Monday, April 1, 2013

Musuh Lama



Aku baru saja selesai melakukan rutinitas perburuanku, mengoyak – ngoyak sampah demi temukan sisa makanan yang dapat kumakan. Perut kenyang membuatku bersemangat kembali. Akan tetapi, ketika aku hendak melangkah pergi meninggalkan timbunan sampah, nasib sial malah telah menanti. Musuh lamaku muncul tanpa diduga. Matanya yang menyala – nyala bagai tersulut api kemarahan menantiku di ujung gang. Dadaku seketika sesak. Api dari matanya membuat ketakutan seketika menyusup melewati paru – paruku. Kaki – kakiku bergetar, menahan beribu kecemasan yang melanda. Kini lengkaplah sudah, aku terpenjara dalam rasa cemas dan takut tuk menghadapinya.

“Hei, kita bertemu lagi!” pandangan matanya seolah berkata demikian. Kulihat ia berdiri dengan angkuhnya. Ia menyeringai sembari menatapku lekat – lekat. Api kemarahan masih tampak jelas dimatanya. Sedangkan aku masih diselimuti gelora ketakutan. Tapi, dengan sedikit keberanian, kucoba melawan ketakutan itu. Seribu tenaga kukerahkan tuk pergi menghindarinya. Aku lari terbirit – birit.

“Hei jangan lari!” suaranya yang khas makin mempercepat irama berlariku. Aku berlari sekencang – kencangnya tanpa menoleh lagi. Kutahu ia sudah pasti mengejarku kini. Aku terus berlari tanpa peduli jalanan licin akibat lumpur yang menggenang di sepanjang gang. Cipratan – cipratan air bercampur lumpur yang pada akhirnya mengotori wajah dan tubuhku pun tak kupedulikan. Yang kuinginkan saat ini adalah segera terbebas dari buruannya. Aku tak tahu harus meminta tolong pada siapa. Meski berteriak sekalipun belum tentu akan ada yang mendengarkanku. Meski salah satu anggota kawananku melihat kejadian ini, belum tentu mereka akan menolongku. Bisa jadi niat mereka urung ketika melihat musuh lama, yakni musuh lama kawanan kami yang mengejarku. Alhasil mereka pasti hanya menatap ngeri melihat aksi kejar - kejaran ini.

“Hff… hff.. Hfff..!” nafasku mulai tersenggal – senggal. Tapi aku belum mau menyerah. Masih ada kesempatanku untuk berlari dan terus berlari meski musuh lamaku itu tampak tak mau menyerah juga mengejarku.

“Mau kemana kamu hah?” suara lantangnya semakin dekat saja. Aku berlari semakin kencang dan lincah. Kuterobos setiap pemukiman disepanjang gang, sampai akhirnya otakku harus terpaksa berpikir mencari ide, kala kulihat ujung gang yang kulewati ternyata buntu. “Aduuuh..!” kepalaku mendadak sakit. Tapi untung saja nasib masih berpihak padaku. Begitu dekat dengan tembok buntu batako yang kokoh berdiri, kulihat ada lubang kecil disisi ujungnya. Aku rasa tubuhku muat masuk menerobos kesana. Sementara ia dengan besar tubuh kira – kira empat kali lipat dari ukuran tubuhku tak mungkin muat memasuki lubang itu. Dengan api kenekatan yang membara, aku memejamkan mata sembari berlari masuk ke lubang kecil tersebut.

“Dug..!” Suara tembok beradu kepala terdengar begitu keras. Aku membuka mata dan meraba keningku. Ternyata tidak terjadi apa – apa. Aku masih baik – baik saja. Tubuhku masih utuh. Sementara ini aku aman berada disini. Terowongan gelap beraroma pesing bercampur aroma sampah menyelamatkanku dari kejaran musuh bebuyutanku. Dari dalam terowongan aku bisa bernafas lega. Kudengar ia mengaduh kesakitan sembari berkoar – koar, “Rrrrr!!” Tampak diluar hentakan – hentakan tangannya berusaha memasuki terowongan kecil tempatku kini bersembunyi. Kukira dia kini benar – benar mengamuk seolah pertanda ingin berkata kepadaku, “Hey! Lihat saja akan kutangkap kau!”

