Monday, April 1, 2013

Sebuah Misi



“Lepaskan ! Lepaskan aku !” Ia berteriak memberontak. Tubuhnya terbaring diatas sebuah kasur putih dengan kedua tangan terikat pada dua sisi tiang kasur. Bola matanya berputar – putar, melotot keluar. Tubuhnya kurus tak tearawat. Bibirnya bergetar terus menerus berteriak minta dibebaskan. Tangisan dan teriakannya membuatku sedikit takut berada didekatnya.
“Lepaskan! Lepaskan aku !” kali ini suaranya mungkin sudah terdengar hingga keluar ruangan kamar. Api menyala – nyala dari matanya yang kini memerah. Ia menghantam – hantamkan kedua kakinya ke tiang kasur, berusaha mencoba meloloskan diri dari ikatan kuat yang melingkar pada pergelangan kedua tangannya.
“Lepaskaaaaaaan..!! huaaaaa…!”
“Tenang, Bu ! Tenang..!” aku berusaha berbicara lembut kepadanya.
“Sialan!”
Seketika aku langsung shock mendengarnya. Seorang ibu paruh baya yang tak terurus itu berseru  demikian kepadaku. Aku jelas tentu mengerti kalimat tersebut bukan ditujukan padaku. Maka dari itu, demi sebuah tugas dan misi aku tetap tegar menghadapinya. Toh, ini baru hari pertama.
“Ibu, minum obat dulu ya?” aku tersenyum lembut kepadanya. Senyumanku malah dibalas tawa keras darinya.
“Hahahaha…! Kau menyuruhku minum obat?”
Aku mengangguk.
“Kau berusaha membunuhku dengan obat, keparat..?!”
“Tidak mungkin Bu” aku menggeleng ketakutan. Kulirik Suster Rina yang berada disampingku berusaha meminta bantuannya tuk membujuk si ibu.
“Ibu, ayo minum obat dulu. Nanti dimarahi Tuhan lho..!” suster Rina tersenyum sambil siap menyendokkan obat ke mulut si ibu.
“Benar, Tuhan marah?”
“Makanya minum obat ya? Nanti Tuhan bakal nyuruh Suster Rina buat lepasin ikatan ini.” Suster Rina mengangkat kepala si ibu dan memasukkan sesendok obat kedalam mulut si ibu.
Sejenak si ibu terdiam tak memberontak lagi. Api yang tampak jelas dimatanya tadi seketika redup disirami bujukan suster Rina.
“Ayo kita biarkan dia istirahat.” Pinta suster Rina padaku. Kemudian aku dan suster Rina berbalik pergi dan menutup pintu kamar si ibu. Kulihat si ibu menutup matanya pelan – pelan sampai akhirnya terpejam.
“Kamu harus bersabar ya. Ibu Jelita sudah disini lebih dari dua tahun lalu. Dan, kadang – kadang ingatan tentang masa lalunya yang menyakitkan bangkit kembali. Makanya, tingkahnya seperti tadi itu.” Suster Rina berusaha menyemangatiku.
“Iya Sus, ini memang tugaksu. Kalau bukan demi menyelesaikan tesis dari kampus, saya sudah pergi ganti topik.”
Aku dan suster Rina berbincang – bincang mengenai ibu Jelita sambil berjalan menuju ruang kerjanya. Sesampainya di ruang kerja suster Rina, yang merupakan kepala suster Rumah Sakit, ia memperlihatkan padaku data – data Ibu Jelita.
“Fotocopy data – data Ibu Jelita, dan pelajarilah! Semoga itu membantu pembuatan tesis materi kuliahmu.”
“Terima kasih Suster Kepala.” Kataku sembari tersenyum pada suster Rina.
“Iya sama – sama.”
 Aku berjalan pergi meninggalkan rumah sakit. Di depan pintu keluar, aku mengambil handphone dari dalam tas. Ketika hendak menelpon taxi, kupandangi sejenak wallpaper layar handphone milikku. Senyum simpul wajah Ibu menatapku dengan hangat. Aku membalas tatapannya penuh rindu. “Tenanglah Ibu, misiku kan segera kutuntaskan!” seruan semangat menggema kedalam pikiran. Kobarannya menyala – nyala bagai serigala yang siap menerkam mangsa.
**
Esok paginya aku kembali ke rumah sakit.
“Selamat pagi.!” Customer Service di lobi depan menyapaku dengan senyuman.
“Pagi.! Suster Rina sudah datang?” tanyaku sembari membalas senyumnya.
“Oh, sudah. Silahkan langsung saja ke ruangannya ya, Mbak.”
“Terima kasih.”
