Sunday, October 28, 2012

Rindu Nasi


Tepat di luar pintu bandara, aku terpana melihat Ular besi yang melintas melewati lintasan layang di hadapan kami. Aku menunjuk ke arah ular besi berwarna abu itu berharap bisa menaikinya menuju tempat peristirahatan yang tak tahu dimana letaknya. Keinginan menaiki ular besi urung tatkala sebuah mobil taxi berhenti dihadapan kami bertiga.
"Kita naik taxi saja" ajak Anita sembari menghampiri Pak supir taxi. "Do you speak English?" tanya Anita padanya.
"Tidak, saya melayu"
Paras melayu tergambar jelas dari wajah Pak sopir. Dengan ramah dan bersahabat ia mempersilahkan kami masuk setelah koper - koper kami diangkut kedalam bagasi.
Bahasa inggris yang pas-pasan membuat kami bersyukur ternyata si Sopir berbicara malaysia. Setidaknya bahasa malaysia tidak berbeda jauh dengan bahasa kita., itu yang ada dipikiranku saat itu.

"Selamat datang di negeri kaya ini! Lihatlah betapa cantiknya Singapore" Pak sopir membuka percakapan khas dengan logat melayunya saat mengendarai taxinya.
"Hendak kemana?"
"Hotel 81 Bugis, Pak" jawab Anita langsung. Walau tak tahu apakah di hotel tersebut masih tersedia kamar atau tidak., hanya nama hotel itu yang teringat saat hunting hotel murah di mbah google.

Sepanjang perjalanan, kami dan Pak Sopir asyik bercakap - cakap. Terkadang aku mengerti apa yang diucapkan, namun terkadang aku bingung apa yang diucapkan. Ternyata, tidak mudah juga memahami bahasa melayu. Pendapatku akhirnya berubah setelah ini. Yang aku tangkap dari ucapannya, pak sopir masih dengan sikap ramahnya menceritakan bagaimana nikmatnya tinggal di singapore. Awal pertama kali hanya untuk berlibur. Kedua kali akhirnya bekerja dan menetap di negara singa ini., itu yang kutangkap dari kisah perjalanan hidupnya sampai di negeri ini.

Sepanjang perjalanan kami larut saling bertukar tanya maupun pendapat dengan Pak sopir ditemani iringan lagu - lagu khas melayu dari radio yang diputarnya. sesekali kami melihat dan menikmati atmosfer di sekeliling kami. Jalan rayanya lebar melebihi lebar jalan by pass ngurah rai. Pohon - pohon rindang nan bergerumbul tak sebanyak di sepanjang by pass. Tak ada sampah, bersih, dan hanya sedikit dedaunan kering yang terkulai jatuh di pinggiran jalan. Jalanan macet namun tak semacet jalan by pass.. Lalu lalang kendaraan mobil beraneka ragam merk dan bentuk memadati jalanan. Tak banyak mobil - mobil mewah yang melintas, sedikit sepeda motor yang ikut meramaikan jalan ini dan yang terpenting tak ada terdengar bunyi klakson yang berkoar - koar seperti di jalanan by pass. Masing - masing tertib melintas jalan raya. Senyuman kecil yang lantas berubah jadi senyuman cengar cengir teraut dari muka - muka anak kampung Indonesia ini.

Aku Makin tercengang dan takjub kala melihat gedung - gedung tinggi menjulang di kanan kiri persis suasana Jakarta. Namun tentunya lingkungan sekitarnya bersih tak sama dengan jakarta.
"Nah, itu tampak marina bay disana!" seru Pak sopir sembari menunjuk ke arah 3 bangunan tinggi nan megah dan diatasnya terdapat bangunan lagi menyerupai perahu yang menutupi ketiga atap bangunan. Tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah lintasan berbentuk lingkaran sebagai tempat lintasan kereta gantung. "Singapore flyer." aku menunjuk gambar tampak malam singapore flyer di peta yang tadi aku ambil di bandara.

