Wednesday, October 17, 2012

Akhir Sebuah Pertarungan


Hari raya Idul Fitri kala itu adalah hari yang paling kutunggu - tunggu. Hari dimana kesempatanku bertemu orang tuamu, mempererat jalinan silaturrahmi yang telah kita rajut selama beberapa tahun belakangan ini. Jalinan kisah kita semenjak kita bertemu di masa SMA. Betapa lucu dan senangnya bila kuingat kenangan - kenangan SMA kita dulu. Bagaikan sepasang sejoli Galih dan Ratna, kita menikmati masa - masa itu penuh romansa. Sebenarnya rasa minder pernah membelenggu dihati. Waktu itu, kau primadona yang selalu menjadi buah bibir anak - anak lelaki. Wajahmu cantik nan rupawan. Kau terkenal baik , ramah dan pintar. Dan nampaknya kau tak pernah menorehkan tinta merah pada catatan guru BP. 

Rasa takut dan tak percaya diri mengahantui kala aku dan kawan - kawan lelaki sempat membuat kesepakatan yang berkaitan denganmu. Maaf, kala itu demi arti sebuah pertemanan aku terpaksa setuju dengan kesepakatan itu. Sebuah kesepakatan yang bisa dibilang sebuah taruhan. Taruhan mendekati dan mendapatkan cintamu yang terkenal tak pernah terlihat bergandengan dengan lelaki manapun. Jika salah satu dari kami berhasil, jadilah kami yang kalah taruhan tak diperbolehkan mandi dalam seminggu. Sedangkan yang menang berhak ditraktir selama seminggu itu juga. Maka, jadilah aku yang ikut - ikutan terpaksa ikut pertarungan. Selain karena memang menyukai dirimu, sesungguhnya imbalan traktiran sangat menggiurkan. Maklumlah, aku besar dan terlahir dari keluarga serba kekurangan. Untuk naik angkot dan makan seharian pun selalu pas - pasan bahkan lebih banyak kekurangan. Hehe.. Tidak pantaslah jika aku dibandingkan dengamu. Kau terlahir dan besar dari keluarga serba berkecukupan. Setiap hari kau diantar jemput dengan mobil pribadi. Pakaianmu rapi. Parasmu cantik nan penuh keanggunan.

Semua teman telah berusaha mendekatimu, namun mereka tak pernah datang membawa berita menggembirakan. Tibalah saat giliranku yang maju ke arena pertarungan. Walau hati sempat ciut dan deg - degan, imbalan traktiran lebih kuat terngiang - ngiang. Jadilah aku mendekatimu dengan penuh kepolosan. Aku pura - pura minta bantuan. Minta bantuan memecahkan soal pelajaran. Hingga lambat laun saling berkenalan, kita menjadi sering belajar barengan. Rasa itu makin timbul tak terkirakan. Kala itu, aku tak kuasa menahan gejolak rasa yang berkoar - koar. Pada akhirnya, aku putuskan untuk membuat sebuah pengakuan. Deklarasi rasa suka yang telah aku pendam. Kau tersenyum kepadaku usai aku nyatakan. Membuat jantung berdentum tak karuan. Kemudian kau dengan santai berkata bahwa kau juga menyukaiku. Bagimu, aku terlihat apa adanya. Anak lelaki sederhana nan polos penuh kejujuran. Mendengar kau sebutkan kata "kejujuran", semakin hati ini merasa bersalah dan penuh penyesalan. Akhirnya, aku ceritakan semua tentang taruhan, dan juga rasa terhadapmu adalah kebenaran. Begitu hal itu kuucapkan, kukira kau akan marah. Akan tetapi, kau malah tertawa memandangiku yang penuh penyesalan. Kau berkata bahwa kau sudah tahu tentang apa yang aku dan kawan- kawan rencanakan. Kau sengaja diam membiarkan hingga pada akhirnya semua terbongkar dari mulutku yang saat itu pasang wajah kebingungan. Fuiih, betapa lega hati ini, karena permintaan maafku kau kabulkan. Cintaku pun kau sambut dengan kehangatan. Duniaku kala itu benar - benar kasmaran.

