Thursday, October 18, 2012

Tulisan dalam Gelap


Sore hari tiba. Saatnya menghentikan aktifitas kantor yang menyiksa. Seperti biasa, aku selalu pulang dengan menaiki Sarbagita. Akan tetapi, ada yang berbeda untuk hari ini. Aku diajak oleh beberapa teman kantor pergi sejenak ke mall. Ya, hitung - hitung refreshing sejenak melepas penat, tak ada salahnya pulang ke rumah lebih lambat. Maka, untuk menuju mall aku berboncengan sepeda motor dengan salah seorang temanku. Tiba di mall, kami jalan menyusuri butik - butik pakaian, mencoba - coba pakaian yang mungkin cocok sehingga akhirnya aku temukan pakaian yang cocok dan pas untukku. Niat untuk menghemat tak belanja pun sirna dalam sekejap. Godaan iman akan penampilan pakaian bagus pun tak terelakan. Akhirnya, dengan perasaan berat hati aku ambil kartu ATM dan menuju meja kasir. Ya sudah, aku pun pulang tanpa tangan hampa.

Di luar mall, tampak langit berubah gelap. Pukul setengah tujuh, masih ada secerah sinar orange mewarnai langit, pertanda sang raja siang segera siap bersembunyi ke peraduannya.
"Masih adakah Sarbagita yang lewat?" tanya salah seorang temanku kala berjalan keluar dari pintu mall.
"Masih. Tenang saja." kataku santai.
"Ok. Kita pulang dulu ya..!" teman - temanku berpamitan lalu pergi berjalan menuju parkiran. Sedangkan aku berjalan berlawanan arah menuju halte bus yang di depan mall.

Sesamapainya di halte aku langsung duduk sembari hidupkan mp3. Disana telah ada seorang wanita yang mungkin sebaya denganku. Kami duduk di bangku halte yang sama dalam diam sibuk dengan aktifitas masing - masing.

Setengah jam berlalu. Aku masih duduk sambil masih mendengarkan lagu. Sesekali aku tengak - tengok kearah jalan berharap menemukan sosok si bus biru. Namun, Sarbagita tak kunjung tampak dari kejauhan. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang melintas. Aku kembali bersabar menunggu masih ditemani alunan musik - musik korea kesukaanku.

Halte kini penuh. Ada seorang wanita yang daritadi duduk sebelum aku datang. Ada seorang bapak - bapak bersama tiga anak - anak kecil yang kemudian datang. Dan ada lagi dua orang bule sepasang laki - laki dan wanita membawa ransel besar. Beberapa orang ini saja sudah memenuhi halte bus. Apalagi bila ada tambahan orang lagi yang datang? Pikirku dalam hati.

Sejam berlalu. Hatiku makin resah tak menentu. Suasana malam kian terasa. Langit sudah tampak sangat gelap, tiupan semilir angin menembus kulit membuatku sedikit menggigil. Akan tetapi tetap saja si biru tak kunjung menghampiri. Akhirnya aku bertanya pada seorang wanita yang sendirian sedaritadi.
"Mbak, dari jam berapa menunggu disini?"
Waduh, saya dari satu setengah jam lalu?" jawabnya.
Hah, lama sekali Mbak?" tiba - tiba  Bapak - bapak itu menimpali.
Kami pun bingung satu sama lain. Kami tak tahu harus berbuat apa. Kami tetap duduk menanti. Sepasang bule akhirnya pergi tinggalkan halte. Bosan mendengarkan lagu, aku berniat memainkan handphone. Saat akan mengambil hanphone di dalam tas yang aku selempangkan di sebelah kanan lenganku itulah aku melihat selembar kertas putih tertempel di dinding halte. Tulisannya tak tampak terlihat jelas, apalagi di dalam ruang halte tanpa cahaya. Tulisan tangan berbentuk cakaran ayam itu, membuatku penasaran ingin membacanya. Aku harus memincingkan mataku hingga benar – benar dapat membaca tulisan berukuran kecil itu.
"Maaf, hari ini Sarbagita tidak melewati Halte ini dikarenakan ada gelaran Kuta Festival, akses jalan menuju jalan ini ditutup."
Kaki langsung lemas. Aku memberitahu semua yang masih di halte. Aku dan seorang wanita disebelahku memutuskan jalan bersama menuju halte berikutnya di persimpangan nan jauh disana. Gempor sudah kaki ini. 

No comments:

Post a Comment