sebagai tempat mereka berjualan juga. Dengan membangun tenda – tenda kecil, maka jadilah lapak – lapak para pedagang yang selalu bersemangat ini.
Jika kita menaiki lantai 2 hingga lantai 4, aktifitas pasar tidak akan terlihat di pagi buta, melainkan terlihat dimulai antara pukul 9 atau 10 pagi waktu setempat. Di lantai – lantai tersebut, kita akan temui aneka pedagang grosir pakaian, sandal, sepatu, tas, aksesoris, perabotan rumah tangga, serta peralatan sembahyang umat Hindu, seperti udeng, kamen, baju kebaya, dan aneka perkakas upacara lainnya.
Diantara siang yang mengengat kericuhan pasar makin menyurut. Tak banyak pembeli lalu lalang datang. Maka, sebagian pedagang sembako akan mulai menutup gerai lapak mereka. Sementara selain pedagang sembako, pedagan lain tetap beraktifitas menunggui lapak mereka. Jika kita naik ke lantai 2 hingga 4, maka bersiap – siaplah ditawari oleh para pedagang disana. “Ayo mampir kesini , Gek! Bli Bagus.,!” begitulah sapaan khas mereka. Atau bila pembelinya ibu – ibu mereka menyapa, “Bu, cari apa?”
Menuruni anak tangga terakhir tepatnya di pintu keluar gedung, kita akan disambut para pedagang aneka buah – buahan dibawah tenda yang mereka bangun. Kesegaran aneka buah setidaknya dapat menyejukkan mata dan menggugah tenggorokan yang kering. Apel, mangga, jeruk, salak, rambutan, anggur hitam meramaikan keranjang – keranjang besar. Bulir – bulir tubuh kulit aneka buah – buahan tersebut niscaya menggoyang lidah kita untuk sedikit mencicipinya. “Apel..! Salak..! Mangga..!” seruan para penjaja buah akan langsung menyambut kita kala melewati gerai – gerai mereka.
Semakin sore, biasanya pada pukul 3 sore keatas, bersiaplah untuk jalan berdesak – desakan. Karena semakin sore hari, keadaan pasar kembali ricuh. Puluhan orang datang, baik bertambahnya para pembeli maupun para pedagang, terutama di area luar pasar. Teriakan para pedagang menambah keramaian langkah – langkah kaki para pembeli yang ikut berbaur disana. Tidak hanya pedagang buah yang tampak, melainkan pedagang ayam potong, ikan bakar, daging sapi potong mulai berjualan kembali. Aktifitas keramaian pasar sore akan berlanjut hingga petang.
Pemandangan demikian memang sudah biasa. Tapi ada suatu pemandangan berbeda yang akan kita jumpai. Dikerumunan para pedagang tersebut, ada seorang laki – laki mengenakan kalung besar nan panjang. Setelah didekati kita akan lihat jika kalung yang ia kenakan bukanlah kalung biasa. Lingkaran kalung yang menghiasi talinya bukanlah berupa manik – manik nyentrik, melainkan kumpulan uang kertas robek, berwarna pudar tampak disana. Si laki – laki akan berseru kepada para calon pembelinya kira – kira seperti ini, “Yang mau tukar uang! Silahkan.!” Pekerjaan seorang laki – laki tersebut adalah membeli uang yang sudah tak berwujud lagi dengan harga murah tentunya dibawah harga nominal yang tertera pada uang tersebut. Ia kumpulkan uang – uang itu hingga akhirnya bisa ia tukarkan pada bank dengan nominal yang sesuai pada lembaran uang yang ditukarkan. Ada – ada saja cara orang mencari rejeki.
Aksi kreatif para pencari rejeki memang tidak ada habisnya. Jika profesi laki – laki yang diceritakan diatas tersebut mencari untung dari selisih nominal harga jual dan beli uang, maka lain halnya dengan cara yang dilakukan oleh jasa pengangkut barang atau tukang “suwun”. Profesi ini lebih banyak ditemui di pasar saat kita sedang bertransaksi dengan pedagang. Orang – orang ini datang menghampiri kita sembari membawa keranjang berukuran besar diatas kepalanya. “Bu, bawa belanjaan banyak ya? Saya angkut ya?” begitu biasanya mereka menawarkan jasanya. Namun ironis sekali, ternyata profesi ini banyak dilakoni oleh para gadis – gadis kecil yang masih belia. Antara salut akan semangat bekerja mereka, atau malah kasihan melihat aksi mereka yang seharusnya tidak perlu capek bekerja, betapa mirisnya nasib mereka.
