Sunday, October 28, 2012

Kota Impian



Senyum sumrigah terpancar dari bibir ini kala melihat reka ulang video sebulan lalu.. Ada kerinduan dalam diri ingin mengulang peristiwa itu. Rindu berjalan sembari memotret setiap sudut walau tubuh peluh bermandikan keringat. Ada goresan peristiwa disana.  Perjalanan yang dulu hanya tersirat dalam impianku. Dan sebulan lalu, impian itu akhirnya ku gapai. Impian yang akhirnya terwujud dan awal mula aku memulai sebuah perjalanan baru ke negeri tetangga bersama kedua sahabatku.

Singapore. Bagi sebagian penduduk Indonesia Singapore sudah menjadi tradisi tempat kunjungan wisata yang patut dikunjungi. Dahulu, aku hanya bisa melihat negara itu dari suatu acara reality show di TV. Dulu, aku hanya melihat liputan artis - artis berlibur di Singapore. Dan dengan segenap syukur kepada - Nya, alhamdulillah aku sudah pernah singgah di negeri itu.

16 feb 2012 lalu tak akan terjadi tanpa sebuah tindakan nekad kami bertiga. Tak banyak yang tahu, demi mendapatkan tiket pesawat yang murah, kami memesannya setahun sebelum keberangkatan. Entah tepatnya di bulan apa, yang aku tahu di tahun 2011 silam impian itu bermula.

Anita, sahabatku yang paling rajin nyasar mengubek - ubek dunia maya tanpa sengaja melirik sebuah iklan tiket pesawat murah. Masuklah ia ke website air asia yang selalu rutin mengeluarkan tiket promo. Diliriknya harga tiket promo Denpasar - Singapore seharga Rp 99.000,- nalurinya tak percaya, namun tanpa berpikir lagi ia pun menginformasikan itu kepadaku dan Aan melalui sms.

Spontan terlonjak kaget kegirangan mencuat dari dalam diriku. Aku segera mengunjungi website air asia untuk memastikan. Kegirangan makin teraut dalam wajahku. Tak kuasa menahannya, aku lanjutkan untuk mencoba memesan tiket. Prosedur pengisian sudah kuisi, namun langkahku terhenti pada proses terakhir. Gubrak, hanya bisa melakukan pembayaran via credit card..!! Oala.. Tabungan hanya ratusan perak, boro - boro credit card?? " keluhku sendiri. Sembari sejenak berfikir mencari solusi, tak butuh berapa lama aku terfikir kepada kakakku, Brother Syam. Ya, dia bisa membantuku.

Esoknya, akhirnya aku mendapat ijin restu dari brother untuk memakai credit card-nya dan uang pengganti akan aku transfer dari rekening kami bertiga nantinya.
"www.airasia.com" langsung ku ketik pada alamat browser begitu laptop terhubung modem. Serangkaian prosedur pemesanan seperti kemarin telah ku lengkapi dan sesampainya pada prosedur pembayaran aku kirimkan pesan kepada kedua sahabatku. "Bismillah, sekarang aku pesan tiketnya". Semenit kemudian balasan sms dari keduany tiba.
Anita : "bismillah berangkat !"
Aan : "bismillah singapore !"
Sentuhan terakhir Aku klik "OK" dan berhasil. Jantungku berdegup kencang seketika. Hatiku bercampur aduk antara senang, cemas, tak menyangka dan tak yakin. Namun, diantara rasa tersebut yang paling meluap adalah rasa senangku. Tak ingin kupendam kesenangan ini sendiri, maka ku bagi dengan kedua sahabatku yang telah menanti dalam peraduan mereka di rumah masing - masing. Ku kirimkan berita itu melalui sms.
"Tiket Denpasar - singapore 16 feb 2012 pukul 06.30 am. singapore - denpasar 19 feb 2012 pukul 11.00 pm"
Setelahnya, mataku yang sudah lima watt tak dapat tertutup tergantikan oleh setoreh khyalan - khayalan akan singapore yang terlukis dalam atap kamarku. Insomnia hingga menjelang subuh. Hff..