 “Kresek..! Kresek..!” Spontan aku berbalik arah menoleh berusaha melihat dalam kegelapan. Perlahan aku melangkah maju sembari mencium aroma si musuh lamaku yang kutahu masih diluar sana.
“Kresek! Kresek!’ suara – suara gerakan musuhku makin tercium. Aku beranikan diri melangkah lebih maju, berdiri tepat dibibir terowongan dan menempel pada dindingnya. Niatku ingin menjulurkan sedikit kepala ini terhenti oleh perasaan cemas yang menggelora. Kuurungkan niat kemudian berbalik mundur.

Aku masih dihantui perasaan takut. Kesempatan bersembunyi didalam terowongan aku manfaatkan untuk beristirahat sejenak meregangkan tubuh.

“Kreoook!” perutku lapar kembali. Aku mengais – ngais tanah yang kupijaki mencoba mencari sisa – sisa makanan yang mungkin tersangkut di terowongan ini. Namun, semua tampak sia saja, karena baru kusadari aku bukan sedang berdiri diatas tanah, melainkan diatas suatu benda keras yang tak bisa kukais – kais dengan jemariku.

“Braaak! “ tiba – tiba aku merasa terowongan kecil ini seperti terguncang. Aku bersiaga, otakku mulai mencari ide, bagaimana aku bisa keluar dari terowongan ini.
“Haruskah aku keluar dari pintu yang sama? Wah, sudah pasti ia masih menungguku diluar sana.”
“Haruskah aku maju melangkah ke depan? siapa tau ada jalan keluar bila aku terus berjalan? Sepertinya ini langkah yang tepat.” Aku berpikir sejenak sampai – sampai tak menyadari ada kilatan berwarna kuning terihat dari lubang terowongan.

Cahaya kuning menyala berbentuk runcing tampak menyeramkan tuk dipandang. Aku sudah menduga cahaya kuning tersebut berasal dari monster hitam legam bermata kuning, alias musuh lamaku yang sedari tadi berusaha memburuku. Sebuah bola mata kuning runcing menyala itu menatapku penuh api kebencian. Api yang selalu tersulut setiap kali kami tak sengaja berpapasan. Sudah berulang kali kawanan monster besar itu menjadi musuh kawanan kami. Entah bermula dari kawanan mana, dan penyebabnya apa, kawanan monster besar pemburu dan kawanan kerdil seperti aku ini selalu tak pernah akur bila bertemu. Bukan apa – apa , kawanan kami yang kerdil bukannya takut menghadapi kawanan monster besar itu, namun badan kerdil kami tidak ada apa – apanya bila dibandingkan dengan tubuh raksasa yang dimiliki kawanan monster.
“Rrrr!” Geramannya seolah ingin berkata, “hey, kerdil! Tak mungkin kau lepas dariku! Sudah, menyerah sajalah!”

Aku diam tak menghiraukan tatapan kebencian dan amarahnya yang tersulut api. Aku harus berusaha memutar otak tuk segera keluar dari terowongan, berusaha tak terpancing oleh api kegilaannya memburuku.
“Rrrrr!” Mana kepiawaianmu? Bisanya pergi kabur dari kejaranku? Kenapa kita tak bertarung saja?” Mata kuningnya melotot kearahku, api makin memanas di arena perburuan.
Namun, sekali lagi aku tak terpancing. Aku meraba dinding terowongan berharap temukan celah tuk keluar. Aku menyeret kaki – kakiku yang sudah semakin melemas. Saluran nafasku seakan tercekat. Namun tidak dengan penciumanku. Aku terus berjalan mengikuti insting indra penciumanku yang lumayan tajam.
“Braaak! Duk..!” sebuah benda masuk mengguncang terowongan. Kulihat tangan monster legam itu sedikit bisa memasuki terowongan. Dengan sigap aku lompat menerjang dan menggigit tangannya. “Rrrgg..!” Ia mengaduh kesakitan. Aku terus mengigit tangannya supaya ia menyerah. Akan tetapi aku tak mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya. Ternyata tangannya bergoyang – goyang sengaja ia hentakkan keatas, kebawah, kekanan, dan kekiri hingga menyentuh dinding – dinding terowongan. Hal itu membuat tubuhku terang saja terguncang dan bertabrakan dengan dinding terowongan yang keras. “Tidak! Tidaaak!’ aku mengaduh kesakitan. Terpaksa aku melepaskan gigitanku hingga akhirnya tubuhku jatuh terhempas kebawah terbebas dari hantaman tangannya.