Ada hal lain juga yang akan kita temui menjelang sore yang semakin padat. Berjalanlah dan turunlah ke arena basement parkiran khusus mobil yang baru selesai dibuat. Disana mata kita akan terpana, khususnya bagi wanita pecinta belanja. Tampak oleh mata ada jejeran para pedagang menggelar tikar, kemudian duduk sembari menata pakaian yang mereka jual. “Beli ! Ayo Beli ! Harga murah! Satu kemeja sepuluh ribu saja!” begitu rata – rata teriakan mereka. Wih, mendengar harga yang ditawarkan murah meriah, bagaimana tidak orang berbondong – bondong datang ke pasar ini. Istilah lainnya pasar kodok atau pasar pakaian second.
Jalanlah perlahan melewati satu persatu lapak pedagang disana. Cari dan temukan aneka jenis pakaian yang sesuai selera, mulai dari kemeja, celana, rok, jaket, dan aneka T-shirt. Pandai – pandailah memilih model dan warna. Meski semua adalah pakaian import bermerek luar negeri, pilihlah dengan teliti. Tapi tetap digaris bawahi, bahwa tidak semua pakaian bekas yang dijual disini selalu terhindar dari cacat. Namanya juga pakaian bekas. Dan jangan lupa siap – siap kantong menjadi jebol. Bila kita tergiur membeli begitu banyak pakaian nanti uang kita malah habis hanya untuk keperluan baju saja, hehe..

Kawasan Sekitar Pasar
            Berdampingan dengan Pasar Badung juga terdapat sebuah Pasar lainya. Hanya dengan melintas melewati jembatan disamping wilayah Pasar Badung, maka kita akan tiba di lokasi Pasar Kumbasari. Pasar ini juga bertingkat, namun tak sebanyak dan seluas wilayah Pasar Badung.
Di sekitar area kawasan pasar Badung lainnya, banyak terdapat aneka toko yang letaknya sangat dekat dengan lokasi pasar. Kita tinggal berjalan kaki menelusuri setiap toko yang ada di pinggir – pinggir trotoar jalan. Di sepanjang jalan Sulawesi, kita akan disambut deretan toko kain. Aneka jenis kain mulai yang polos hingga bermotif tersedia disini. Rata – rata pemilik toko kain adalah orang – orang keturunan Arab. Setiap harinya toko kain selalu didatangi para pembeli, mulai dari orang – orang setempat hingga para turis bule yang datang dari luar negeri. Walau banyak toko kain berderet – deret, sikut – menyikut antar pedagang tidaklah berlaku. Bila kita datang ke salah satu toko kain, sedangkan bahan kain yang kita cari tidak tersedia, maka dengan senang hati pedagang disana akan memberi refrensi toko lain disebelah – sebelah mereka. Begitulah persaingan sehat yang sudah ada dan menjadi peraturan para pedagang kain disini. Kadangkala, antara toko satu dengan toko lainnya, motif dan warna kain yang mereka jual jarang terlihat sama.
Ketika menyusuri aneka toko kain yang begitu banyak, sesekali kita akan melihat toko – toko mebel menyusup diantara toko – toko kain tersebut. Meski tak banyak toko mebel yang ada, namun kesibukan tetap terlihat kala para pedagang mebel tengah bertransaksi dengan calon pembelinya.
Sehabis menyusuri deretan toko kain, tepatnya di dekat area seberang masjid kita akan langsung disambut oleh para ibu – ibu yang tengah duduk di pinggir trotoar. Mereka duduk diatas kursi plastik, membawa timbangan kecil, dan biasanya memakai ikat pinggang yang terlingkar dipinggang mereka. Ikat pinggang mereka bukan sembarang ikat pinggang biasa. Melainkan sebuah dompet kecil bertali panjang itulah ikat pinggang mereka. Kalau melihat para pengunjung yang lewat, mulailah mereka beraksi., “Jual emas, Bu?” begitu tawaran mereka. Biasanya emas yang dijual kepada ibu – ibu adalah emas tanpa sertifikat sehingga dapat dibeli dengan harga murah.
Dimana ada ibu – ibu pembeli emas, disana ada toko – toko emas berjejar. Sepanjang jalan diseberang masjid, mata kita akan terpukau melihat kilauan emas yang dijual pada rak – rak berkaca di toko emas. Aneka ragam perhiasan seperti kalung, gelang, cincin dan anting tersedia disana. Jika ingin membeli emas batangan juga ada, tinggal pilih saja berapa karat jumlah kadar emas yang ingin kita miliki. Hehe, jalan – jalan ke toko emas memang menyegarkan mata. Pesona kilauannya tidak hanya menggoda mata, namun pantas dijadikan invenstasi jangka panjang yang berharga.

Kuliner
Jalan – jalan menelusuri pasar dan sekitarnya memang bisa menguras energy dan tenaga. Alhasil perut menjadi keroncongan dan tenggorokan menjadi kering. Tapi, tenang saja. Mencari makanan disekitar pasar sangatlah mudah. Berikut beberapa makanan yang biasa dijumpai di sekitar pasar.