Aku berjalan menuju ke ruangan suster Rina. Di perjalanan aku berpapasan dengan beberapa pasien. Mereka bertingkah laku bermacam – macam. Tergambar jelas diwajah mereka, raut muka keputusasaan dan kesengsaraan yang terbungkus oleh berbagai aksi pertunjukan.
“Hei, mau kemana kamu?” seorang perempuan yang kira – kira seumuran denganku menghalangi jalanku.
“Hei. Saya mau cari suster Rina.” Jawabku berusaha tersenyum.
“Tidak ada.! Suster Rina sudah mati.! Kubunuh dia tadi. Hahaha..!!” ia tertawa puas.
“Permisi..!” Aku kemudian kabur mengambil langkah seribu lari dari hadapannya.
Sesampainya di ruang kantor Suster Rina, aku langsung mengetuk pintu yang terbuka.
“Pagi Suster.!”
“Pagi Jihan! Mari masuk!”
“Ini saya kembalikan data – data ibu Jelita.”
“Iya, terima kasih.”
“Jadi, sudah siapkah kamu?”
“Tentu saja Sus.”
Tiba di depan pintu kamar ibu Jelita, kami berdua masuk dan menemui ibu Jelita sedang duduk dengan tatapan kosong diatas sofa.
“Ibu Jelita, apa kabar?” Suster Rina langsung menghampirinya.
“Haha, suster..! Suster Rina cantik! Hihi..!” Jelita merangkul lengan suster Rina seraya mengoyang – goyangkannya.
“Ibu, ada yang mau kenalan tuh.”
“Siapa?”
“Ini Jihan. Cantik bukan dia?” Suster Rina memperkenalkanku pada ibu Jelita.
“Halo ibu.!” Sapaku sembari tersenyum.
“Suster, aku takuuut..” ibu Jelita merangkul erat lengan suster Rina.
“Tenang ibu, Jihan gadis baik kok.” Aku merunduk dan menatap lembut matanya.
“Jiaan, anak baik?” ibu Jelita menatap suster Rina, dan suster Rina membalas pertanyaannya dengan anggukan pelan.
“Jiaan, anak baik.” perlahan kedua tangan ibu Jelita menyentuh kedua pipiku.
“Puk, puk..!” pipiku ditepuk – tepuk perlahan olehnya. Aku tersenyum dan berkata, “Jadi, kita berteman kan Bu.?”
**
 Aku mengajak ibu Jelita berjalan – jalan di pekarangan rumah sakit. Ibu Jelita duduk diatas kursi roda. Sembari santai berjalan, sesekali aku mengobrol dengannya.
“Lihatlah Bu, dunia itu begitu indah. Menghirup udara dibawah pepohonan rindang, menikmati panorama alam yang begitu memukau. Kupu – kupu dan bunga bercanda dalam kemesraan. Kita pun kini sedang bersantai menikmatinya.”
“Hihi..! Hahaha..!” ibu Jelita sudah pasti tak menyimak kalimat panjangku. Ia tertawa – tawa sendiri sembari menengadah ke langit luas, kemudian tiba – tiba menunduk sedih. Seketika ia memilin – milin rambut pendeknya yang kusut lalu kemudian bernyanyi – nyanyi.
“Bukan aku orang itu! Aku benci kamu!”
Aku membiarkannya saja. Seharian menghabiskan waktu bersama ibu Jelita membuatku teringat kembali akan ibuku sendiri. Ada kesedihan mendalam menelusup dalam diri Ibu Jelita. Sakitnya terpancar dari mimik wajahnya yang tampak depresi. Jiwanya terganggu. Pikirannya tak menetu. Bayang – bayang masa lalu masih hinggap sisakan luka. Tetesan air mata seketika menetes dari pipiku. Bayang – bayang wajah ibu sekilas hinggap dibenakku. Rindu memang selalu terasa. Tapi, kesedihan mendalam lebih ikut tertanam dilubuk hati. Kupandangi rambut ibu Jelita yang mulai beruban. Percikan api tiba – tiba menyulut dari dalam diri. Inginku segera menuntaskan misiku saat ini juga, akan tetapi akal pikiran sehatku menyiramnya dengan beribu pertimbangan. 
“Ibu, tunggu saja. Misiku sebentar lagi terlaksana.” Kataku dalam hati. Aku pun menghapus air mataku sambil terus berjalan. Bersama ibu Jelita melewati setiap tikungan jalan berpetak.
**
Berhari – hari aku mengunjungi ibu Jelita hingga akhirnya ia mulai terbiasa dengan kedatanganku. Kami tak canggung tuk berbincang – bincang sembari berjalan – jalan, atau mengobrol bersamanya di dalam kamar.