Eurofia cengar cengir Sebagai bentuk ketidak percayaan akan kenekatan kami terus bergulir selama seminggu ke depan. Kala kami bertiga berkumpul kami selalu berkhayal apa dan bagaimana di singapore. Tak lupa pula, setiap hari Kami selalu bertanya pada mbah google mengenai info hotel, tempat - tempat wajib dikunjungi, dan lain sebagainya tentang kota singa tersebut.

Singkat cerita tahun 2012 pun tiba. Bulan Januari datang begitu cepat. Hujan mendominasi cuaca Bali kala itu. Seperti hujan yang terus menghiasi hari - hari di Bali, begitu juga perasaan kami. Curahan, luapan tak percaya bulan yang ditunggu hampir tiba. Sindrome kegalauan makin menjadi kala rencana pembuatan paspor yang awalnya di bulan oktober 2011 tertunda hingga mendekati Januari 2012.

Pertengahan Januari, aku dan Anita akhirnya membuat paspor. Serangkaian perjuangan bangun pagi hanya untuk ke kantor Imigrasi dari Nusa Dua menuju Denpasar, Anita lakukan selama tiga hari. Beruntunglah aku yang tinggal tak jauh dari kantor imigrasi, hanya Lima belas menit perjalanan.

Proses pembuatan pasporku dan Anita berjalan lancar. Namun sayang, tidak begitu yang terjadi pada Aan. Proses pembuatan paspornya mengalami banyak kendala saat wawancara berlangsung di kantor imigrasi.
"Mbak, ini kok nama orang tua di akte dan di KK beda ya?" sesosok Lelaki masih muda dengan rambut plontosnya mengintrogasi Aan.
"oh, saya tinggal sama kakek saya Pak." jawab Aan santai.
"Tapi di Kk ditulis status anak, wah ini harus ada surat keterangan dari catatan sipil" tegas Pak plontos itu padanya.
"Tolong bawa surat keterangan itu segera ya! Baru kemudian saya proses." lanjutnya lagi.
"Baik Pak." Aan hanya pasrah tertunduk lesu keluar dari ruang wawancara.

Esoknya Aan bergegas menuju kantor catatan sipil sepagi mungkin. Pukul setengah delapan ia  disana disambut bentakan Pak petugas yang telah tiba. "Catatan sipil hanya membuat Kartu Keluarga, tidak ada namanya surat keterangan seperti ini !" serunya sembari menunjuk surat keterangan yang dibawa Aan. Keributan adu argumen pun terjadi antara pak petugas dengan Aan hingga akhirnya Aan pulang ambil langkah seribu tinggalkan kantor sipil dengan muka tertekuk. "Il, tak usah menyusul ke kantor sipil" ketikan kalimat sms dari Aan masuk ke hp ku. Ada perasaan was-was dalam diri ketika membacanya. Oh, apalagi ini.

Sore harinya, Aan yang sudah siap dengan surat keterangan pernyataan yang telah direvisi bergegas menuju rumah Pak camat.
"Mbak, besok pagi sekali datang ke kantor ya, cap stempelnya ada di kantor."
Baru saja tiba, dengan terpaksa Aan harus pulang membawa harapaan akan esok semuanya berjalan lancar.

Pagi sekali dengan beribu keyakinan dan semangat ia datang ke kantor camat. Semangat yang timbul tadi hilang sekejap ketika petugas menyuruhnya datang keesokan hari lagi karena Pak camat sedang berada di rumah sakit. "Pak Camat sepertinya terserang DB, baru semalam di RS. "Gubrak! Ada - ada saja Pak camat.. Hrrr..! " keluhnya dalam hati.

Esoknya kembali ia menemui Pak Camat, dan berhasil mendapatkan tanda tangan orang - orang terkait. Tidak hanya tanda tangan camat, ketua banjar dan ketua lurah beserta cap stempel masing - masing kantor pun ikut nangkring di surat pernyataan tersebut. "Akhirnya.." ia menghela nafas lega.