Rujak Kuah Pindang
Rujak kuah pindang adalah salah satu makanan khas dari Bali. Rujak adalah makanan yang terdiri dari aneka irisan buah – buahan yang dimakan bersama campuran bumbu kuah pindang. Buah – buahan yang biasa digunakan seperti bengkoang, mangga, papaya, nanas, timun, kedongdong, jambu air, dan sela. Kuah pindang berasal dari rebusan ikan pindang. Kaldu pindang yang dihasilkan inilah dijadikan bumbu utamanya. Dalam sebuah ulekan, campuran bumbu terasi, garam, petsin, dan cabe merah diulek secara merata, baru setelahnya kuah pindang dicampur dan diaduk bersama racikan bumbu. Terakhir irisan buah – buahan dimasukan kedalamnya. Rujak kuah pindang pun siap untuk disantap. “Srrppp..! aroma khas pindang akan terasa saat kita menyeruput sesendok saja. Semakin pedas rujak semakin dahsyat sensasi memakannya. Mungkin bagi yang tidak suka mencium aroma pindang, tidak akan suka dengan rujak ini. Namun, rujak kuah pindang tetap memiliki kelezatan yang khas di lidah – lidah para penggemar makanan pedas.
Pedagang rujak akan dijumpai di dalam pasar. Salah satunya seorang ibu – ibu yang berjualan rujak disela – sela pedagang buah. Letak tempat ibu tersebut berjualan adalah di area luar gedung pasar, tepat diujung dibawah anak – anak tangga. Tidak hanya rujak kuah pindang yang ia jual, ia juga menyediakan rujak gula bali, gula pasir, maupun rujak cuka. Tergantung apa selera kita. Yang pasti kelezatan memakan rujak khas Bali ini dapat kita nikmati hanya dengan mengeluarkan uang sebesar Rp. 5.000,- saja per porsi.
Mie Ayam
Mie ayam adalah salah satu makanan khas Indonesia. Entah dimana asal – usul pertama kalinya mie ayam berkembang, namun mie ayam tetap menjadi makanan favorit masyarakat Indonesia. Campuran mie dan ayam dicampurkan dalam kuah beraroma kaldu sangat pas disajikan dalam keadaan panas. Tinggal diberi kecap, saos dan sedikit sambal mampu menggoyang lidah para penikmat kuliner.
Lain halnya dengan ibu – ibu pedagang rujak tadi. Jika ibu tersebut berjualan dari pagi sampai dagangannya habis ditempat yang sama, maka berbeda dengan dagang mie  ayam keliling yang akan kita jumpai disini. Biasanya Bapak – bapak penjual mie ayam tersebut terlihat di dekat parkiran motor dengan gerobak coklatnya hanya pada siang hari. Selebihnya ia akan berpindah tempat keliling mencari calon pembeli. Kenikmatan mie ayam keliling di area pasar ini dapat kita nikmati hanya sebesar Rp. 7.000,- saja per porsi.
Sate Lilit
Sate lilit juga termasuk salah satu makanan khas Bali. Daging ikan cincang dibumbui khas bumbu bali, dicampurkan dengan parutan kelapa, kemudian dililitkan pada tusukkan bambu. Setelahnya dibakar diatas bara api hingga matang. Barulah sate lilit ikan ini siap disantap bersamaan racikan sambal mentah khas Bali.
Pedagang sate lilit lebih banyak kita jumpai dibanding dengan pedagang rujak. Masih tetap di luar area lapangan pasar, berderet – deret akan tampak jelas tercium aroma khas sate lilit. Nikmati dan rasakan sensasi khas daging ikan dalam baluran sambal pedas penggoyang lidah., Hmm, yummy…!
 Aneka Jajan Pasar
Jika tidak ingin makan makanan berat, salah satu alternatif lain adalah mencari jajanan pasar. Masih di tempat yang sama, akan kita jumpai pedagang ini. Mulai dari donat, molen, pisang goreng, lumpia, tahu isi, kelepon, hingga bubur ketan hitam. Semua makanan tersebut dijamin murah dan manjur sebagai pengganjal perut yang kelaparan.
Aneka Es
Perut yang lapar telah terisi penuh, tinggal waktunya menyegarkan tenggorokan yang terasa haus. Tidak perlu khawatir mencari air mineral dan aneka minuman es segar disana. Pedagang keliling penjual makanan dan minuman ringan akan dengan siaga berkeliling mengintai calon pembeli. Selain itu jika ingin minuman khas Indonesia seperti es kelapa muda maupun es cendol juga tersedia disana.
Sesekali mengamati dan menelaah kehidupan hiruk pikuk pasar menjadi kegiatan berbeda selain menikmati panorama alam penyejuk mata. Bila melihat panorama alam adalah menikmati seni indahnya ciptaan Tuhan, maka mengamati kehidupan masyarakat adalah seni mempelajari nilai kehidupan manusia didalamnya.

No comments:

Post a Comment