Tiba di suatu hari yang tak terduga.
“Hiks..! Hiks,,,!” tangis ibu Jelita tiba – tiba. Aku baru saja keluar sebentar untuk menemui Suster Rina. Tapi, begitu kembali ke kamar Ibu Jelita, aku kaget melihat ia duduk bersandar disisi tiang kasur sembari menangis.
“Ibu? Ada apa?” aku langsung panik datang menghampirinya.
“Siiii.. siapa kamu?” ibu Jelita melihat takut kearahku.
“Aku Jihan, bu.” Aku mengguncangkan tubuh lemahnya sembari menatap matanya. Wajah ibu Jelita langsung pucat pasi. Bibirnya gemetar menahan tangis. Ia kemudian merangkul kedua kakinya sembari terus menatap curiga kearahku.
“Jangan! Pergi jauh sana! Hiks ! hiks!” ia sedikit berteriak kepadaku. Aku yang tadinya setengah berjongkok dihadapannya langsung berdiri. Kemudian hendak mengambil tas selempang milikku yang kultinggalkan tadi diatas sofa. Niatku untuk pergi keluar dari kamar meninggalkannya terhenti kala kutemui tasku dalam keadaan terbuka. Dompetku berserakan disamping tas. Aku lantas mengambil dompetku yang juga dalam keadaan terbuka. Mataku otomatis tertuju pada foto yang kusimpan didalam dompet. “Ibu” . Wajah itu yang selalu menghiasi hati dan pikiranku. Ibu menjadi penyemangat hidupku sekaligus pembuka kembali rasa sakit hatiku. Kupandangi sejenak foto ibu sampai tak terasa air mata mengalir dari sudut – sudut mata.
“Wanita itu.!”
“Ya. Apakah kau ingat ibu Jelita?” aku lantas menoleh kearah ibu Jelita yang masih terduduk pasrah di lantai.
“Kkkkk…Kau dan waaaa.. nitaaaa itu?” ibu Jelita menatapku lekat – lekat. Tatapan matanya tak percaya hingga membuat bola matanya mencuat. Aku tersenyum seraya berjalan lalu berjongkok dihadapannya. Kudekatkan mukaku kearah mukanya dan kukeluarkan foto ibuku dari dalam dompet.
“Lihat, apakah ada yang kau ingat dari wajah wanita ini?” aku menunjukkan foto ibuku lebih jelas padanya.
“Tidak! Tidak!” ia menggeleng – geleng tak percaya.
“Ibu Jelita, wanita ini adalah ibuku. Wanita yang kau siksa sepanjang hari hingga dia mati di tanganmu.” aku berbisik kepadanya. Api yang sempat meredup didalam dada seketika langsung tersulut membentuk beribu percikan yang menyala – nyala.
“Hiks..! hiks!” ibu Jelita menangis tersedu seraya menutup kedua telinganya.
Tangisan sendu ibu Jelita rupanya tak meredupkan percikan – percikan api yang menyala. Kilauan percikannya berubah menjadi satu kesatuan amarah yang telah tersimpan dalam lubuk hati. Kobaran api amarah dan kebencian seolah menyatu dan tak dapat redup bahkan oleh tetesan air dari malaikat baik yang sempat bernaung dalam diri. Benci dan amarah yang tak tertahan membuatku tak banyak berfikir lagi. Aku mencekik leher ibu Jelita dengan kedua tanganku.
“Jaaangaan!” teriakan ibu Jelita nyaris tak terdengar.
“Matilah kau!” aku berseru kecil seraya terus menyumbat aliran pernafasannya tanpa perlawanan.
“Aaa..Maaa..af..!” hanya kata maaf itu yang tertangkap dari gerak bibirnya sebelum akhirnya ia benar – benar menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku kemudian melepaskan peganganku dan duduk menjauh darinya. Kulihat ia tersungkur lemah di lantai. Aku tersenyum puas. Air mata langsung mengalir deras dari kedua pipiku. Kudekap foto ibuku erat – erat sembari terus menangis. Antara rindu, derita, dan bahagia bercampur hinggap di dada.
“Ibu, misiku telah tuntas. Mantan majikan kejam ibu akhirnya mati juga!” teriakku dalam hati.
Tangisku semakin menjadi.



30 January 2013, pk 21.52
Denpasar
BOM CERPEN

No comments:

Post a Comment