"Tinggal menunggu keputusan Pak botak imigrasi esok." katanya padaku ketika aku menemaninya makan omelet dan serabi saat petang hari di warung kaki lima Jalan sudirman.

"jiaaaah!! Perjuangan benar - benar belum berakhir di tangan Pak Botak. Serangakaian adegan perdebatan yang terjadi akhirnya membuahkan hasil "Baik Mbak, silahkan ambil paspornya minggu depan."
Aan keluar dengan penuh rasa syukur dan bergembira.

Sorenya, kami bertiga berkumpul. Aku sudah tak sabar menunggu cerita perdebatan secara langsung dari mulut Aan.
"rrrgh, ingin rasanya aku kasih Pak botak itu coklat sebagai rasa terima kasih telah menyusahkanku."
"Jiaaah, disangka kau naksir lagi sama Pak Botak itu!" seruan Anita membahana diiringi tawa kami bertiga.

Dua minggu sebelum hari H, eurofia kembali hadir. Senang, gembira, dan deg-degan akan ketidaksabaran ingin segera kesana. Galau, risau dan bingung harus membawa Baju apa dan berapa banyak. Alhasil, rencana membawa hanya satu Koper untuk Baju kami bertiga sirna.   Kami akhirnya membawa koper sendiri - sendiri.

15 feb 2012 pukul setengah sebelas di pagi hari menjelang siang, aku sudah siap pamit pada Ibunda. Aan menjemputku dengan motor maticnya menuju rumahnya. Rencana kami naik taxi dari rumah Aan menuju rumah Anita batal. Taxi langgananku terpaksa menurunkan kami di halte bus Sarbagita karena harus ganti oli.

Peluh keringat telah membasahi tubuh. Aku dan Aan duduk menanti Bus Sarbagita dengan dua koper kami. Tak lama berselang Bus besar berwarna biru bergambar karikatur lelaki memakai udeng di kepala dan bunga jepun di telinga itu tiba. Ada nafas lega yang tercurah kala kami berada di dalam bus. AC dan tempat duduk nyaman sedikit menghilangkan peluh keringat akibat cuaca panas Bali. Sarbagita melaju dengan lancar dan cepat melintas by pass menuju Nusa Dua..

"Mbak mbak, maaf ya terpaksa harus turun disini. Ada KTT jadi jalan lurus ke halte depan di tutup." Mbak kernet Sarbagita menurunkan kami di tempat yang tak semestinya. Hff, apa lagi ini !

Kami turun sembari menyeret koper masing - masing. "Sekarang kita jalan menuju halte itu ya!". Aku menganga pasrah sembari berjalan beriringan dengan koper berat ini.
"Ya, lumayan training dulu sebelum jadi backpacker." kataku berusaha menghibur diri. "Ini mah, bukan backpacker ya kalau membawa koper begini." lanjutku lagi.
"Backpacker ala koper." sahut Aan.
Begitulah, kami berceloteh sembari terus berjalan dengan bawaan berat hingga akhirnya tiba di halte terdekat tuk menunggu jemputan sukarela dari sahabat kami, Anita.

Malam tiba. Kami berada di rumah Anita. Sengaja kami menginap di rumahnya karena esok kita berangkat pagi buta dan kebetulan jarak rumah Anita lebih dekat dari bandara. "coba lihat gedung itu kawan tinggi sekali !" Aan berseru menunjuk sebuah gedung Bank di seberang rumah Anita.
"Yeah, santai Mbak, besok kita lihat gedung tinggi sungguhan!" seruku.

Sesuai dugaan, malam tak dapat membuat kami tertidur pulas. Aku tahu, kami resah, galau ceria menghadapi detik - detik keberangakatan kami.

Kira - kira hanya sejam aku dapat tertidur nyenyak. Alaram dari handphone berbunyi terpaksa membangunkan kami. Pukul 3 pagi. Kami harus bergegas sampai di Bandara paling tidak jam 4 subuh. wow..