Berakhirnya pertarungan itu pun menambahkan keuntungan. Selain benar - benar mendapat cinta sungguhan, imbalan traktiran seminggu pun siap ada digenggaman. Kawan - kawan pada kebingungan. Bukan kebingungan akan mentraktir dan tak mandi selama seminggu, namun tentunya kebingungan tak percaya akan diriku yang paling diragukan.

Haha. Aku selalu mengenang masa - masa itu dengan kegembiraan. Awal jalinan kita terjalin akibat sebuah taruhan. Tak kusangka hingga kini dua tahun setelah lulus sekolah jalinan itu masih tetap berlanjut menjadi aneka rangkaian cerita. Kau kini masih mengenyam pendidikan di kampus. Masih tetap cantik dengan wajah tirus. Serta rambut panjang yang selalu terurus. Sedangkan aku telah bekerja, terpaksa mengubur mimpi kuliah yang telah pupus. Masih dengan tubuh kurus. Rambut ini pun makin gondrong tak terurus. Walau demikian, kita selalu menjaga jalinan itu. Cintaku makin melambung mengikuti perjalanan waktu. Hingga akhirnya pada hari yang Fitri itu, aku beranikan diri memantapkan cintaku. Berangkat menuju rumahmu, berniat berkenalan jauh dengan kedua orang tuamu. Bukan, sebenarnya bukan untuk meminangmu. Untuk hal itu aku belum siap, baik secara moril maupun materiil. Kau tahu kan pekerjaanku hanyalah sales biasa. Yang berkeliling mengantarkan pesanan di gerai - gerai supermarket. Kau tahu gajiku tak seberapa. Maka, belumlah kuputuskan ke tingkat itu untuk meminangmu.

Segala persiapan matang telah aku siapkan. Mulai dari pakaian hingga kendaraan. Baju koko baru telah aku beli. Baju warna putih itu aku beli hasil dari membobol tabungan. Celana panjang hitam koleksi lama akhirnya menjadi pasangan baju koko putih baruku. Dengan semangat dan senyum sumrigah aku siap berangkat. Aku keluar berpamitan kepada kedua orang tua dan keluar menuju pekarangan. Disitu sudah menanti jagoan merah beroda dua yang sengaja aku pinjam dari pamanku. Maklumlah, gajiku belum sanggup membeli motor seperti ini. Alhasil, demi sebuah pencitraan yang baik dimata calon mertua, hehe, terpaksa motor itu kupinjam. Walau hanya motor butut ceketer dengan bunyi yang tak bisa dibilang merdu kala dihidupkan.

Perjalanan Garut menuju Jakarta sungguh menambah tantangan. Si jagoan merah butut menemaniku dalam perjalanan. Meski keringat bercucuran, debu dan angin menerpa berterbangan, tapi hati ini selalu dirundung kerinduan. Semangat serta senyum mengalahkan semua rintangan. Perjalanan Garut - Jakarta tak terasa walau jalan penuh kemacetan. Tepat di hari raya itu aku benar - benar datang ke kampung halamanmu. Datang membawa cinta dalam penuh harapan. 