Setengah jam kira - kira taxi menempuh perjalanan dari bandara hingga sampai di bugis street, tempat lokasi hotel 81 bugis berada. Keluar dari taxi dengan membayar sebesar 20 sgd, kami turun tepat di depan pintu hotel. "Selamat bersenang - senang di Singapore" itulah kata perpisahan dari Pak sopir yang disambut dengan senyuman hangat dari kami bertiga.

Kurasakan panas menyengat setelahnya. Cuaca Singapore kali itu tak beda jauh dengan Cuaca Denpasar. Masih tak percaya juga, tak kusangka aku dan kedua sahabatku benar - benar di luar negeri. Sekarang koper - koper kami masih di depan pintu masuk hotel. Kami menarik koper memasuki lobi hotel. "Do you still have available room here?" kataku pada resepsionis pria dan wanita yang sedang bertugas. Wanita berambut panjang dengan blazer hitam yang membaluti tubuhnya kemudian melihat ke monitor komputer dihadapannya. Dia memberitahuku ada sebuah kamar tersedia dan setelah aku bertanya berapa harga kamar selama 3 hari ia pun berkata, "555 sgd for 3 nights". Aku berpaling pada Anita dan Aan. Kalkulator yang ada di meja resepsionis langsung kuambil dan mulai menghitung. "555 x 7.200" bisikku sembari memencet tombol pada kalkulator. "Deseng, 4jt an!" seru ku dalam hati. Aan dan Anita pun bergumam tak setuju. "Do you know where is 81 herriatage hotel?" tanya Anita langsung pada mbak resepsionis. "In jalan sultan and this is the phone number" Si mbak menyodorkan no telp hotel tersebut.

Kami keluar hotel Dengan lunglai sembari menyeret koper kembali. Perut sudah berdendang menyanyikan lagu khas kriuk kriuk. Raga terasa lelah juga. Mata pun mulai mengantuk. Tak sabar rasanya ingin berbaring sejenak. Apadaya kita belum menemukan hotel yang sesuai budget.

Sejenak kita berdiam masih di depan hotel ini. Tepat di sebelah gedung hotel terdapat sebuah mini market. Hasrat lapar tak kuasa ku tahan dan segera memutuskan membeli beberapa cemilan disana. Aku dan Anita memasukinya. Sementara Aan tetap di tempat sembari menjaga koper - koper kami.


Begitu masuk hotel aku dan Anita segera menuju tempat minuman dingin tepat disebelah kasir. Anita Mengambil air mineral aqua ukuran sedang seharga 2 sgd. "di indonesia dapat 5 botol nih" lirihku. Kenudian kami berkeliling dan berharap temukan cemilan dengan harga murah. Yup, kami ambil roti berukuran besar dengan harga 7sgd. "Lumayan sepertinya bisa menunda lapar", pikirku. Aku mengeluarkan uang 10 sgd dan menyodorkan kepada kasir berkepala botak yang berseragam merah.

"Glek!" ada rasa lega kala air menelusup masuk melewati tenggorokan kami. Aku kemudian membuka plastik yang membungkus roti rasa cream kopi. Sobekan pertama kukunyah dengan lahap. Setidaknya roti ini cukup menahan rasa lapar kami hingga temukan hotel.
"Coba di hotel itu yuk!" ajak Anita sembari masih mengunyah.
Sebuah pintu hotel lain berjarak 2 bangunan dari 81 bugis tampak disana. Kami pun berjalan sembari menyeret koper. Aku dan Aan masuk, sementara Anita menunggu diluar menjaga koper.
Kali ini resepsionisnya sendirian seorang laki - laki. Kami bertanya masih adakah kamar kosong untuk kami, namun jawabannya membuat kami terpaksa keluar dari hotel tersebut. "We have 1 available room but only for one day."