Benar saja, setelah tiba di Bandara dengan antaran sukarela dari ayah Anita, kami sudah lihat beberapa orang telah berada disana sebelumnya.
"Eits, bukannya ini dosen kita dulu! " Anita berbisik seraya melihat ke arah depan kami. Tiga laki - laki yang ku kenal adalah mantan dosen - dosen kami benar - benar ada disini bersama kami. Mereka bertiga bersama dengan 2 orang wanita yang tak kukenal. "tak berniatkah kita menyapa mereka?" tanyaku iseng. "Ah, males, gengsi...! Itu dosen telah membuatku menangis waktu ujian dulu." kata Anita enggan.
"wkwkwk.. !" kami pun cuek tak menyapa dan langsung pergi ngeloyor ke counter air asia.

Pukul 06.30 kami sudah berada di tempat duduk masing - masing. Anita dan Aan duduk di depanku. Disampingku duduk seorang Ibu paruh baya yang baik hati meminjamkanku pulpen saat pengisian data keberangakatan.

"Nguiiiiing....!" suara khas pesawat saat terbang mendesir di telingaku. Ini bukan pertama kalinya bagiku naik pesawat. Namun, aku hanya meramaikan suasana kegalauan dan kenorakan Aan dan Anita yang baru pertama kalinya naik pesawat.. "Wah, hup! Lihatlah keluar jendela! Kita di negeri awan kawan!" seruku sembari mendekatkan wajahku di sela kursi mereka. Mulailah aku dan Aan berimajinasi melihat keluar jendela dengan gumpalan awan sebagai topik utamanya. Sementara Anita hanya tekun melihat ke depan tak ingin menikmati ketinggian di sepanjang perjalanan kami. Lambat laun suara - suara pengkhayal hilang tergantikan oleh hening yang melanda jiwa - jiwa kami. Suasana penerbangan yang tenang walau kadang terasa goyang naik turun ketika menembus awan membuat kami tertidur. Pulas nan damai.

Dua jam berlalu. Kapten pilot berkoar dari speakernya memperingatkan penumpang bahwa pesawat hampir tiba mendarat di landasan. Aku tak ingin melewatkan pemandangan kota Singapore dari atas pesawat. "wow! Gedung - gedung, mobil - mobil yang berjalan dan pepohonan tampak terlihat serba mini bak rancangan miniatur arsitek.

"jeeesss!" Mendaratlah pesawat air asia. "welcome to Changi Airport!" bisikku kegirangan.


Keluar dari pintu pesawat bukan tangga seperti di Bandara Ngurah Rai yang kutemukan. Kami keluar memasuki koridor alias lorong yang terhubung langsung ke dalam gedung Bandara Changi. "Wow !" hanya itu yang tergambar dari wajah - wajah backpacker pemula. Kami melongo takjub melihat kemegahan dalam gedung bandara.

"wuss! " berseliweran orang - orang berjalan dengan cepat sambil membawa barang bawaan. Benar, seperti di film-film luar negri, orang - orang tak pernah berjalan lambat seperti kami orang Indonesia. Kami pun terlarut ikut mempercepat langkah menuju ke tempat imigrasi untuk mendapatkan stempel kedatangan.

Setelahnya, kami berjalan cepat menuju arah keluar bandara. Di sepanjang jalan gedung ini ada rak - rak berisi peta wisata. Kami mengambil masing - masing satu peta meski tak yakin dapat membacanya.

"Exit alias pintu keluar." aku menunjuk kearah pintu keluar. Kami pun bergegas keluar gedung sembari celingukan nan kebingungan. Hotel belum dibooking. Tujuan menginap belum jelas dimana, maka kami hanya bengong di luar pintu keluar. Aku melihat ada kereta listrik berjalan melintas rel layang dihadapan kami.
"wah, itu MRT! Kita naik itu gimana?" tanyaku.
"hm, kita gak tahu mau ke hotel mana dan itu naiknya dari mana?" Anita balik bertanya. Aku hanya diam sambil manggut - manggut.
"Terus, sekarang apa?" tanyaku lagi.
Aan dan Anita tak ada yang menyahut hanya terdiam menatapi pemandangan luar suasana Singapore.
"We are coming Singapore!" aku berseru kecil kemudian...




-bersambung-

No comments:

Post a Comment