Perasaan deg - degan makin menciut ke permukaan. Badan ini penuh keringat. Wajah ini penuh rasa cemas. Gemetar kakiku ketika tiba di depan pintu rumahmu. Kau menyuruhku duduk di sofa. Aku pun duduk dalam kecemasan. Ini pertama kalinya aku akan berkenalan resmi dengan kedua orang tuamu. Aku bertanya kepadamu dimana orang tuamu, karena kini hatiku semakin cemas. Kau berkata, orang tuamu di dalam. Oh, aku makin penasaran dan gemetar tak karuan. Sementara itu, kau hanya diam tertunduk tanpa menatapku. Selang tak sampai lima menit kemudian, kau tiba - tiba menangis tersedu - sedu. Menangis dihadapanku dengan muka penyesalan.
"Maafin aku ya?." katamu sambil menangis sesegukan.
"Iya, lah ini kan lebaran. Udah pasti kita saling memaafkan kok." kataku mengiyakan
"Pokoknya maafin aku Jang, " lagi - lagi kau berkata sembari menangis. Tangismu semakin deras membasahi kedua pipi lembutmu.
"Kenapa kok sampai nangis begini Ma?" tanyaku heran.
Kau pun mencium tanganku sambil terus berurai air mata. Aku elus kepalamu yang kini terbalut kerudung.
"Sudahlah, jangan berlebihan seperti ini." kataku menenangkan.
"Maaf, kita harus berpisah. Orang tuaku menjodohkanku dengan laki - laki pilihan mereka." katamu terbata - bata seraya menahan tangis.
"Deg!" jantungku remuk bagai tertancap sebuah kapak besar. Namun aku tetap bertahan, badanku tak goyah, tangisku tak tumpah. Aku hanya diam menanggapi.
"Bagaimana ini?" Kau bertanya seraya menatapku.
Aku diam lagi.
"Haruskah aku ikut pergi bersamamu? Bawa aku pergi..!" seruan kecil suaramu seolah menunjukkan bahwa kau ingin memberontak. Tangisanmu makin menjadi. Air matamu keluar hingga tanganku ikut basah. 
"Jangan. Kasihan orang tuamu, Ma. Kamu tahu aku belum siap materi jika kita membina rumah tangga. Jadi, patuhilah mereka."
Kau diam dalam tangis. 
Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Sebenarnya perasaanku sangatlah kecewa. Hatiku terkoyak hingga membuat ragaku lemas. Tak sampai sejam aku berada disitu. Duduk memandangimu di rumah kedua orang tuamu yang mewah. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
"Imas, maafin aku jika selama ini pernah menyakitimu. Mungkin ini terakhir kali kita bertemu. Semoga hidup Imas bahagia ya. Salam juga buat kedua orang tuamu. Maaf aku tak bisa lama - lama dan bertemu dengan mereka." 
Aku bersalaman denganmu dan bergegas berbalik arah keluar dari rumahmu.
"Jajang, tak bolehkah kau bawa aku pergi?" pintamu lagi masih dalam tangisan.
Aku hanya menggeleng dan pergi sembari ucapkan salam.

Keluar dari rumahmu, aku langsung menghidupkan si jagoan merah butut dan mengenakan helm. Aku gas motor itu pergi melenggang tinggalkan rumahmu. Hatiku sakit nan kecewa luar biasa. Pikiranku kacau nan kalut. Kepala bagai tertimpa bom atom yang berjejalan. Sakit hati memicu tangis hati. Tangis hati yang tertahan dari tadi akhirnya kini tumpah ruah. Air mata mengalir deras mengucur membasahi pipi, berlanjut hingga terhapus terbawa angin kala dalam perjalananku menuju rumah. Itulah pertama kalinya aku menagis karena seorang gadis. Selamat tinggal Imas.. Selamat tinggal cinta pertamaku..

Kugapai hatimu karena sebuah taruhan..
Kugapai cintamu meski sempat ada penyesalan..
Memepermainkanmu memasuki pertarungan..
Namun kau tetap menyambutku dalam keceriaan..

Kau gadis pertamaku..
Penghias hati disela – sela hidupku..
Kau cinta pertamaku..
Penyemangat diri hidup yang semu..

Jalinan cinta terwujud dalam sebuah cerita..
Jalinan cinta mengalun bagai lirik dan irama..
Meski kau dan aku berbeda..
Cinta tetaplah sama..

Namun, cinta itu berubah menjadi mimpi..
Ketika kau tak sanggup lagi..
Demi sebuah bakti..
Kau harus ku relakan pergi..

Tak ku sangka cinta kita tak abadi..
Tak ku sangka alunan itu tak terdengar lagi..
Cinta kita berlari pergi..
Mengiris pedih bagai digergaji..

Inilah akhir sebuah pertarungan..
Pertarunganku berakhir dalam kesedihan..
Menutup cerita dalam kenangan..
Menyisakan luka yang tak terlupakan..

No comments:

Post a Comment