“Hfff..! Hff…!” berulang kali aku mengatur nafas. Aku meraba tubuhku. Ada sedikit lecet menghiasi permukaan kulitku. Beberapa bulu rambutku ada yang terlepas, dan beberapa bulu rambut si monster malah tertinggal dikulitku.
“Tap!” Baru saja aku menghela nafas, tangannya sudah menggenggam tubuhku. Cepat – cepat aku memulihkan tenaga berusaha menggigit tangannya keras – keras. Ia akhirnya melepaskanku walau masih sempat mencakar punggungku. Aku pun sontak berlari menjauh.
Darah. Kuraba tubuhku dan kucium aroma darah keluar dari kulit tubuhku. Aku meringis kesakitan. Sempat terlintas ide untuk menyerahkan diri saja kepada si monster, tetapi hati dan tekadku tuk menghindar dari si monster mengalahkan keputusasaan. Aku tetap berjuang sendiri meski harus mati di terowongan ini. Ya, setidaknya jarak pintu masuk terowongan dan tempat kini kutergeletak tak mungkin terjangkau lagi oleh tangan besar si monster. Aku tengkurap, badanku lemas, mulutku komat – kamit berdo’a, dan seketika mataku terpejam.

Lima menit kemudian
Aku membuka mata. Kulihat suasana masih tampak sama. Dugaanku berada di alam lain tidak terbukti. Bersyukur ternyata aku masih diberi kesempatan hidup. Tubuhku masih tergeletak di dalam terowongan, masih dalam gelap disinari sebuah lingkaran kecil cahaya yang menyusup dari pintu masuk terowongan.

Aku menegakkan kepalaku. Kulihat suasana tampak damai diluar sana. Tak ada  lagi guncangan – guncangan, tak ada lagi tangan si monster yang menyusup kedalam terowongan. Yang ada, hanya aku dalam terowongan damai. Tampaknya api amarah dan kebencian musuh lamaku itu ciut karena tak berhasil menangkapku. Ada perasaan bangga akan diriku yang mampu bertahan hingga detik ini. Maka, untuk memastikan keadaan diluar dalam keadaan baik dan aman, aku beranikan diri untuk mendekat dan mengintip.

“Hah,! Mau kemana kau?” Baru saja aku mengeluarkan tubuhku sedikit, si monster yang ternyata masih menunggu diluar langsung muncul mendekat. “Ciiit!” aku mencicit ketakutan langsung kabur kembali menjauh dari pintu terowongan. Si monster hendak measukkan tangannya kembali, namun langsung urung begitu suara majikannya datang.
“Bolang, kamu ngapain disini?”
“Meoooong…!”
“Ayo kita pulang sayang. Jangan merusak pipa saluran rumah orang ya?.”
“Meoong..!”
“Bolang bandel.!”
“Meooong..!”

Suara pemilik monster legam tersebut akhirnya menjadi penyelamatku. Si monser legam bermata kuning dan berkumis tipis itu akhirnya terpaksa pergi dan tak berusaha memburuku lagi. Si majikan menggendong monster legam dipundaknya. Monster dan majikannya berjalan pergi meninggalkan terowongan saluran pipa, tempat dimana aku bersembunyi. Pada saat itulah, aku berjalan maju mendekati pintu terowongan. Dengan santai aku keluar darisana. Kulihat monster legam menatapku masih dengan api amarah dan kebencian. Kumisnya naik turun seolah menandakan isyarat mengejekku, “Sampai ketemu lagi Tikus kerdil!”

22 January 2013, pk 00.10
Denpasar
 

No comments:

Post a Comment