Aku melihat langit singapore masih sama. Panas mentari pukul 10 pagi lebih terasa menyengat ditambah perasaan harap - harap cemas menemukan hotel yang sesuai. Mau tak mau kita harus mencoba ke hotel 81 heriatge.. Menurut mbak resepsionis hotel 81 bugis, 71 jalan sultan hanya beberapa menit dari hotel 81 bugis. Namun, anak - anak kampung indonesia ini tak tahu dimana letaknya. Haruskah kita berjalan kaki menemukannya? Sambil membawa koper - koper lumayan berat ini? Oh tidak, benar - benar seperti backpacker - backpacker bule yang pernah melintas di jalan kuta ataupun jalan di depan rumahku. Bedanya mereka menggendong ransel super besar, sedangkan kami menyeret koper dengan berat 9kg -an. "Fuih, membayangkannya saja keringat semakin bercucuran. Alhasil, saat sebuah taxi melintas, kami stop dan langsung menaikan koper kami sendirian. Si sopir tua berkebangsaan cina itu, antara tak kuat atau tak bersedia mengangkatnya. Dia hanya membuka bagasi taxi dan menyuruh kami memasukan koper. Dari situ kami sudah menduga, kali ini Giliran kami bertemu supir taxi tak ramah.

"hotel 81 heriatge in jalan sultan, please." kataku tak bersemangat. Taxi pun melaju tinggalkan bugis street melewati victoria street, dan street street lainnya yang tak sempat ku hapal.
Tak berapa lama, kami diturunkan tepat di depan pintu 81 heriatge. Tanpa senyuman, setelah kami menurunkan koper sendiri dan membayar 15 sgd, taxi yang dikendarai pak cina tua itu pun berlalu..

Bergegas kali ini hanya Aan yang masuk dan bertanya. Aku dan Anita berdiam diluar penuh harap. Tak lama berselang. Aan keluar dengan muka sumrigah dan bertanya, "3jt selama 3 hari, gimana ?"
"Ok" kata Anita setuju sembari menyeret koper masuk ke dalam. Aku mengikutinya dari belakang. Dari mbah google aku tahu, di singapore sangat susah menemukan hotel murah. Ya, apa boleh buat kami keluarkan paspor untuk pendataann diri dan membayar kas lunas. Kami bersyukur akhirnya mendapatkan hotel walaupun baru jam 1 siang kita dapat langsung ke kamar yang tersedia. Ini masih jam setengah 12 siang. Walau akhirnya ac di dalam hotel meneduhkan raga, Perut kami lapar. Setidaknya waktu satu setengah jam dapat kami manfaatkan untuk mengisi perut kami. "You could leave it while you going to lunch." gadis resepsionis dengan rambut yang diikat berbaik hati menjaga koper - koper kami. "But, do you know where you can find kfc?" tempat makan berlogo kakek tua yang lantas terlintas dalam benakku. "Oh, near from here. In that mall" sembari menunjuk ke seberang jalan, resepsionis berdarah cina berambut cepak dengan logat bahasa inggris yang kurang kami mengerti menjawab.

Kami bertiga keluar dari hotel dan merasakan panas lagi. Kami berjalan lunglai lurus kedepan hingga temukan zebra cross. Dari seberang lampu merah sudah terlihat papan bergambar kakek tua itu. Perut makin berontak tak sabaran. Otomatis kami mempercepat langkah menyeberangi zebra cross begitu lampu bergambar manusia pada trafic light menyala. Memasuki mall, kami sudah disambut pintu masuk yang terletak disebelah kanan menuju rumah makan kakek tua. Akhirnya makan!

Design dan interior gambar kfc sama seperti di indonesia. Seragam pegawai, meja dan tempat duduk tak berbeda jauh. Namun, kami tercengang kala melihat menu makanan yang terpasang . Tak ada gambar nasi, makanan yang sedari tadi kami cari. Gubrak. Hanya ada ayam seharga 11 sgd dan menu -menu lain yang tak pernah kutemui. Jiah. Diskusi singkat pun terjadi. Antara memilih menu yang ada atau keluar dari sini dengan harapan kecil temukan nasi. Baru saja meninggalkan tanah kelahiran , kami sudah rindu padamu, "nasi oh nasi... "

No comments:

Post a Comment