Sunday, October 28, 2012

Renatta

Malam ini Imam dirundung rasa gelisah. Pikirannya kacau dan tak tenang. Mukanya tampak sendu. Ia hanya duduk diam di depan televisi. Matanya itu tak tertuju pada layar televisi, namun ia justru memandangi bingkai foto digenggaman tangannya. Matanya menerawang tak menentu dalam diam menatap suasana persahabatan yang terbingkai  disana. Sebuah potret dirinya dan Renatta, sahabat karibnya sedang tersenyum bahagia. Potret kebahagian itu tak lantas membuat wajah sendunya berubah sumrigah. Ia masih berpikir dan merasa putus asa. Pose kebahagian itu diambil oleh ayahnya enam bulan lalu. Usia persahabatan  mereka memang terbilang cukup baru. Tapi, bagi Imam, Renatta adalah penyemangat hidupnya. Berkat kehadiran Renatta, hari - hari Imam semakin berwarna. Sepulang dari bekerja, ia selalu menyempatkan diri untuk menemui Renatta. Imam selalu bercerita mengenai keluh kesah dan cerita hidupnya yang cukup rumit. Imam menceritakan betapa capeknya disuruh - suruh  oleh atasannya, cerita tentang seorang gadis yang menarik perhatiannya di tempat ia bekerja, dan betapa kesepian dirinya setiap melewati malam minggu. Imam tau Renatta mungkin bosan terhadap liku kisah hidupnya yang begitu - begitu saja. Namun, Imam sangat menyukai Renatta, karena Renatta tak pernah sekalipun mengeluh bosan mendengar ceritanya. Maka, ketika minggu lalu ayah Imam mengatakan bahwa dirinya harus siap kehilangan Renatta, Imam sungguh sangat kecewa. Ayahnya tak mau mendengarkannya. Negosiasi Imam untuk tetap bisa bertemu dengan Renatta tak dihiraukan oleh ayahnya. Alhasil, selama seminggu belakangan ini, Imam tak pernah absen bertemu dengan Renatta. Imam berusaha menunjukkan wajah sumrigah seperti biasanya dihadapan Renatta. Ia tidak tega jika sahabat karibnya itu tau kalau ia sedang bersedih.

"Allahu Akbar..! Allahu Akbar.!" suara azan dari Masjid membangunkan Imam dari tidurnya. Ia tak menyadari bahwa ia tertidur diatas sofa di ruang televisi. Ibunya yang ketika itu berjalan melewati ruang televisi, heran melihat anak lelakinya berada disitu. Imam menguap lebar dan tiba - tiba merangkul Ibunya. "Bu, tolong rayu ayah ya.!" rengeknya manja.
"Aduh, anak Ibu." Ibunya tersenyum geli seraya melepas pelukan paksa dari Imam.
"Ayolah Bu...!" rengek Imam lagi.
"Udah sana, siap - siap kita sholat." kata Ibunya seraya bergegas pergi tinggalkan Imam yang kini bersedih lagi.

"Allohu akbar, Allohu akbar, Laa ilaaha illalloh. Allohu akbar, Allohu akbar. Allohu akbar walillaahil ahmdu" 
Setelah sholat subuh berlangsung, suara gema takbir hari raya terdengar dari kejauhan. Ayah, Ibu, Imam dan seorang adik laki - lakinya telah siap dengan atribut pakaian sholat mereka. Bersama - sama mereka keluar dari rumah menuju masjid untuk melangsungkan sholat Ied. 

Di perjalanan pulang dari sholat Ied, mereka sekeluarga bersalam - salaman dengan sanak saudara dan para tetangga dekat mereka. Hingar bingar suasana keramaian hari raya makin terasa diiringi gema takbir yang masih mengalun dari arah Masjid. Imam tak mau ketinggalan moment salam - salaman itu. Namun, ia sepertinya harus buru - buru. Ia harus pergi menemui Renatta. 

Imam telah sampai lebih dulu di rumahnya. Di pekarangan rumah ia melihat Renatta memandang kearahnya. Ia hampiri Renatta dengan muka sedih kali ini. Imam sudah menduga hal ini akan terjadi. Wajah Renatta tampak lesu. Mukanya pucat pasi. Kondisi Renatta yang demikian menyulut kesedihan yang telah tertanam dihatinya. "Ren, maafkan aku ya. Aku tak dapat berbuat apa - apa kini." kata Imam berusaha mengibur seraya mengelus rambut Renatta yang tebal.

"Imam. Ayo segera bantu ayah.!" perintah ayahnya ketika ayahnya telah tiba di rumah.
"Ayah, tidak bisakah?" tanya Imam memelas kepada ayahnya.
"Imaaam..!" tegur ayahnya sambil geleng - geleng kepala.
Imam pasrah mengikuti perintah ayahnya. Digandengnya Renatta berjalan menuju tempat ayahnya berdiri di dekat keran air. Imam agaknya harus sedikit mengeluarkan tenaga untuk membawa Renatta karena pada saat itu Renatta berontak tak mau ikut dengannya. Keringat dingin mengucur lantas keluar dari tubuhnya hingga akhirnya Imam berhasil membawa Renatta pada ayahnya.

Ayahnya memegang punggung Renatta kemudian  memberi aba - aba kepada Imam. Renatta terguling pasrah walau sedikit berontak. Imam mengikat kaki Renatta dengan cepat.
"Bismillahi Allahu Akbar!" Ayahnya beseru ketika pisau besar telah mendekat dileher Renatta. Imam seketika tertunduk sedih tak berani melihat.
"Embeeeeeeeeeeeek..!!" Lumuran darah merah mengucur mengotori pekarangan. Dunia Renatta gelap. Setetes air mata meluncur dari sudut mata kiri Imam. "Selamat tinggal Renatta.!" katanya parau.

No comments:

Post a Comment