Thursday, October 18, 2012

Suara dari Balik Pagar

Pagi itu aku biasa lari pagi. Biasanya aku lari - lari menuju taman dekat rumah. Tetapi kali ini aku ingin mencoba menelusuri jalan baru. Maka begitu aku lihat gang perumahan elok nan megah, aku pun berlari menuju kesitu. Rata - rata perumahan disini besar - besar dan benar - benar tampak megah. "Wah, betapa nikmatnya jika aku pemilik dari salah satu rumah di kawasan ini." lamunku dalam hati.

Lima belas menit setelah merasa lelah berlari, aku berhenti sejenak di salah satu depan rumah megah. Dinding pagarnya bertembokkan marmer cantik nan berkilauan. Rumah ini terdiri dari dua tingkat bergaya modern bercat hitam putih. Sembari beristirahat aku terkagum – kagum memandangi rumah ini.

"Praaaaaaaang..!!" Tiba - tiba suara pecahan piring terdengar keras. Aku mencari sumber suara. Sesaat sunyi seketika. Aku pun acuh lalu berniat untuk berlari lagi. Baru saja kakiku akan melangkah, tiba - tiba samar terdengar suara minta tolong. 
"Tolooong..!" suara itu terdengar lirih diiringi tangisan sendu..
"Praaaaaaaanng.. !! Buk...!!" suara itu kini makin terdengar jelas. Aku dengar lagi dan berjalan perlahan menuju arah sumber suara. Aku dekatkan telinga di dinding tembok pagar rumah.
"Dasar wanita jalang!! Beraninya kau menasehatiku, hah?!" seruan suara itu terdengar tepat dari balik gerbang ini.
"Jangan..!! Huaaaaaah!!" suara seorang wanita terdengar lebih kencang.
Suasana pagi itu begitu sepi. Mungkin tak ada yang tahu suara kegaduhan yang kudengar karena orang - orang di sekitar perumahan ini tak pernah saling bertegur sapa. Mereka terkesan cuek bila berpapasan atau bertemu di jalan. Individualisme sungguh terasa di perumahan mewah ini.

"Gedubraaaaaak..!!!" suara dentuman terdengar begitu keras. Aku beranikan diri mengintip dari sela - sela bilik pintu pagar. Dari sana aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di teras rumah itu. Seorang laki - laki bertubuh kekar tampak nanar menatap seorang wanita yang kini terkujur lemah di lantai teras. Tubuh wanita itu penuh luka, berdarah - darah. Sebuah meja bundar terbelah jatuh tepat di sebelah wanita tak berdaya itu. Sepertinya wanita itu tak bisa berbuat apa - apa. Ia masih bernafas, namun lemah karena banyak mengeluarkan darah. Tak berselang berapa lama, laki - laki bertubuh besar itu meminum alkohol yang sedari tadi ia pegang. Matanya merah memancarkan amarah luar biasa. Ia menikmati tegukan demi tegukan alkohol sembari menatap wanita dihadapannya.
"Makanya, ini akibatnya jika kau coba mengguruiku..!" Ia berkata sembari tersenyum sinis pada si wanita.

"Deg." jantungku berdetak melihat peristiwa ini. Kaki terasa kaku untuk melangkah. Cukup. Cukup sudah yang aku lihat. Mungkin setelah ini aku harus bergegas pergi lapor ke polisi atau pergi tanpa pura - pura tak tahu apa yang telah terjadi. Masih dengan pikiran kacau aku bersiap melangkah berlari. Saat hendak berlari itulah aku terkejut setengah mati.
"Hey..! Siapa disana?" suaranya lantang menakutiku. Aku berlari ketakutan. Berusaha berlari dengan kencang. Sempat aku menoleh sejenak. Saat itu kulihat laki - laki itu mengejarku sembari membawa sebuah parang kayu. Kukerahkan seluruh tenaga, menghindar pergi dari kejaran laki - laki itu. 

Aku berbelok meliuk - liuk melewati setiap gerbang rumah - rumah besar disana. Anehnya, tak ada satu orang pun tampak keluar dari rumah melihat aksi kejar - kejaran pagi ini. Ah, betapa tak pekanya orang - orang disekitar sini. Padahal saat ini aku butuh pertolongan. Aku berusaha lari sekencang - kencangnya tanpa peduli bahwa nafasku sebenarnya sudah tersenggal - senggal. Lelaki itu lebih cepat berlari dari dugaanku. Jaraknya denganku semakin dekat. Aku tak kuat lagi. Telapak kaki terasa perih. Lutut terkilir sakit sekali. Seketika aku terjatuh terlentang di tepi jalan. Aku dengar langkah kaki mendekati tubuhku. Aku tak dapat bernafas. Aku lelah berlari. Dan kini ketakutanku tak terkendali. Laki - laki itu membalik paksa tubuhku yang terlentang. Aku berusaha bangkit dan terduduk lemas. Lelaki itu tersenyum seringai kepadaku. Ia bersiap menghantamku dengan parang kayunya.
"Jangaan..!" seruan dari mulutku tampak parau.
"Saya mohon, Pak!" kataku memelas.
"Mohon apa kamu, Erwin?!" 
Lha, aku heran. Kenapa dia tahu namaku?
"Bukan apa - apa." sahutku kemudian.
Ia lalu menjatuhkan parangnya disebelahku dan tiba - tiba menjewer telingaku dengan keras.
"Aoooooo!!" aku berteriak kesakitan dan mendapati diriku kini berada di ruangan kelas. Sekejap aku melihat Pak Yusuf, guru Sejarahku berada disebelahku seraya menjewer telingaku yang kini menjadi merah. Gemuruh tawa ramai sontak terdengar di seluruh penjuru kelas.
"Ayo berdiri di depan sebagai hukuman.!" perintah Pak Yusuf padaku.
Masih dengan mata mengantuk aku berjalan lunglai menuju ke depan kelas. Satu persatu kulihat wajah - wajah senang teman - temanku berbisik - bisik sembari sesekali menatapku cekikikan. 

No comments:

Post a Comment